NASIONAL
Upaya Menggapai Akurasi Tata Kelola Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Hingga 31 Desember 2024, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi secara nasional mencapai 100,7% dari alokasi DIPA.

KBR, Jakarta - Optimalisasi pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dalam rangka mencapai ketahanan pangan merupakan salah satu amar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi.
Dijabarkan dalam Pasal 3, sasaran optimalisasinya adalah memastikan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, mutu, dan tepat penerima. Adapun jenis pupuk bersubsidi itu meliputi Pupuk Urea, NPK, Organik, SP 36, dan Pupuk ZA.
Regulasi yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 30 Januari 2025 itu juga mengamanatkan, dibangunnya sistem informasi pupuk bersubsidi yang terintegrasi. Ini untuk pendataan penerima subsidi calon penerima dan calon lokasi petani dan pembudi daya ikan; perencanaan; penyaluran; penagihan dan sistem pembayaran; serta monitoring dan evaluasi.
Terkait hal itu, lantas bagaimana peran BUMN Pupuk? Beleid yang sama di Pasal 9 dinyatakan, dalam melaksanakan pengadaan dan penyaluran, BUMN Pupuk wajib menjamin ketersediaan stok pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan perikanan secara nasional berdasarkan alokasi yang ditetapkan oleh Menteri.
Penyaluran oleh BUMN Pupuk ini hingga ke penerima pupuk bersubsidi pada titik serah. Para penerima yang menjadi sasaran yaitu Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan); Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan); pengecer; dan/atau koperasi yang bergerak atau di bidang Penyaluran Pupuk.
Menurut Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi, sesuai Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) atau Kebutuhan 2025, total petani yang membutuhkan pupuk bersubsidi 14,74 juta orang dengan total rencana tanam 25,25 juta hektare. Rinciannya, Urea (5,44 juta ton), NPK (7,44 juta ton), dan Organik (1,62 juta ton).
Adapun total alokasi pupuk bersubsidi tahun ini mencapai 9,55 juta ton (66%) yang terdiri dari Urea 4,63 juta ton (85%); NPK 4,42 juta ton (59 %), dan Organik 0,50 juta ton (31%).
Dengan demikian terdapat total selisih antara RDKK dengan Alokasi 2025 sebanyak 4,95 juta ton (34%), dengan rincian selisih untuk Urea 0,81 juta ton (15%); NPK 3,02 juta ton (41%); dan Organik 1,12 jutan ton (69%).
Alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah pada 2025, menurut Rahmat, masih dibawah kebutuhan petani untuk sembilan komoditas penerima pupuk subsidi. “Dikarenakan keterbatasan anggaran," ujar Rahmat saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Selasa (4/2/2025).
Hingga 31 Desember 2024, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi secara nasional mencapai 100,7% dari alokasi DIPA. Dalam hal ini, sesuai Addendum Kontrak (berdasarkan DIPA Revisi 06 tahun 2024) dengan alokasi 7,29 juta ton, yang terdiri dari Urea 3,64 juta ton, dan NPK 3,57 juta ton. Sedangkan realisasi penebusannya 7,34 juta ton yang terdiri dari Urea 3,71 juta ton, dan NPK 3,58 juta ton.
Bila dihitung realisasi sesuai regulasi Kepmentan 51/2024 mencapai 76,9% terhadap tambahan alokasi terbaru menjadi sebesar 9,55 juta ton (terdiri dari Urea 4,64 juta ton; NPK 4,41 juta ton; dan Organik 500 ribu ton).
Baca juga:
Anggaran Belum Cair, PT Pupuk Indonesia Tetap Salurkan Pupuk Subsidi
Pupuk sangat penting terhadap produktivitas pertanian, kontribusinya bahkan mencapai 62%. Sementara biaya pupuk berkontribusi 23% dari biaya produksi pertanian.
“Melalui program subsidi pupuk, biaya pupuk yang ditanggung petani berkurang atau minus 9%. Kenyataan ini meningkatkan daya beli petani terhadap pupuk, menjaga stabilitas produksi dan harga pangan nasional," ujarnya.
