NASIONAL

Sikap NU dan Muhammadiyah soal Revisi UU Pilkada

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut DPR tak semestinya menyalahi dan berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan Pilkada 2024.

AUTHOR / Wahyu Setiawan, Sindu

EDITOR / Sindu

Sikap NU dan Muhammadiyah soal Revisi UU Pilkada
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat rapat paripurna dengan agenda pengesahan revisi UU Pilkada, Kamis, 22 Agustus 2024. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung aksi demo menolak revisi Undang-Undang (UU) Pilkada dari berbagai elemen masyarakat sipil di sejumlah daerah, Kamis, 22 Agustus 2024.

Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf menyebut demo menolak RUU Pilkada dilakukan untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, demo jadi salah satu cara masyarakat sipil menyampaikan aspirasi ke DPR.

"Kami tentu mendukung semua pandangan yang pada dasarnya membela kepentingan-kepentingan nyata dari rakyat banyak, dan juga mengarah kepada perbaikan sistem demokrasi kita," tutur Gus Yahya di Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2024, seperti dikutip KBR dari nu.or.id, Jumat, (23/08).

RUU Pilkada Menyalahi Aturan

Lain halnya dengan Muhammadiyah. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut DPR tak semestinya menyalahi dan berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan Pilkada 2024.

Putusan MK yang dimaksud adalah terkait persyaratan calon kepala daerah, dan ambang batas pengusungan calon di pilkada.

"Langkah DPR tersebut selain dapat menimbulkan masalah disharmoni dalam hubungan sistem ketatanegaraan, juga akan menjadi benih permasalahan serius dalam Pilkada 2024. Selain itu, akan menimbulkan reaksi publik yang dapat mengakibatkan suasana tidak kondusif dalam kehidupan kebangsaan,"ujar Mu'ti, Kamis, 22 Agustus 2024, seperti dikutip KBR dari muhammadiyah.or.id.

Mu'ti sulit memahami sikap DPR yang bertolak-belakang dengan putusan MK. Selain itu kata dia, sebagai lembaga negara, DPR seharusnya mengedepankan kebaikan, kebenaran, dan kepentingan rakyat serta negara, dibanding kepentingan kekuasaan semata.

"Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya menjadi teladan dan mematuhi undang-undang," imbuhnya.

"DPR sebagai pilar legislatif, hendaknya menghormati setinggi-tingginya lembaga yudikatif termasuk Mahkamah Konstitusi," tambah Mu'ti.

red
Aksi demo massa kawal putusan MK di depan gedung DPR, Kamis, 22 Agustus 2024. Foto: KBR/Nanda Naufal

Mengakali MK

Sebelumnya, Baleg DPR tidak menerapkan seluruh putusan MK saat membahas revisi Undang-Undang Pilkada di Gedung Parlemen, Rabu, 21 Agustus 2024.

Baleg DPR menerapkan atau mengombinasikan putusan MK dengan aturan yang sebelumnya. Yakni, ambang batas baru yang ditetapkan MK hanya berlaku untuk partai nonparlemen.

Sedangkan, partai yang memiliki kursi di parlemen mengikuti aturan lama, yaitu minimal perolehan kursi 20 persen di DPRD bagi partai politik atau koalisi parpol untuk bisa mengajukan pasangan calon.

Padahal, MK menyatakan Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. MK telah mengubah syarat ini menjadi, partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon jika memperoleh suara antara 6,5 persen hingga 10 persen dari total suara sah di provinsi atau kabupaten/kota. Persentase bergantung pada jumlah penduduk di wilayah itu.

Menggunakan Putusan MA

Pun halnya soal syarat usia calon kepala daerah. Baleg DPR kembali mengabaikan putusan MK. Baleg DPR memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan syarat usia dihitung sejak pelantikan. Aturan ini ditengarai memuluskan jalan anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju di pilkada.

Jika menggunakan putusan MK, yakni berusia 30 tahun ketika pendaftaran, maka Kaesang tak bisa mendaftar. Saat ini, anak bungsu Jokowi itu berusia 29 tahun.

Final dan Mengikat

Hakim Saldi Isra dalam sidang Selasa pekan ini mengingatkan konsekuensi hukum jika pembentuk undang-undang tidak mematuhi putusan MK.

"Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo sebagai kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," kata Saldi Isra, Selasa, (20/8/2024).

Ditunda

Kemarin, DPR urung mengesahkan revisi UU Pilkada dalam rapat paripurna. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menunda pembukaan Rapat Paripurna ke-3 Masa Persidangan I 2024-2025. Penundaan dilakukan lantaran anggota DPR yang menghadiri rapat belum memenuhi kuorum.

"Saudara-saudara para anggota, dan hadirin yang kami muliakan, sebelum, sehubungan dengan belum terpenuhinya syarat kuorum rapat paripurna hari ini, maka sesuai dengan Pasal 281 ayat 3, Tata Tertib DPR RI sebagai berikut, penundaan pembukaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilakukan dalam jangka waktu 30 menit, apakah dapat disetujui? 'Setujuuu!'," kata Sufmi saat memimpin Rapat Paripurna DPR, Kamis, 22 Agustus 2024.

Namun, hingga 30 menit penundaan, rapat belum kuorum, sehingga DPR kembali menunda. Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tak menyebut kapan rapat akan digelar kembali.

Sedianya, rapat kali ini akan mengesahkan revisi keempat UU Pilkada. Tetapi, rencana ini menuai protes dari berbagai elemen masyarakat, lantaran tak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Terutama terkait syarat usia calon kepala daerah, dan ambang batas pencalonan.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!