"Kalau negara harus bertanggung jawab seutuhnya dan sepenuhnya untuk seluruh lembaga pendidikan, termasuk swasta, apa sanggup?," kata Haedar.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Resky Novianto

KBR, Yogyakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terkait kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis selama 9 tahun bagi seluruh anak di Indonesia.
Putusan ini menjadi angin segar bagi cita-cita keadilan Pendidikan, meski di sisi lain juga membuka babak baru tantangan besar bagi pemerintah dalam implementasinya. Khususnya, penyelarasan dengan sekolah swasta.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai keputusan yang diambil itu perlu ditelaah dengan cermat. Sebab, hal itu berpotensi merugikan lembaga pendidikan termasuk swasta yang telah lama berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Muhammadiyah tidak setuju. Muhammadiyah salah satu penyelenggara pendidikan swasta terbesar di Indonesia," katanya di sela Groundbreaking TK ABA Semesta di Sleman, DIY, Selasa (3/6/2025).
Pertanyakan Kesanggupan Pembiayaan Anggaran Negara
Selain itu, Haedar juga meminta agar pemerintah mempertimbangkan aspek anggaran dan kemampuan negara untuk membiayai seluruh pendidikan dasar secara gratis, termasuk di sekolah swasta.
Ia juga mempertanyakan kemampuan negara dalam menanggung seluruh beban pembiayaan pendidikan swasta di tengah keterbatasan anggaran dan tantangan pengelolaan lembaga pendidikan yang jumlahnya sangat besar.
"Kalau negara harus bertanggung jawab seutuhnya dan sepenuhnya untuk seluruh lembaga pendidikan, termasuk swasta, apa sanggup? Apakah Kemendikti dan Kemendikdasmen diberi anggaran yang cukup untuk menanggung seluruh lembaga pendidikan swasta?," ungkap Haedar.
Haedar juga mengingatkan agar lembaga swasta tidak digeneralisasi sebagai institusi yang berorientasi pada bisnis. Menurutnya, sebagian besar lembaga pendidikan swasta, termasuk Muhammadiyah, beroperasi untuk melayani masyarakat dan bukan untuk mencari keuntungan semata.
"Kalau ada satu dua yang berkepentingan bisnis, jangan menjadi keputusan konstitusi," tegasnya.
Lebih lanjut, Haedar meminta agar para hakim MK menjadi negarawan dalam mengambil keputusan dan memperhatikan realitas pendidikan di lapangan.
"Kami juga sekaligus mengimbau kepada 13 anggota MK belajar saksama, menjadi negarawan dan dalam memutuskan itu harus betul-betul komprehensif. Jangan karena ada satu dua gugatan lalu mudah memenuhi gugatan ini," imbuhnya.

Opsi Judicial Review
Haedar tak menampik bahwa Muhammadiyah akan membuka opsi untuk mengajukan judicial review terhadap putusan tersebut jika implementasinya terbukti merugikan. Namun, opsi itu akan melihat terlebih dahulu perkembangan implementasi putusan MK tersebut.
"Kita lihat perkembangannya. Kalau kemudian penerjemahannya seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan, itu hanya payung umum, yang payung operasionalnya tetap seperti sekarang ini atau ada hal-hal yang nanti berdampak buruk, baru di situ kita mengambil kebijakan,” tutur Haedar.
“Kita tidak akan tergesa-gesa, tapi kita memberi pandangan agar ke depan semuanya seksama," tegasnya.
Menurut Haedar, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak menutup ruang gerak sekolah swasta untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Putusan MK tersebut, kata dia, tidak boleh diterjemahkan secara kaku sehingga menghilangkan peran strategis lembaga pendidikan swasta.
"Kalau kemudian melakukan kebijakan, misalkan seperti hasil MK kemarin, itu harus seksama. Dasarnya ya jangan sampai mematikan swasta yang justru sama dengan mematikan pendidikan nasional," ucapnya.
Tantangan Skema Pembiayaan Pendidikan Gratis
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nanik Prasetyoningsih menambahkan, ada tantangan hukum terbesar yang akan dihadapi pemerintah pusat maupun daerah dalam mengimplementasikan putusan ini. Kata dia, diperlukan penyelarasan skema pembiayaan pendidikan gratis antara sekolah negeri dan swasta melalui kemitraan strategis.
“Putusan ini bersifat progresif yang secara tidak langsung memaksa negara untuk mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan dasar. Kalau pembiayaan ini hanya untuk sekolah negeri, maka itu bentuk diskriminasi dari negara. Di sinilah letak kerumitan utamanya. Pemerintah perlu memikirkan model pendanaan yang adil dan berkelanjutan,” kata Nanik di UMY, Rabu (4/6/2025).
Dalam amar putusan MK, pasal 34 ayat 2 Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai inkonstutisional bersyarat, ratio decidendi berikutnya, MK menyatakan negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan dasar, tanpa memungut biaya, baik satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat.