Keterjangkauan harga pupuk mempengaruhi volume pemupukan oleh petani. Berdasarkan kajian "Sensitivitas Harga" oleh Markplus 2023, setiap kenaikan harga pupuk Rp1.000 per kilogram menyebabkan penuruan volume pemupukan Urea hingga 13%, dan NPK hingga 14%.
"Penurunan volume pemupukan tentu berdampak ke penurunan produktivitas lahan petani. Untuk padi misalnya, produksinya akan anjlok 0,4 ton per hektare atau dari 5,29 ton per hektare menjadi 4,86 ton per hektare. Lalu terhadap produksi jagung akan turun 0,5 ton per hektare atau dari 5,81 ton per hektare menjadi 5,34 ton per hektare," tuturnya.
Penurunan volume pemupukan berimbas pula pada penurunan pendapatan petani. "Untuk petani padi, pendapatannya tekor Rp3,1 juta per hektare atau dari Rp38,6 juta per hektare menjadi Rp35,1 juta per hektare. Juga untuk petani jagung yang turun pendapatannya Rp2,3 juta per hektare atau dari Rp29,1 juta per hektare menjadi Rp26,7 juta per hektare," tuturnya.
Baca juga:
SPI: Faktor Data, Kendala Menahun Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Maka, menjadi penting untuk memudahkan petani mengakses dan memperoleh pupuk bersubsidi. Selain itu, pupuk bersubsidi juga harus diawasi rantai pasoknya, agar tidak terjadi kelangkaan. Karena, stok pupuk bersubsidi yang cukup dengan harga terjangkau dan stabil, akan mengakselerasi capaian target swasembada pangan.
Kondisi ideal seperti itu sejatinya juga merupakan perintah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Khususnya, Pasal 1 yang menyebutkan, “Perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.”
Nah, dukungan semua pihak dalam upaya memitigasi potensi kendala yang dihadapi petani, termasuk mengakses dan memperoleh pupuk bersubsidi, juga berhubungan erat dengan cita-cita mewujudkan Asta Cita urutan dua yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Yakni, “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.”
Swasembada pangan yang ditargetkan Kepala Negara merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi pangannya secara mandiri dan tidak bergantung pada impor. Kemandirian pangan menjadi bagian dari pembangunan pertanian yang bertujuan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Mustahil tercipta kemandirian pangan tanpa kemandirian pertanian yang sekaligus menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga ketahanan nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Dari kemandirian pangan yang tercipta melalui kemandirian pertahian, maka terwujud ketahanan pangan. Disini, kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi, baik secara kuantitas, kualitas, maupun aksesnya. Semuanya simultan dan sine qua non, “tanpanya tidak ada” atau tak tergantikan.

Salah satu pelayanan penebusan pupuk bersubsidi. (Foto: pupuk-indonesia.com)
Tapi, dari itu semua, patut diyakini, kesuksesan produksi pangan terletak pada proses menanam sampai pemeliharaannya. Dan, ingat, pupuk menjadi kata kuncinya.
Maka disinilah benang merahnya, pembenahan distribusi pupuk bersubsidi menjadi keharusan. Salah satunya dilakukan dengan memanfaatkan sistem yang berbasis teknologi digital. Sejauh ini, pemanfaatannya terbukti efektif karena berhasil mengatasi aspek kelemahan administrasi antara distributor, kios dan seterusnya. Termasuk, tidak perlu lagi membuat pelaporan secara manual yang jauh dari efisien. Lebih penting lagi, tak akan mungkin pula dimanipulasi.
“Dalam digitalisasi ini, kita menerapkan aplikasi yang diberi nama Integrasi Pupuk Bersubsidi (iPubers). Dengan digitalisasi ini, kita mendokumentasikan proses administrasi penebusan pupuk bersubsidi secara elektronik, sehingga mengurangi potensi kesalahan administrasi dan mempercepat pelayanan,” jelasnya.
