NASIONAL

Soal Putusan 60, MK Bantah Ambil Alih Kewenangan Pembuat UU

"Sekali lagi pijakannya adalah kami inginkan pemilu kita ini bisa berjalan dengan demokratis dan konstitusional."

AUTHOR / Wahyu Setiawan

EDITOR / Rony Sitanggang

Ambang batas pilkada
Ilustrasi: Adu cepat merakit kotak suara pemilu bekas di halaman Kantor KPU Kota Blitar, Jatim, Kamis (17/08/24). (Antara/Irfan Anshori)

KBR, Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) membantah mengambil alih kewenangan pembuat undang-undang. Bantahan disampaikan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, saat menjelaskan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Putusan itu mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Melalui putusan itu, MK membolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD, untuk mengusung calon kepala daerah.

"Untuk apa? Bukan karena ingin kemudian bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada atau kemudian melanggar ketentuan yang sudah ada, atau mengambil alih kewenangan dari lembaga yang telah diberikan kewenangannya oleh undang-undang. Tetapi sekali lagi pijakannya adalah kami inginkan pemilu kita ini bisa berjalan dengan demokratis dan konstitusional. Ini yang kami harapkan lewat putusan-putusan itu," kata Enny saat pembukaan Constitutional Law Festival 2024, Jumat (13/9/2024).

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, putusan itu sebetulnya hanya penegasan dari mahkamah terhadap putusan-putusan sebelumnya yakni putusan Nomor 5 Tahun 2005 dan Nomor 5 Tahun 2007.

Dia mengatakan, putusan itu tidak dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Putusan itu berkaitan dengan aturan pengajuan pasangan calon.

"MK menegaskan kembali putusan yang terkait dengan tidak boleh dikaitkan suara sah partai politik peserta pemilu yang sudah melewati berbagai macam fase sebagai partai politik, dia kemudian punya suara sah tapi tidak bisa punya kursi di DPR. Ini yang tidak perlu kemudian harus diikuti syarat wajib adanya kursi bagi mereka, tapi cukup mereka partai politik peserta pemilu yang punya suara dapat mengajukan calon," jelas Enny.

"Apakah ini kemudian akan dihalangi sementara dibuka keran mengenai pencalonan perseorangan yg jauh lebih mudah dibandingkan parpol. ini lah kemudian latar belakang MK mengambil putusan," sambungnya.


Baca juga:

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilu DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung bakal mengevaluasi posisi MK. Sebab, dia menganggap MK banyak mengerjakan urusan yang bukan kewenangannya.

Menurut Doli, salah satu contohnya yakni mengenai pilkada. Seharusnya, MK meninjau ulang norma di Undang-Undang tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kata dia, MK justru masuk hal-hal teknis melampaui batas kewenangannya.

"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan," kata Doli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Dia menuding MK kerap mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Oleh sebab itu, DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan putusan MK yang saat ini bersifat final dan mengikat

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!