Nanik menilai, hal ini menegaskan kembali pembiayaan tidak terbatas pada negeri tapi juga harus swasta. Adapun implikasi hukum dan kebijakan kompleks yang terjadi, imbas dari putusan ini.
"Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi menyusun kebijakan. Selain itu, pemerintah juga perlu mengalokasikan anggaran untuk mendukung pendidikan dasar gratis, sembari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara kooperatif melakukan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang relevan untuk mengakomodir keputusan ini," jelasnya.
Nanik mengusulkan langkah taktis yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menjalankan amanat konstitusi secara efektif. Salah satunya, dengan membentuk tim pengawas yang akan memastikan proses distribusi anggaran ke sekolah negeri maupun swasta berjalan dengan aman dan merata.
“Pemerintah harus membentuk satuan pengawas juga, untuk memastikan distribusi merata. Diperlukan desain baru dari dana BOS. Sekarang sistem BOS juga tidak tepat sasaran, misalnya, ada pesantren yang tidak ada santrinya tapi dapat BOS,” kata Nanik.
“Putusan MK juga harus dilakukan sesegara mungkin untuk konversi anggaran-anggaran pelaksanaan ini juga dapat berjalan sesuai waktu yang diharapkan,” imbuhnya.
Pemkot Yogyakarta Mendukung
Sementara Walikota Yogyakarta, Hasto Wardaya menyebut, pihaknya menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan negara untuk menggratiskan pendidikan dasar di sekolah negeri maupun swasta.
Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan solusi konkret bagi akses pendidikan yang merata.
“Itu saya kira keputusan yang bagus, karena daripada menyediakan SD baru, SMP baru yang harus repot-repot membuat sekolah gratis khusus, mending sekolah yang ada digratiskan,” kata Hasto di Kompleks Balaikota Yogyakarta, Kamis (5/6/2025).
Meski demikian, Hasto menekankan bahwa menggratiskan seluruh sekolah swasta dari tingkat SD hingga SMP akan memerlukan dukungan anggaran besar.
Sebab, kata dia, selama ini sekolah swasta dikelola secara mandiri dan terkenal dengan standar kualitas tinggi yang ditopang biaya operasional dari orang tua murid.
"Swasta biasanya laris. Tahu sendiri di Kota Yogyakarta itu SD negeri kosong, tapi SD swasta berjubel orang mau masuk karena SD swasta lebih baik, tapi karena bayar juga," jelasnya.

Hasto khawatir jika sekolah swasta menerapkan kebijakan itu akan kesulitan mempertahankan kualitas jika sepenuhnya mengandalkan anggaran pemerintah.
“Nah ini jadi perlu penyesuaian. Bisakah kita tidak bayar tapi tetap berkualitas hanya mengandalkan kemampuan negara?,” paparnya.
Dijelaskan Hasto, saat ini Kota Yogyakarta telah mengalokasikan 20 persen dari APBD untuk sektor pendidikan sesuai amanat undang-undang. Jika alokasi anggaran harus ditambah untuk membiayai sekolah swasta secara penuh, maka sektor lain dikhawatirkan akan tidak tersentuh.
“Kalau jauh di atas 20 persen, habis lainnya enggak kebagian,” terangnya.
"Dengan standar seperti operasional swasta tidak mungkin karena operasional swasta tinggi. Saya enggak tahu kapan keputusan MK dijalankan,” tutup Hasto.
Gambaran Anggaran Pendidikan pada APBN 2025
Mengutip dari laman djpb.kemenkeu.go.id, anggaran Pendidikan di APBN 2025 tetap sebesar 20% dari total anggaran, mengalami peningkatan total anggaran Pendidikan yang semula Rp665,02 triliun (APBN 2024) menjadi Rp724,2 triliun (APBN 2025).
Dari total anggaran Pendidikan tersebut, porsi terbesar dialokasikan untuk Transfer ke Daerah sebesar 47,92% (Rp347,09 triliun) dari total anggaran Pendidikan. Disusul oleh anggaran Pendidikan Kementerian/Lembaga (K/L) lainya sebesar 14,42% (Rp104,47 triliun) dan Anggaran Kemenag sebesar 9,10% (Rp65,92 triliun).
Sementara itu, Kemendikdasmen memperoleh Rp33,55 triliun (4,63%), dan Kemendikti Ristek sebesar Rp57,68 triliun (7,96%).
Pemerintah juga menganggarkan Rp55 triliun (7,59%) untuk pembiayaan pendidikan, serta Rp25 triliun (3,45%) untuk Dana Abadi Pendidikan. Selain itu, terdapat pos anggaran pendidikan Non Kementerian/Lembaga (Non K/L) sebesar Rp35,55 triliun (4,91%).
Baca juga:
- Putusan MK Soal SD-SMP Gratis, Harapan Baru untuk Akses Pendidikan Tanpa Diskriminasi?