Aplikasi iPubers mampu melakukan telusur karena ada integrasi antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan teknologi geo-tagging. Jadi aplikasi ini memungkinkan pelacakan distribusi pupuk bersubsidi hingga tingkat kios atau reseller.
Kemudian, ada pula integrasi sistem, antara sistem e-alokasi milik Kementerian Pertanian dan stok realtime di PT Pupuk Indonesia.
Sistem digitalisasi ini juga tiga arah, karena iPubers mengukuhkan data petani, alokasi, dan stok kios. Hal ini membuat ekosistem penyaluran pupuk bersubsidi menjadi lebih transparan.
Sejak diluncurkan Januari 2024, iPubers telah memproses 26 juta transaksi dengan rata-rata sistem memproses sekitar 2,5 juta transaksi per bulan. Tren tertinggi transaksi pada Desember 2024 mencapai 3,8 juta transaksi.
Sedangkan perbandingan realisasi harian pupuk subsidi Januari 2023-2025, juga menunjukkan perkembangan menggembirakan. Pada Januari 2023, penebusan mencapai 535.378 ton, Januari 2024 penebusan itu 307.348 ton, dan Januari 2025 kumulatif realisasi penebusan pupuk bersubsidi 630.844 ton.
Realisasi penyaluran pupuk subsidi nasional per 2 Februari 2025 mencapai 7,11% dari alokasi Kontrak, dan 6,72% dari alokasi Kepmentan 644/2024.
Data penyaluran hingga 2 Februari 2025, realisasi penebusannya mencapai 641.752 ton. Secara realisasi dari Kontrak, capaiannya adalah 7,11% dari alokasi yang diperjanjikan sesuai DIPA awal tahun anggaran 2025.
“Ini membuktikan, mulai 2025, secara serempak di seluruh Nusantara, seluruh petani yang memiliki alokasi sudah bisa menebus pupuk bersubsidi. Tentunya ini menjadi prestasi tersendiri, mengingat sebelumnya penebusan itu selalu mengalami keterlambatan,” jelasnya.
Selain iPubers, PT Pupuk Indonesia juga memiliki platform digital Bernama Integrated Distribution and Outbond Logistic (INDIGO). Fungsinya, memonitor pergerakan pupuk bersubsidi mulai dari pabrik hingga pengecer.
Lantas, dari semua yang telah dilakukan, apa hasil evaluasinya?
Apresiasi atas kerja dan kinerja PT Pupuk Indonesia disampaikan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA). Bahkan, kepuasan itu dicurahkan Ketua Umum KTNA Nasional di hadapan wakil rakyat yang ada di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Subsidi Pupuk di Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR pada (17/2/2025) lalu, Yadi Sofyan mengatakan, dampak mekanisme pupuk bersubsidi bahkan lebih dari yang diharapkan. Karena saat ini, bukan petani yang berkeluh kesah tentang ketersediaan pupuk bersubsidi, melainkan justru PT Pupuk Indonesia yang mengingatkan petani mengapa pupuknya belum diambil atau ditebus. Sampai sebegitunya perubahan yang terjadi di lapangan.
“Hari ini kita sudah bisa mengambil pupuk, mulai Januari, pupuk itu sudah kita ambil dan barang itu ada. Jadi sampai hari ini, malah PT Pupuk Indonesia yang justru "menegur" kami, "KTNA itu kok pupuk belum diambil?" Dan hari ini, pupuk itu sampai kabupaten sudah ada. Jadi kalau kita menarik kesimpulan, mekanisme penyaluran pupuk saat ini sudah baik," ujar Ketua Umum KTNA Nasional, Yadi Sofyan Noor ketika itu.
Sementara itu, PT Pupuk Indonesia tak pernah berhenti berinovasi guna meningkatkan jalur distribusi pupuk bersubsidi. Tentunya, kali ini didasarkan pada timeline pelaksanaan Perpres Tata Kelola Pupuk Bersubsidi.
