NASIONAL

Teknologi Carbon Capture and Storage, Potensial tapi Mahal

Cara lebih murah kurangi emisi adalah dengan menjaga hutan

AUTHOR / Lea Citra, Ninik Yuniati

Teknologi Carbon Capture and Storage, Potensial tapi Mahal
Pekerja memeriksa lokasi penerapan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Pertamina EP Sukowati Field, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (7/12/2023). (Ant/Budi Candra)

KBR, Jakarta - Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS), yang belakangan ramai diperbincangkan, belum bisa diharapkan sebagai solusi pemanasan global. Menurut ekonom energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Alloysius Joko Purwanto, di dunia penerapan CCS juga masih terbatas, karena butuh biaya besar.

Sebelumnya, topik soal CCS mendadak populer karena disinggung oleh cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka pada debat perdana cawapres, 22 Desember 2023 lalu.

Teknologi CSS digunakan untuk menangkap emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi minyak dan gas. Karbon yang ditangkap lantas disuntikkan kembali ke dalam sumur (reservoir) migas, kemudian disimpan atau digunakan untuk menguras sumur, sehingga minyak yang tersisa di dalamnya bisa diproduksi.

"Untuk memperpanjang produksi gas atau minyak itu, caranya dengan menginjeksi CO2 ke dalam sumur yang sudah mulai menurun produksinya," kata Alloysius saat dihubungi KBR melalui jaringan telepon.

Alloysius bilang, teknologi CCS sudah mulai dipraktikkan pada 1980-an sudah di beberapa negara tetapi dalam skala kecil di bidang produksi migas. Indonesia juga baru memulainya lewat beberapa proyek pilot. Pertamina, misalnya, sudah menginjeksikan CO2 ke reservoir Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat dan Sukowati, Bojonegoro, Jawa Timur. 

Selain untuk meningkatkan produktivitas migas, CCS juga bakal diarahkan ke transisi energi.

"Sampai saat ini belum digunakan secara komersial, tapi di masa datang, teknologi ini bisa digunakan mengurangi CO2, misalnya proyek eksploitasi minyak gas, industri semen, pupuk, baja atau industri kimia," lanjut Alloysius.

Baca juga: Imuwan BRIN: Suhu Global Bumi Mendidih Lebih Cepat

Kata Alloysius, Indonesia punya potensi besar sebagai pemain utama pengurangan karbon dengan teknologi CCS, karena memiliki kapasitas penyimpanan CO2 sekitar 5 hingga 8 gigaton. Sedangkan total emisi yang dihasilkan Indonesia pada 2020 mencapai hampir 2 gigaton.

"Negara maju tujuan net zero 2040-2060, ada tuntutan mengurangi emisi lebih berat. Dia bisa melirik Indonesia sebagai penyimpan, kan kita punya banyak sumur gas yang mulai kering. Jadi kalau saya lihat, nantinya bukan kita dulu yang menggunakan teknologinya, tetap dipakai negara-negara yang memiliki tuntutan pengurangan emisi yang lebih besar," jelas dia.

Ekonom INDEF Tauhid Ahmad juga berpandangan CCS belum bisa diandalkan sebagai pengurang emisi dalam waktu dekat. Jika CCS diterapkan di industri, maka akan menyebabkan biaya membengkak dan berdampak pada kenaikan harga produk.

"Kalau menerapkan ini, ya mungkin mereka (industri) harus mengganti mesinnya, mengganti sumber energinya, dan itu cukup mahal. Siapa yang mau bangun kalau mahal?," kata salah satu panelis debat cawapres pertama ini.

Upaya bertahap seperti mengurangi penggunaan energi fosil, pensiun dini PLTU batubara hingga pengembangan energi terbarukan menjadi pendekatan paling realitis untuk memitigasi pemanasan global. Selain itu, menjaga hutan juga merupakan opsi yang lebih murah untuk dijalankan.

"Wilayah-wilayah yang memang sebagai pengurang emisi itu ditetapkan, misalnya daerah lindung dan sebagainya, hutan di Kalimantan, daerah-daerah yang memang ini tidak boleh ada konversi (lahan) lagi," jelas Tauhid.

Editor: Ninik Yuniati

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!