NASIONAL

Ilmuwan BRIN: Suhu Global Bumi Mendidih Lebih Cepat

"Kenyataannya suhu global Bumi ini ternyata jauh lebih cepat peningkatannya dari pada yang diperhitungkan oleh para ilmuwan,"

AUTHOR / Arie Nugraha

pendidihan global
Ilustrasi: Pendidihan global, relawan membersihkan sampah di kawasan Alun-Alun Kidul, Yogyakarta, Jumat (28/07/23). (Antara/Hendra Nurdiyansyah)

KBR, Bandung- Ilmuwan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan suhu global Planet Bumi mendidih sebelum waktunya. menurut Peneliti Klimatologi Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin,  berdasarkan dari hasil seluruh model proyeksi mengenai perubahan iklim   menunjukkan, Bumi akan mencapai suhu 1,5 derajat Celsius nanti pada tahun tahun 2050.

Kata dia, pantauan saat ini menunjukkan bahwa pada Juli rata-rata suhu bumi mencapai 1,35 derajat Celsius.

"Faktanya saat ini 2023, masih 17 tahun lagi kita sudah di titik 1,35 derajat (Celsius) yang mengindikasikan bahwa kenaikan terjadi lebih cepat dari yang diproyeksikan, diperkirakan. Inilah yang menggelisahkan para ilmuwan saat ini, bahwa pada kenyataannya suhu global Bumi ini ternyata jauh lebih cepat peningkatannya dari pada yang diperhitungkan oleh para ilmuwan," ujar Erma dalam akun YouTube pribadinya, Bandung, Selasa (08/08/23).

Erma mengatakan dampak dari peningkatan suhu 1,1 derajat Celsius saja sudah menyebabkan banjir besar.

Seperti rentetan kejadian banjir dahsyat sekitar Mei - Juni 2023 yang terjadi di Pakistan, India, Korea dan baru-baru ini terjadi juga di Jepang, Cina dan Amerika Serikat.

Berbagai dampak kenaikan suhu global ini lanjut Erma, tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para ilmuwan.

"Bahwa kenaikan 1,1, 1,2 atau 1,3 derajat Celsius itu bisa demikian parah efeknya. Dari satu sisi menunjukkan bahwa badai-badai siklon atau siklon-siklon tropis terjadi lebih parah, lebih kekuatannya, lebih dahsyat tornado, terjadi lebih mematikan dan seterusnya mungkin dua sampai tiga kali lipat. Itu di satu sisi itu kalau kita bicara banjir," kata Erma.

Erma menerangkan terjadi pula peningkatan kejadian siklon tropis atau badai siklon dengan pesat. Sehingga tornado yang dihasilkan di atas daratan pun lebih kuat sifatnya.

Ketika terjadi badai, berbagai infrastruktur hancur bahkan memakan korban beberapa puluhan bahkan ratusan orang karena sifatnya katastropik berupa banjir yang luar biasa besar ketika badai tersebut terjadi.

Erma menegaskan hal ini menjadi sesuatu yang menggelisahkan bagi ilmuwan khususnya dan kelompok masyarakat luas.

"Jadi ada ancaman banjir dahsyat dan juga di sisi yang lain ada ancaman dari gelombang panas. Ini yang sedang terjadi di negara-negara maju di belahan bumi utara. Dan itu juga yang sedang dinyatakan oleh Sekjen PBB," ucap Erma.

Peringatan mengenai fase bumi yang mendidih ketika 1,35 darajat Celsius nanti semakin meningkat, menjadi 1,4, 1,5 derajat Celsius dalam waktu yang tidak lama lagi. Mungkin dalam waktu yang mungkin lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sejumlah negara di belahan Bumi Utara akan mengalami apa yang dikatakan atau disebut dengan gelombang panas.

Mereka terancam dengan gelombang panas ini yang tadinya 45 - 50 derajat Celsius, mungkin akan ada peningkatan yang terjadi secara cepat.

"Mungkin peningkatannya bisa sampai 50 sampai 55 derajat Celsius. Dan inilah yang dikatakan dengan mendidih itu ketika negara negara di belahan bumi utara mengalami ancaman yang serius," tukas Erma.

Bukan hanya mengancam, Erma menegaskan ancaman tersebut kini sudah terjadi di beberapa negara yang kini diterpa suhu yang sangat panas.

Banyak negara bagian Bumi Utara saat ini berada pada situasi mengalami tantangan menghadapi gelombang panas.

Dampak nyata terpaan suhu panas ini adanya hotspot (titik panas) yang memicu hutannya terbakar karena suhu yang panas tadi di sisi yang lain juga terjadi.

"Kondisi bumi saat ini telah memasuki titik yang dinamakan dengan tipping point. Tipping point adalah suatu kondisi saat bumi berada pada fakta suhu yang sangat panas dan anomali suhu global tersebut menyebabkan sesuatu yang berdampak pada cuaca dan iklim dunia yang tidak bisa terkontrol lagi," ungkap Erma.


Baca juga:

Suhu dan iklim dunia global sebut Erma, selain memanas juga berubah menjadi sangat liar karena tipping point ini adalah puncaknya.

Setelah bumi berada pada kondisi tipping point, maka kondisi selanjutnya adalah titik decline atau bisa dikatakan dalam tanda kutip kehancuran.

Atas dasar data dan kejadian ini yang telah digaris bawahi dan juga ditekankan oleh Sekjen PBB agar menjadi keprihatinan sekaligus kewaspadaan seluruh pihak.

"Tidak hanya berhenti pada keprihatinan, melainkan juga harus diikuti oleh langkah langkah real, kebijakan - kebijakan yang nyata untuk mengendalikan agar krisis iklim tidak semakin lama semakin parah," tegas Erma.

Penyebab krisis iklim ini menjadi semakin parah atau Bumi dikatakan diambang kehancuran, yaitu ketika anomali global, suhu global bumi mencapai lebih dari satu derajat Celsius.

Era Pendidihan Global

Sebelumnya Perserikatan Bangsa-Bangsa Era menyebut pemanasan global telah berakhir dan “era pendidihan global telah tiba”.  Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengatakan  itu setelah para ilmuwan mengonfirmasi bahwa Juli   menjadi bulan terpanas di dunia dalam sejarah.

“Perubahan iklim ada di sini. Itu menakutkan. Dan itu baru permulaan,” kata Guterres, Kamis (27/06/23). 

Kata dia, “Masih mungkin untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 Celcius,  dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk. Tapi hanya dengan aksi iklim yang dramatis dan langsung.”

Komentar Guterres muncul setelah para ilmuwan mengkonfirmasi  Juli akan menjadi bulan terpanas yang pernah tercatat. Temperatur global bulan ini telah memecahkan rekor. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program pengamatan Bumi Copernicus UE, kenaikan temperatur dipicu  pembakaran bahan bakar fosil.

Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!