Menurut Dirut PT Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, selama masa transisi menuju pemberlakuan Perpres, Perseroannya telah menyiapkan sejumlah rencana implementasi, baik dari segi peraturan, penyaluran, pun kesiapan teknologi informasi.
“Kami diberikan waktu enam bulan dan akan melakukan secara bertahap, dimulai dengan dua provinsi, yang dilanjutkan delapan provinsi, dan kemudian 17 provinsi. Harapannya pada bulan ketujuh, Penyiapan IT dan Skema Distribusi sudah bisa diterapkan secara nasional,” harapnya.
Salah satu yang akan menjadi target pelaksanaan adalah, nantinya akan ada monitoring stok pupuk bersubsidi secara lebih akuntabel karena memanfaatkan sistem digital yang memantau secara realtime.
“Jadi pada titik-titik tertentu di unit Command Center kita, bisa langsung ter-capture, diketahui siapa menebus apa, di kios mana, alokasi yang tersedia berapa dan dia menebus apa. Termasuk foto si penebusnya. Jadi monitoring stoknya lebih transparan,” tuturnya.

Penebusan pupuk bersubsidi menggunakkan iPubers. (Foto: pupuk-indonesia.com)
Selain itu, dengan menerapkan digitalisasi tersebut Pupuk Indonesia juga dapat memprediksi panen padi beberapa bulan ke depan, karena dapat melihat pola penggunaan pupuk yang berkontribusi terhadap hasil panen.
"Karena ini sudah terdigitalisasi, banyak hal yang sekarang kita ketahui. Kita sekarang sudah memiliki big data yang membantu bisa melihat kira-kira tiga bulan ke depan panen padinya di mana, karena kita sudah bisa melihat mana yang memupuk dan mana yang tidak memupuk," jelasnya.
Hingga kini, PT Pupuk Indonesia telah melakukan digitalisasi sebanyak 27.031 kios pupuk subsidi di seluruh Indonesia sehingga penyaluran lebih efisien dan tepat sasaran.
Disinilah terbukti, program digitalisasi yang dilakukan PT Pupuk Indonesia menunjukkan performa yang sangat baik meskipun tetap harus terus ditingkatkan terutama aksesibilitas dan konektivitasnya.
Sekaligus, ini juga membuktikan bahwa penerapan Agile Organization di PT Pupuk Indonesia mampu lebih cepat merespon perubahan di pasar atau lingkungan. Agile Organization ini berfokus pada kebutuhan pelanggan yang membutuhkan penawaran, yang disesuaikan untuk menciptakan kapabilitas SDM dan budaya performance based.
Terkait iPubers, ini merupakan aplikasi yang dikembangkan untuk merekap penyaluran pupuk bersubsidi para petani. Teknologi ‘pintar’ yang dirilis pada 27 Juni 2023 ini menjadi pembaharu tata kelola penyaluran pupuk bersubsidi sampai di level kios penyalur.
Pesan dari Luhak Nan Tuo
Di antara kabupaten yang mengaplikasikan iPubers yaitu Kecamatan Lima Kaum di Kabupaten Tanah Datar (Luhak Nan Tuo), Sumatra Barat.
Dalam Jurnal Komunikasi dan Administrasi Publik ‘Professional’ Universitas Dehasen Bengkulu, edisi Volume 11 No. 2 Desember 2024, Alia Amanda dan Siska Sasmita menulis, di Kecamatan Lima Kaum yang luas kawasannya hampir 50 kilometer persegi memiliki jumlah kelompok tani sebanyak 96 Poktan yang tersebar di lima nagari. Di sini, program penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan melalui tujuh kios pengecer.
Aplikasi iPubers mulai disosialisasikan PT Pupuk Indonesi pada Desember 2023 hingga Januari 2024 kepada kios pengecer resmi dan distributor, hingga akhirnya awal Februari 2024, iPubers mulai diterapkan di Kkecamatan Lima Kaum. Sementara itu, menurut data BPS, di Kabupaten Tanah Datar pada 2022 lalu memiliki luas panen padi 4.541 hektare dengan produksi 26.153 ton. Adapun rata-rata produksi padi 5,76 ton per hektare.
