NUSANTARA

Teknologi Nyamuk Wolbachia Tekan 77 Persen Kasus DBD di Yogyakarta

Karena, nyamuk Wolbachia terbukti efektif mengurangi 77 persen kasus DBD, dan 86 persen pasien rawat inap karena DBD.

AUTHOR / Ken Fitriani

Wolbachia
Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Riris Andono Ahmad di UGM Yogyakarta (22/11/2023). (Foto: KBR/Ken Fitriani)

KBR, Yogyakarta - Kota Yogyakarta menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dalam pengendalian kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).

Teknologi ini diinisiasi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) bersama Monash University dan Yayasan Tahija sejak 2016 lalu. Hasilnya, angka kasus DBD di Yogyakarta berangsur menurun.

Menurut peneliti utama World Mosquito Program (WSP), Adi Utarini, proses panjang penelitian membuahkan hasil yang menggembirakan. Karena, nyamuk Wolbachia terbukti efektif mengurangi 77 persen kasus DBD, dan 86 persen pasien rawat inap karena DBD.

"Itu bukan hanya angka yang indah di atas kertas, tapi juga berdampak pada pengendalian program dengue maupun kehidupan masyarakat," kata Adi saat dalam konferensi pers di Kampus UGM Yogyakarta, Rabu (22/11/2023).

Adi menceritakan, penelitian teknologi nyamuk ber-Wolbachia awalnya bernama Eliminate Dengue Project (EDP). Ketika itu, pelepasan tahap pertama di Yogyakarta berlangsung selama tujuh bulan, dengan cara menitipkan ember-ember berisi telur nyamuk ber-Wolbachia di rumah-rumah warga.

"Penitipan ember itu selanjutnya meluas ke wilayah intervensi penelitian Kota Yogyakarta pada awal 2017, dan melengkapi seluruh wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2020. Total ada 11.200 ember yang dititipkan ke warga," ujarnya.

Dilanjutkan Adi, penelitian nyamuk ber-Wolbachia bertujuan mengukur dampak jangka panjang. Implementasi teknologinya didahului analisis risiko oleh tim ahli yang dibentuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, serta Pendidikan Tinggi untuk mengidentifikasi berbagai potensi dampak. Hasilnya, disimpulkan bahwa risiko dari penerapan teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini sangat rendah atau dapat diabaikan.

“Tidak serta merta diterapkan, ada proses penting yang dilakukan sebelumnya. Semua dilakukan dengan kehati-hatian dan dikawal dengan ethical clearance,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Riris Andono Ahmad mengatakan, teknologi nyamuk ber-Wolbachia merupakan teknologi yang sangat potensial sebagai strategi pelengkap pengendalian kasus DBD.

Teknologi ini aman dan risiko implementasinya yang sangat rendah. "Ini merupakan hasil kajian analisis risiko yang dilakukan secara independen oleh sejumlah ahli dari berbagai bidang," terangnya.

Secara singkat, Riris menerangkan cara kerja Wolbachia di dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti. "Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat di sebagian besar serangga di dunia. Setelah diteliti, bakteri ini terbukti mampu menekan replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti. Maka WMP melepas nyamuk ber-Wolbachia di habitat alaminya agar kawin dengan Aedes Aegypti lokal tanpa Wolbachia sehingga menghasilkan keturunan Aedes Aegypti ber-Wolbachia, " ujarnya.

Di sisi lain, tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan, Kemantren Jetis, Yogyakarta, Totok Pratopo mengungkapkan, sebelum penerapan program WMP, kondisi penyebaran kasus DBD di kelurahannya terbilang memprihatinkan. Kasus baru selalu muncul menjelang akhir tahun, bahkan hingga mengakibatkan kematian.

“Kampung di pinggir Kali Code sebenarnya memiliki potensi yang tinggi karena tingkat kebersihan lebih rendah dan banyak genangan. Bersyukur teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini ditemukan. Hari ini, kampung saya di Jetisharjo nol kasus DBD. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal, ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat,” katanya.

Menurut Totok, teknologi ini memang sulit untuk dipahami masyarakat awam. Hal inilah yang mungkin membuat sejumlah orang sempat meragukan efektivitas program yang diterapkan. “Selama ini, kita diajarkan untuk memberantas nyamuk, sekarang justru mau menyebarkan nyamuk,” kelakarnya.

Baca juga:

- Ikut Tangani DBD, DPR Deklarasikan Kobar Lawan Dengue

- Wamenkes: DBD Masih Jadi Masalah Serius Kesehatan

Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Lana Unwanah mengungkapkan, ada 67 kejadian DBD di "Kota Gudeg" pada Oktober lalu. Angka itu merupakan terendah selama 10 tahun terakhir. Alhasil, alokasi dana penyemprotan asap (fogging) pun hanya terealisasi sebagian kecil saja.

"Sepanjang tahun 2023 ini baru dilakukan sembilan kali fogging. Ini berkat nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia yang dilepaskan. Tahun 2016, fogging dilakukan sebanyak lebih dari 200 kali, dan 2017 lebih dari 50 kali," pungkasnya.

Editor: Fadli

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!