ragam
Joki Strava, Jalan Pintas, dan Kebutuhan Validasi

Tren joki Strava memperlihatkan kebutuhan yang kuat akan validasi, sehingga mendorong individu memilih cara-cara instan demi diterima lingkungan

Penulis: Astri Septiani, Wydia Angga

Editor: Ninik Yuniati

Google News
Joki Strava, Jalan Pintas, dan Kebutuhan Validasi
Para pemuda berolahraga lari di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Sumber: Dokumen pribadi Dani

KBR, Jakarta - Yudi Purwanto (20) sudah sebulan lebih membuka jasa joki Strava. Yang ia jual adalah jasa menggantikan orang lain berolahraga melalui aplikasi Strava. Aktivitas yang dilakukan, misalnya lari atau bersepeda, bakal tercatat atas nama orang lain yang memakai jasa Yudi.

Mahasiswa salah satu kampus di Jakarta ini memasang tarif beragam, tergantung permintaan. Misalnya, lari dengan pace atau kecepatan 6 (1 kilometer ditempuh dalam 6 menit), dipatok Rp30 ribu untuk 3 km dan Rp100 ribu untuk 10 km. Jika pace ingin dinaikkan, maka berlaku tarif tambahan mulai Rp10 ribu hingga Rp50 ribu. Daftar harga tersebut sudah Yudi pajang di media sosialnya.

"Pada mulai tanya-tanya (di Instagram, TikTok, dan Facebook), bisakah nggak cuman road? karena baru-baru ini, nggak cuma road yang viral, di trail juga ada, namanya trail run. Jadi lari, entah itu di gunung, di bukit," kata Yudi.

Yudi memang hobi lari. Ide menjajaki peluang sebagai joki Strava muncul usai Yudi mengunggah rekapan lari di Strava ke media sosial. Beberapa teman kemudian bertanya, apakah Yudi membuka jasa joki Strava?

"Dari situ kepikiran, 'oh iya, apa gue buka joki Strava aja ya?'. Soalnya, kan, banyak orang baru-baru ini lagi viral lari," ujar Yudi.

Menyalurkan hobi lari sambil raup cuan, kenapa tidak? pikir Yudi. Menurutnya, ini peluang menarik, karena market-nya tersedia. Calon-calon kliennya adalah mereka yang takut ketinggalan tren alias FOMO (Fear Of Missing Out), tetapi sibuk, sehingga tidak konsisten berolahraga. 

"Mereka pengin pamer progres, pengin upload, tetapi nggak bisa mencapai target, makanya bayar joki," kata dia.

Beberapa pengguna Strava mengakui ada tekanan FOMO untuk ikut mengunggah capaian akivitas lari maupun olahraga lain ke media sosial. Namun, sebagian pengguna tak melirik joki, karena lebih nyaman menikmati proses secara perlahan. Dani, misalnya, memilih memaksimalkan fitur-fitur di Strava untuk memotivasinya agar rajin berolahraga. 

“Ada tekanan, tapi bentuknya bukan instan, lebih menikmati progres naik pelan-pelan, kan bangga tuh yang tadinya pace keong sampai akhirnya bisa stabil di pace yang diinginkan. Biar nantinya ada personal best,” ujar Dani yang sering lari di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta ini.

red

Foto: Tangkapan layar akun Strava milik Dani 

Hal yang senada disampaikan Dhiah, warga Jakarta Selatan yang tak berminat memakai joki Strava karena membuang-buang uang. Dhiah rajin lari karena merasa tubuhnya butuh olahraga. Namun, ia memahami mengapa ada orang yang menggunakan joki Strava.  

“Karena yang gila konten tapi mager, kan, biar tetap eksis butuh joki-joki itu,” kata Dhiah.

Haus validasi

Psikolog Aully Grashinta bilang FOMO kerap muncul karena kurangnya rasa percaya diri dan tingginya kebutuhan akan validasi dari lingkungan. 

Di media sosial, validasi itu berupa respons, sehingga ada dorongan untuk terus membagikan aktivitas demi mengejar likes atau comments. Joki Strava dianggap bisa mengisi kebutuhan ini, meski masuk kategori cheating.

“Tujuan utama penggunaan Strava yaitu mengidentifikasi performance olahraga kita, menjadi tidak tercapai. Yang tercapai adalah supaya kita tidak merasa fear of missing out. Kita menggunakan cara-cara yang tidak seharusnya, agar tetap eksis, tetap bisa flexing, tetap bisa diterima di lingkungan sosial kita,” kata Aully yang juga dosen Psikologi Universitas Pancasila ini. 

Kebohongan yang dinormalisasi

Aully bilang, pengguna joki Strava mungkin punya masalah kesehatan mental, sehingga memilih berbohong demi flexing, supaya tetap eksis. 

Jika dibiarkan, maka kebohongan ini bisa dinormalisasi dan merembet ke hal-hal lain, misalnya di akademik, pekerjaan, bahkan laporan keuangan. 

Selain itu, tren joki Strava berpotensi pula membuat kecanduan. Pasalnya, media sosial didesain untuk menciptakan ketergantungan akan validasi. Banyak pengguna joki Strava memesan layanan ini berulang kali, karena merasa puas dan dihargai dari reaksi sosial yang mereka terima. 

“Ketika orang tahu Strava-nya bagus, kemudian banyak yang nge-like, banyak yang ngomong keren. Jika kita mendapat dukungan yang baik membuat kita senang pasti itu akan kita lakukan kembali,” tambahnya.

Jangan beralih fokus

Aully mengingatkan, penggunaan aplikasi olahraga seperti Strava semestinya untuk tujuan kesehatan, bukan demi validasi. Kata dia, perlu ditekankan bahwa media sosial dan aplikasi seperti Strava hanya alat bantu untuk mempermudah aktivitas sehari-hari. Jangan sampai fokusnya malah beralih ke alat bantunya. 

"Bahwa kita melakukan sesuatu, bukan untuk internet, bukan untuk media sosial, tetapi untuk perilaku itu sendiri. Kita membaca buku bukan supaya kita dilihat orang lain membaca buku, tapi kita ingin tahu apa yang kita baca. Kita berenang bukan supaya tercatat di Garmin, tetapi karena kita suka berenang," pungkasnya.

Baca juga:

- Mengapa Gen Z Dijuluki Generasi Paling Toleran?

- Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?

Jika anda menyukai pembahasan mengenai kesehatan mental, anda juga dapat menyimak Podcast Disko "Diskusi Psikologi" produksi KBR melalui kbr.id, Spotify maupun Youtube.

joki strava
Strava
berlari
kesehatan mental
mental health
podcast disko
diskusi psikologi
aplikasi lari

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...