Meskipun aplikasi iPubers sudah dimanfaatkan, tapi masih ditemui sejumlah permasalahan di kalangan pengecer pupuk bersubsidi. Apa saja?
Satu, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan aplikasi iPubers karena sebelumnya pengecer hanya memanfaatkan mesin Electronic Data Capture (EDC) untuk mengecek validasi kartu kuota dan cek saldo dari kartu tani pupuk bersubsidi pada petani penerima pupuk bersubsidi.
Dua, kendala jaringan internet yang tidak stabil, yaitu blankspot di sejumlah titik sehingga penebusan pupuk bersubsidi melalui iPubers kadangkala berproses lama.
Data BPS menyebut, pada 2022, jumlah menara telepon seluler di Kecamatan Lima Kaum ada delapan unit. Sedangkan jumlah dan operator layanan komunikasi telepon seluler ada lima operator. Dibandingkan empat kecamatan lain, jumlah menara telepon seluler di Kecamatan Lima Kaum adalah yang terbanyak.
Tiga, penyaluran pupuk bersubsidi dari distributor ke kios pengecer resmi tidak tepat waktu.
Empat, jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan secara bertahap dan laporan pelengkap untuk dilaporkan ke distributor dan penyuluh masih dilakukan secara manual berupa dokumen fisik.
Lima, transparansi kuota pupuk untuk masing-masing petani dan kelompok tani karena penggunaan fitur iPubers hanya bisa diakses pengecer resmi.
Terkait digitalisasi iPubers ini, pengamat pertanian dari lembaga Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian kepada penulis, Minggu (16/2/2025), menyebutkan sejumlah evaluasi atas peningkatan layanan.
“Sebetulnya masih ada tantangan tersendiri. Sektor pertanian ini kan paling banyak ada di desa-desa, di daerah, sedangkan akses internet belum merata ke semua wilayah Indonesia. Jangan sampai adanya proses penebusan langsung pupuk bersubsidi secara digital malah justru menambah beban para petani yang belum terjangkau oleh internet atau daerah blankspot. Jadi memang harus secara bertahap pengimplementasiannya,” ujarnya.
Menurutnya lagi, kebijakan penggunaan Kartu Tani yang sempat jadi salah satu cara mempercepat inklusi keuangan dan penyaluran pupuk bersubsidi tepat sasaran bisa dijadikan cermin.
“Karena tenyata dalam realisasinya, Kartu Tani amat sangat rendah penggunaannya dan tidak mencapai 20% petani yang membuat atau mendapatkannya. Untuk itu, digitalisasi perlu penyesuaian lebih dulu agar tidak justru membuat rumit. PT Pupuk Indonesia harus aktif mendampingi memberi bimbingan teknis kepada para pengecer, Gapoktan, Koperasi sehingga mereka terbiasa menggunakan fitur-fitur digital,” tuturnya.
Intinya, peningkatan digitalisasi ini tentu harus diharapkan, apalagi karena kini tengah pemangkasan jalur distribusi pupuk bersubsidi tengah diupayakan.
Diketahui, Perpres tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi memangkas jalur panjang distribusi pupuk bersubsidi. Realisasinya, memungkinkan holding perusahaan pupuk nasional menyalurkan pupuk bersubsidi langsung ke titik serah tanpa melalui pihak Distributor.
Terkait hal ini, KTNA lagi-lagi mengapresiasi kebijakan memangkas jalur distribusi pupuk bersubsidi. Tapi diingatkan pula, kesiapan para pihak yang akan langsung menyalurkan pupuk bersubsidi itu sendiri.
