NASIONAL

Vonis Bebas Haris-Fatia, Jaminan Kebebasan Berekspresi Tak Lagi Dikriminalisasi?

"Kami diputus bebas ini bukanlah sebuah akhir dari perjalanan panjang demokrasi di Indonesia, yang saya rasa ini tetap harus membutuhkan konsistensi."

AUTHOR / Astri Yuanasari

Vonis Bebas Haris-Fatia, Jaminan Kebebasan Berekspresi Tak Lagi Dikriminalisasi?
Direktur LSM Lokataru Haris Azhar usai divonis bebas di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). (Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah)

KBR, Jakarta - Dua aktivis hak asasi manusia Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti bisa bernafas lega setelah dinyatakan tidak bersalah dalam kasus dugaan pencemaran nama Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Putusan itu diumumkan Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana dalam sidang pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, awal pekan ini.

"Menyatakan bahwa para pendakwah tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, sebagaimana didakwakan penuntut umum dalam dakwaan pertama kedua primer, dakwaan kedua subsider dan dakwaan ketiga. Menimbang bahwa oleh karena dakwaan penuntut umum tidak terbukti, maka sesuai Pasal 191 ayat 1 KUHAP, maka pada terdakwa diputuskan bebas dari segala dakwaan," ucap Cokorda di PN Jaktim, Senin, (8/1/2024).

Haris Azhar sebelumnya dituntut pidana empat tahun penjara dan denda 1 juta rupiah, sedangkan Fatia Maulidyanti dituntut pidana 3,5 tahun penjara dan denda 500 ribu rupiah. Jaksa mendakwa dua pegiat hak asasi manusia itu mencemarkan nama Luhut Binsar Pandjaitan.

Kasus ini bermula dari acara dialog Haris dan Fatia dalam video berjudul 'Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Operasi Militer Intan Jaya'. Video itu diunggah melalui kanal YouTube milik Haris.

Usai divonis bebas, Haris Azhar menyebut kemenangannya adalah kemenangan rakyat yang sekaligus menghancurkan oligarki.

"Saya pikir doa dari keluarga Fatia, keluarga saya, luar biasa, support dari teman-teman gerakan sosial, di luar dan dalam, semua jaringan korban, aksi kamisan, social movement institute, teman-teman antikorupsi, ini adalah gerakan sosial yang paling termanifestasi di luar pengadilan. Ini yang kita sebut sebagai artifisme pengadilan yang berpihak pada HAM, lingkungan hidup dan juga masyarakat adat," ujar Haris saat jumpa pers (8/1/2024).

Sementara Fatia Maulidiyanti menyebut, vonis bebas kepada dirinya menjadi bukti, bahwa hukum masih berpihak kepada rakyat. Ia berharap masyarakat bisa menyampaikan kebebasan berpendapat tanpa rasa takut dikriminalisasi.

"Kami diputus bebas ini bukanlah sebuah akhir dari perjalanan panjang demokrasi di Indonesia, yang saya rasa ini tetap harus membutuhkan konsistensi. Dengan ini sebenarnya juga menunjukkan bahwa memang semestinya hukum itu setara, dan juga kita semua sebagai masyarakat itu juga bisa membuktikan dan kita bisa mengeritik, dan kita juga jangan menjadi seseorang yang tidak adil dengan tidak mengeritik," ujar Fatia dalam konferensi pers, Senin (8/1/2024).

Baca juga:

Kasasi

Namun vonis bebas itu dilawan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur sebagai penuntut. Hal ini disampaikan Pelaksana Harian Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Herlangga Wisnu Murdianto, dalam keterangan tertulis.

Pengajuan kasasi ini menjadi bukti bahwa perjuangan Haris-Fatia belum selesai. Putusan bebas ini juga bukan berarti adanya jaminan kebebasan berekspresi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai putusan vonis bebas untuk Haris dan Fatia bisa menjadi preseden baik di kemudian hari.

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menyebut, kritik terhadap negara adalah bagian dari hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Anis berharap, para pembela HAM lain tidak akan takut lagi dijerat kriminalisasi atas kerja-kerjanya.

Lembaga kajian reformasi sistem peradilan pidana dan hukum ICJR menilai, vonis bebas untuk Haris dan Fatia patut diapresiasi. 

Tapi, menurut peneliti ICJR, Nur Ansar, tetap harus ada evaluasi kebijakan terkait kebebasan berekspresi dan sistem peradilan pidana. Apalagi persidangan Haris dan Fatia berlangsung hingga 32 kali. Persidangan ini terlalu lama dan menguras energi.

"Proses yang panjang otomatis membutuhkan sebuah modal baik itu tenaga pikiran dan sebagainya yang harus kita curahkan hanya untuk sidang setiap Minggu. Artinya kan sebagian besar sumber daya yang ada akhirnya harus teralihkan ke pengadilan, sehingga banyak hal yang lain akhirnya tidak terjadi. Padahal ketika kita ingin membicarakan soal kebebasan berekspresi seharusnya salah satu poin yang harus dilihat adalah kalaupun memang diduga ini sebagai penghinaan harusnya dilakukan lebih cepat," kata Ansar kepada KBR, Senin (8/1/2024).

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!