NASIONAL

Rekomendasi FKUB Dicabut, Mendirikan Rumah Ibadah Lebih Mudah?

Nantinya, syarat perizinan pembangunan rumah ibadah hanya butuh rekomendasi Kementerian Agama.

AUTHOR / Resky Novianto, Shafira Aurelia, Astry Yuana Sari

EDITOR / Sindu

Rekomendasi FKUB Dicabut, Mendirikan Rumah Ibadah Lebih Mudah?
Ilustrasi: Toleransi umat beragama. Foto: Freepik.com

KBR, Jakarta- Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengapresiasi rencana pemerintah mempermudah pendirian rumah ibadah, dengan mencoret rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Nantinya, syarat perizinan pembangunan rumah ibadah hanya butuh rekomendasi Kementerian Agama (Kemenag).

Ketua Umum PGI, Gomar Gultom mengakui, selama ini, kelompok minoritas sulit mendirikan rumah ibadah karena terhambat rekomendasi dari FKUB. Karenanya, Gomar menyambut baik, rencana pemerintah menghapus syarat ini. Namun, ia masih sangsi dengan efektivitas pelaksanaannya.

"Memang dicabutnya rekomendasi FKUB ini tidak menjamin bahwa akan lebih mudah. Karena tetap saja pemerintah daerah dalam hal ini bupati atau wali kota yang memberikan izin itu. Dan bupati atau wali kota bisa saja juga disandera oleh kelompok-kelompok intoleran. Nah, di sini pentingnya kita memberi kesadaran yang sungguh-sungguh kepada pemerintah daerah untuk berani tegas tidak tunduk pada tekanan-tekanan masyarakat," ucapnya kepada KBR, Minggu, 4 Agustus 2024.

Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom berharap pemerintah serius dan berkomitmen mempermudah perizinan pendirian rumah ibadah, khususnya di daerah dengan tingkat intoleransi tinggi.

Mencabut Rekomendasi FKUB

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bakal mencoret rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam pembangunan tempat ibadah. Nantinya, izin rumah ibadah hanya butuh rekomendasi dari Kementerian Agama.

Aturan baru tersebut bakal ditetapkan dalam bentuk peraturan presiden. Yaqut mengeklaim poin-poin dalam rancangan perpres sudah disepakati Menko Polhukam Hadi Tjahjanto dan Mendagri Tito Karnavian.

Selama ini, izin rumah ibadah tertuang dalam Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006. SKB dinilai jadi salah satu menjadi sumber konflik pendirian rumah ibadah.

Dukungan BPIP

Rencana menghapus rekomendasi FKUB sebagai syarat perizinan rumah ibadah didukung Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo.

Namun, ia mengingatkan, masalah pendirian rumah ibadah tak hanya sebatas rekomendasi FKUB. Ada ketentuan lain yang selama ini kerap mengganjal kelompok minoritas.

"Ada persoalan dalam Pasal 13 dan 14 (SKB dua menteri) tentang syarat pendirian rumah ibadah harus mendapatkan dukungan dari 60 orang. Dukungan itu hendaknya tidak lagi hanya untuk yang berbeda agama tetapi dukungan 60 orang itu, ya, dari kaum lintas umat beragama, jadi tidak lagi yang tidak seiman. Sebab, itu akan tetap menyulitkan, kalau tetap ada dukungan 60 orang dari agama yang berbeda," kata Benny kepada KBR, Minggu, (4/8/2024).

Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Romo Benny menekankan, syarat wajib dukungan 60 umat agama lain tersebut juga mesti direvisi. Selain itu, aturan baru harus jelas dan tidak multitafsir agar di tataran realita, benar-benar mempermudah semua kelompok agama.

Kata Romo Benny, kepala daerah juga perlu dievaluasi. Paalnya, selama ini izin dan rekomendasi dari Kementerian Agama soal rumah ibadah kerap diabaikan pemda.

red
Ilustrasi: Peresmian enam rumah ibadah di lingkungan UGM, Selasa, 19 Desember 2023. Foto: Humas UGM

Pemda dan Kemenag Mempersulit?

Catatan juga datang dari Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan. Ia menyoroti peran pemda dan perwakilan Kementerian Agama di daerah soal pendirian rumah ibadah. Keduanya, kata Halili, tak jarang mempersulit kelompok minoritas membangun rumah rumah ibadah.

"Sehingga isu ini mesti di-handle bukan semata-mata soal dicabutnya rekomendasi, tetapi kita harus memastikan juga bahwa pemerintah daerah, kemudian lembaga Kementerian Agama di tingkat kantor wilayah, itu juga punya perspektif yang sama soal pemihakan pada keberagaman di satu sisi, yang lain soal perlindungan hak-hak atas kebebasan beragama berkeyakinan bagi kelompok minoritas setempat," kata Halili kepada KBR, Minggu, (4/8/2024).

Direktur Eksekutif Halili Hasan, juga menggarisbawahi syarat 90-60 sebagai syarat administratif yang menyulitkan kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah. Syarat yang dimaksud yakni, rumah ibadah harus didukung setidaknya 90 jemaah dan 60 umat agama lain di lingkungan sekitar.

Catatan Setara Institute, 1,5 dekade terakhir, ada 500-an gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah.

Contohnya, pelarangan ibadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung dan penolakan pembangunan sarana ibadah jemaah Ahmadiyah di Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat.

Paradigma

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebut, pemerintah perlu mengubah paradigma atau kerangka berpikir soal pendirian rumah ibadah.

Orientasinya harus diarahkan pada penghormatan dan perlindungan terhadap semua kelompok agama. Menurutnya, jika paradigma itu belum terbangun, maka rencana mempermudah pendirian rumah ibadah, bakal sia-sia.

"Rumah ibadah selayaknya sebenarnya itu itu pendiriannya seperti rumah-rumah yang lain persyaratannya, persyaratan administratif soal keamanan dan soal keselamatan. Jadi tidak kemudian berdasarkan kepada angka-angka 90-60. Jadi, yang harus diubah ada dua, yang pertama paradigma pemerintah sendiri yang harusnya menghormati melindungi. Kedua, paradigma mendorong masyarakat memahami apa itu arti keberagaman atau perbedaan," ucap Isnur kepada KBR, Minggu, (4/8/2024).

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mendorong penghapusan syarat-syarat diskriminatif dalam pendirian rumah ibadah. Misalnya skema 90-60 yang termuat dalam SKB 2 Menteri.

Selain itu, dialog lintas agama perlu diperbanyak agar kasus-kasus persekusi rumah ibadah bisa ditekan.

Isnur juga mendorong pemerintah menerapkan standar internasional tentang HAM, salah satunya terkait hak pendirian rumah ibadah.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!