“Mekanisme penyaluran pupuk yang ada sekarang ini sebetulnya sudah baik. Jadi hampir-hampir sampai hari ini KTNA tidak ada menerima keluhan bahwa pupuk bermasalah. Ini yang penting kami sampaikan. Jadi kalau ada keinginan supaya Gapoktan dan Kelompok Tani ikut menyalurkan pupuk, kami masih belum berpikir ke sana. Dengan kios pengecer yang ada sekarang ini, kami pikir itu sudah cukup dan lancar. Dan sekarang untungnya mekanisme regulasi yang kemarin kita lihat banyak itu sudah hilang,” tutur Yadi.
Adapun terkait target tepat jumlah, watu dan tepat sasaran penyaluran pupuk bersubsidi, KTNA juga memberi masukan dan saran.
"Kalau ingin mewujudkan tepat jumlah dan tepat waktu penyaluran pupuk bersubsidi, maka itu adalah kewenangan atau urusan jalurnya dari PT Pupuk Indonesia ke Distributor, lalu ke Pengecer. Sedangkan kalau mau tepat sasaran, maka disarankan untuk memperbaiki Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) secara elektronik atau e-RDKK,” ujarnya.
Sebab, kata Hadi, KTNA menduga, ada saja e-RDKK yang sekadar copy paste dari e-RDKK tahun sebelumnya.
“Padahal bisa jadi ada petani yang sudah pindah tempat tinggalnya, bahkan sudah meninggal dan lainnya. Pembenahan e-RDKK ini yang harus segera dibenahi. Siapa yang membenahinya? Ini hanya bisa dilakukan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Dulu kami menyusun e-RDKK di BPP. Sekarang, BPP sudah dilengkapi komputer dan digitalisasi. Tinggal mengolah datanya saja. Kalau perlu, pihak kios penyalur diajak ikut rapat. Karena e-RDKK juga menjadi pedoman Kios Pupuk Lengkap (KPL) dalam memberikan pelayanan kepada petani," tutur Yadi lagi.
Selain menjadi pedoman KPL, e-RDKK juga menjadi acuan petani dalam mendapatkan pupuk subsidi, dan menjadi acuan dalam pengajuan kembali apabila terjadi perubahan data pada RDKK.
Sementara itu, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) memberi saran terkait pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional HKTI, Manimbang Kahariady mengusulkan sejumlah perbaikan untuk menjadi solusi terkait tata kelola pupuk bersubsidi yang dinilai masih belum optimal. Di antaranya, meningkatkan pengawasan menggunakan digital berbasis big data, artificial intelligence (AI), dan blockchain.
"Kalau selama ini setiap bantuan itu hanya berfokus pada by name dan by adress, maka kami tambah satu poin yang paling penting yaitu by coordinate. Karena, bisa saja nama, bisa saja tempat, tapi bisa saja tetap terjadi pemalsuan sehingga terjadi tidak tepat sasaran. Justru dengan format yang kami tawarkan diharapkan bisa benar-benar tepat sasaran. Dan itu fungsional. Terutama tepat waktu," ujar Manimbang.
Lemahnya pengawasan, menurut Manimbang, masih menjadi kendala serius, sehingga prinsip "6 Tepat" (tepat jenis, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat mutu) pupuk bersubsidi belum sepenuhnya terealisasi.
Baca juga:
Pemerintah Pangkas Prosedur Penyaluran Pupuk Subsidi, Berlaku Kapan?
HKTI juga mendorong pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam skema pentahelix, yang mencakup akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media massa, agar ada sinergi dalam pengawasan dan pelaksanaan kebijakan.
Selain itu, HKTI mendukung pengaktifan kembali Komite Pengawasan Pupuk dan Pestisida untuk memastikan distribusi pupuk bersubsidi berjalan sesuai regulasi dan mencegah praktik mafia pupuk.
Kesiapan Jalur Distribusi
Diketahui, Pasal 9 Perpres Tata Kelola Pupuk Bersubidi mengatur, penyaluran yang dilakukan BUMN Pupuk akan menjangkau hingga ke penerima pupuk bersubsidi pada titik serah. Mereka yang menjadi sasaran adalah Gapoktan, Pokdakan, pengecer, dan/atau koperasi yang bergerak atau di bidang Penyaluran Pupuk.
Masalahnya, apakah seluruh Gapoktan sudah siap? Hasil Survei Uji Kesiapan Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani sebagai Penyalur Pupuk Bersubsidi di Jawa Barat Tahun 2025, Institut Pertanian Bogor (IPB) menyimpulkan beberapa hal.
Pertama berdasarkan indikator Kepemilikan Legalitas, seluruh responden Gapoktan (100%) di Jawa Barat dinilai belum memiliki legalitas badan usaha yang berorientasi profit sebagai syarat badan usaha yang beraktivitas menyalurkan pupuk bersubsidi.
Kedua, berdasarkan indikator Kemampuan Pengarsipan, 3 responden Gapoktan (33,33%) di ‘Tatar Sunda’ dinilai belum mampu melakukan pengarsipan laporan kegiatan Gapoktan tersebut.
Ketiga, berdasarkan indikator Kemampuan Administrasi Pelaporan, 6 responden Gapoktan (66,67%) di Jawa Barat dinilai belum mampu melakukan pembuatan administrasi laporan kegiatan Gapoktan tersebut.
Keempat, berdasarkan indikator Kemampuan Pengelolaan Keuangan, 6 (enam) responden Gapoktan (66,67%) di Jawa Barat dinilai belum mampu melakukan pengelolaan keuangan di internal Gapoktan tersebut.
Kelima, berdasarkan indikator Kemampuan Pemodalan, 8 responden Gapoktan (88,89%) di ‘Bumi Parahyangan’ dinilai belum memiliki kemampuan pemodalan dalam menyelenggarakan usaha sebagai penyalur Pupuk Bersubsidi.
Keenam, berdasarkan indikator Kemampuan Penyimpanan, 4 responden Gapoktan (44,44%) di Jawa Barat dinilai belum memiliki kemampuan penyimpanan stok pupuk subsidi dalam menyelenggarakan usaha sebagai penyalur Pupuk Bersubsidi.
Ketujuh, berdasarkan indikator Kemampuan Teknologi Informasi, seluruh responden Gapoktan (100%) di Jawa Barat dinilai sudah mampu mengoperasikan teknologi informasi apabila Gapoktan tersebut menjadi penyalur pupuk bersubsidi melalui penggunaan aplikasi i-Pubers di handphone masing-masing Gapoktan.
Baca juga:
Zulhas Ancam Pecat Pejabat yang Persulit Penyaluran Pupuk Subsidi
Berdasarkan survei yang dilakukan pada Januari-Februari 2025, dengan sampel wilayah yang terpilih untuk survei yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Karawang, maka disampaikan sejumlah harapan.
Menurut Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB bidang Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan, Faroby Falatehan, pelibatan Gapoktan sebagai penyalur tentunya merupakan langkah yang positif, namun perlu dipertimbangkan hal-hal teknis terkait kesiapan Gapoktan di lapangan untuk melaksanakan tugas penyaluran yang sebelumnya dilakukan oleh kios pengecer.
Sarannya, agar pemerintah menunda sementara mekanisme Gapoktan--- yang bersedia/ditunjuk---sebagai penyalur pupuk bersubsidi, hingga indikator Kepemilikan Legalitas, Kemampuan Pengarsipan, Kemampuan Administrasi Pelaporan, Kemampuan Pengelolaan Keuangan, Kemampuan Pemodalan, Kemampuan Penyimpanan, dan Kemampuan Teknologi Informasi sebagai prasyarat Gapoktan untuk menjadi penyalur pupuk bersubsidi dipenuhi semua.

Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB bidang Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan, Faroby Falatehan. (Foto: Dok. Prodi MPD IPB)
Selain itu, masukan untuk pemerintah, bila tetap memilih melanjutkan mekanisme Gapoktan sebagai penyalur pupuk bersubsidi, maka diperlukan wilayah uji coba atau pilot project, yang diiringi dengan pendampingan terhadap pemenuhan tujuh indikator prasyarat Gapoktan, untuk menjadi penyalur pupuk bersubsidi.
“Selama masa uji coba atau pilot project, di wilayah tersebut Lini III atau Distributor pupuk bersubsidi agar tidak dihilangkan dulu. “Sehingga rantai pasok pendistribusian pupuk bersubsidi tidak terganggu, dan tidak terjadi pengurangan kesempatan berusaha secara mendadak,” tutur Faroby saat jumpa pers secara daring, Jumat (14/2/2025).
Baca juga:
Alokasi Subsidi Pupuk Meningkat, HKTI Minta Perbaikan Tata Kelola dan Akurasi Data
Hal senada disampaikan pengamat pertanian dari CORE Indonesia, Eliza Mardian. Menurutnya, pemerintah harus selektif memilih Gapoktan yang benar-benar siap menjadi penyalur pupuk bersubsidi.
“Harus dipastikan dulu Gapoktan atau Koperasi ini memiliki kemampuan secara finansial. Juga dari sisi pergudangannya untuk menyimpan atau menampung pupuk bersubsidi. Jangan sampai pupuknya saat disimpan rusak atau hilang. Jadi, pemerintah harus selektif memiliki Gapoktan atau Koperasi mana yang bisa dan mampu untuk menjadi penyalur pupuk bersubsidi langsung dari PT Pupuk Indonesia. Kalau misalnya seperti kios atau pengecer kan pasti sudah terbiasa memiliki gudang dan teknologi, karena memang sudah dibina oleh produsen pupuk nasional. Jangan sampai Gapoktannya belum siap, lalu ditunjuk sesuai amanat Perpres, namun terkesan dipaksakan. Akibatnya, cita-cita ideal pemangkasan jalur distribusi pupuk bersubsidi malah menambah masalah baru,” urainya.
Tingkatkan Multi-Kolaborasi
Untuk terus menyempurnakan capaian akurasi penyaluran pupuk bersubsidi, PT Pupuk Indonesia diharapkan memantapkan kolaborasi dengan banyak pihak terkait. Misalnya, dengan Kementerian Pertanian menyangkut sosialisasi Perpres tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, berikut persiapan para pihak berkompeten di lapangan.
Juga, dengan Kementerian Keuangan untuk pengaturan tata cara pembayaran pupuk bersubsidi, permodalan pengecer, formula penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang disepakati semua lini distribusi.
PT Pupuk Indonesia juga diharapkan melakukan kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital terkait konektivitas penyelenggaraan jaringan internet di pelosok daerah.
Sedangkan bersama Kementerian Koperasi, koordinasi diharapkan mampu mewujudkan kesiapan syarat dan prasyarat administrasi Gapoktan agar tak menemui kendala saat menjadi penyalur pupuk bersubsidi. Upaya bersama ini juga bisa langsung dengan memberi bimbingan atau tutorial teknis tentang kewenangan Gapoktan menyalurkan pupuk bersubsidi berikut syarat-syarat yang harus dilengkapi terlebih dahulu.
Bersama dengan Parlemen, terutama Komisi IV DPR RI, PT Pupuk Indonesia juga sudah ditugaskan menjalin sosialisasi penyaluran pupuk bersubsidi. Sekaligus penyampaian proposal implementasi penyaluran pupuk bersubsidi.
Tak cukup sampai disitu, PT Pupuk Indonesia juga diharapkan meningkatkan sinergi dengan Kepolisian, dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Pusat/Daerah untuk memantau gudang-gudang pupuk bersibsidi.
Last but not least, kolaborasi juga musti menargetkan Perguruan Tinggi. Langkah ini ideal agar Kampus turut mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi saat masa transisi hingga pemberlakuan sepenuhnya nanti.
Ya, semua harus berjibaku menggapai akurasi jalur distribusi pupuk bersubsidi. (*)
Mentan Tindak 27 Perusahaan Pupuk yang Rugikan Petani Rp3,2 Triliun
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!