NASIONAL

Ramai-ramai Uji Formil di MK, Soroti Legalitas UU TNI hingga Penempatan Jabatan Sipil

“Perencanaan revisi Undang-Undang TNI dalam prolegnas prioritas 2025 dilakukan secara ilegal,” ujar Hussein Ahmad selaku kuasa hukum para Pemohon

AUTHOR / Siska Mutakin, Resky Novianto

EDITOR / Resky Novianto

Google News
tni
Tangkapan layar – UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 oleh Presiden Prabowo (ANTARA/Andi Firdaus)

KBR, Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diajukan koalisi masyarakat sipil.

Koalisi tergabung dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta perseorangan lainnya, di antaranya Inayah Rahman atau Inayah Wahid, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty mengajukan permohonan pengujian formil UU TNI.

Para pemohon menyebut UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

“Perencanaan revisi Undang-Undang TNI dalam prolegnas prioritas 2025 dilakukan secara ilegal,” ujar Hussein Ahmad selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta. (14/5/2025).

Mengutip mkri.id, para Pemohon menilai, revisi UU TNI tidak terdaftar dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas DPR RI Tahun 2025 serta tidak menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas pemerintah bahkan hingga 2029.

“Revisi UU TNI pun bukan carry over, karena syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu RUU carry over adalah adanya kesepakatan antara DPR, presiden, dan/atau DPD untuk memasukkan kembali RUU ke dalam daftar prolegnas jangka menengah dan/atau prioritas tahunan,” tutur Hussein.

“Sedangkan, tidak ada revisi UU TNI dalam Keputusan DPR yang berisikan 12 RUU carry over dalam Prolegnas tahunan 2025 dan Prolegnas 2025-2029,” imbuhnya.

red
Kuasa Hukum Pemohon saat menyampaikan pokok permohonan pada sidang pendahuluan uji Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, Rabu (14/05) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Para Pemohon menuturkan, proses pembahasan revisi UU TNI sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan, dan tidak akuntabel sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum.

Selain itu, seluruh dokumen pembentukan revisi UU TNI diantaranya naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga draf undang-undang tidak dapat diakses oleh publik.

“Rapat-rapat pembentukan revisi UU TNI oleh DPR dan pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup. Hal ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan revisi UU TNI dan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna,” tutur Bugivia Maharani Setiadji P, kuasa hukum para Pemohon lainnya.

Hingga saat ini pun, menurut para Pemohon, DPR dan presiden sengaja menahan penyebarluasan dokumen revisi UU TNI setelah disahkan dan tidak langsung membuka akses dokumen tersebut kepada publik. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 88 dan Pasal 90 ayat (1) UU P3 yang menyatakan UU yang telah disahkan harus disebarluaskan oleh pembentuk undang-undang.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pembentukan UU TNI tentang Perubahan atas UU 34/2004 tentang TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945, menyatakan UU TNI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU 34/2004 tentang TNI berlaku kembali.

“Sementara dalam provisinya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan UU TNI ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi serta memerintahkan presiden/DPR untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru maupun tidak mengeluarkan kebijakan dan/atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan UU TNI baru ini,” tulis petitum Para Pemohon.

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Dalam sesi penasehatannya, para hakim konstitusi menyoroti provisi yang dimohonkan para Pemohon.

Suhartoyo mengatakan, Mahkamah menerapkan sistem peradilan cepat untuk pengujian formil. Sedangkan, Mahkamah harus memeriksa substansi permohonan yang membutuhkan proses panjang sebelum menjatuhkan putusan provisi. Sehingga dia menegaskan, provisi ini bukan sesuatu yang mudah untuk diminta atau dikabulkan.

“Ini relevan tidak putusan provisi dijatuhkan karena itu sudah bagian dari penilaian akan substansi,” kata Suhartoyo.

Suhartoyo mencontohkan, Mahkamah memberikan waktu dua tahun untuk pembentuk undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja. Putusan provisi dijatuhkan setelah Mahkamah juga memeriksa substansi permohonan atas pengujian materiil yan juga dimohonkan para Pemohon.

Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menuturkan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan selama 14 hari. Berkas perbaikan permohonan tersebut harus diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 27 Mei 2025.

red
Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah membuka sidang panel pendahuluan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, Rabu (14/05) di Ruang Sidang MK. Foto Humas MK

Sebelumnya sudah ada 11 Pengujian Formil UU TNI

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menggelar sidang 11 perkara pengujian formil dan materiil UU TNI, Jumat 9 Mei 2025. Sidang terbagi dalam tiga panel. Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani menyidangkan Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 55/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025, dan Perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025.

"Jadi ini baru untuk pertama ya dalam sejarah Mahkamah Konstitusi, isu yang sama itu disidangkan serentak dalam tiga panel yang berbeda. Nah ini pertama baru nih dalam sejarah Mahkamah Konstitusi, karena banyak sekali permohonan. Jadi memang antusiasme untuk mengajukan permohonan tinggi," kata Saldi dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat (9/5/2025).

Perkara Nomor 45 dimohonkan oleh tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siahaan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.

Perkara Nomor 55 diajukan oleh karyawan swasta Christian Adrianus Sihite dan Noverianus Samosir.

Perkara Nomor 69 dimohonkan oleh lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.

Perkara Nomor 79 tercatat dengan pemohon yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yaitu Endrianto Bayu Setiawan, Raditya Nur Sya’bani, Felix Rafiansyah Affandi, Dinda Rahmalia, Muhamad Teguh Pebrian, dan Andrean Agus Budiyanto.

Cacat Formil

Penggugat pertama dari mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 dengan kuasa hukum Abu Rizal Biladina menilai telah terjadi cacat formil dalam proses pembentukan UU TNI, karena melanggar ketentuan pasal Pasal 22A UUD 1945 mengatur mengenai perubahan UUD, sedangkan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum.

red
Uji pendahuluan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, Rabu (14/05) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mengatur tata cara pembentukan undang-undang telah dilanggar sehingga proses penyusunan RUU TNI tidak sah secara formil.

"Kecacatan formil dalam proses penyusunan RUU TNI menyebabkan ketidakpastian hukum terutama bagi para pemohon yang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan proses legislasi sesuai dengan ketentuan undang-undang P3 tidak terpenuhi," katanya dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat (9/5/2025).

Berdasarkan uraian tersebut, para pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk, pertama, meminta MK mengabulkan seluruh permohonan. Kedua, menyatakan UU TNI yang baru disahkan tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan undang-undang.

"Ketiga UU TNI bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," tambahnya.

Keempat, menyatakan ketentuan norma dalam UU TNI sebelumnya yang telah dihapus atau diubah berlaku kembali. Kelima, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Hak Konstitusional Dilanggar


Permohonan gugatan lainnya dari seorang karyawan swasta bernama Christian Adrianus Sihite dengan Perkara Nomor 55/PUU-XXIII/2025. Ia menilai pembentukan UU TNI tidak hanya cacat formil, tetapi juga melanggar hak konstitusional warga negara dan prinsip negara hukum.

Menurutnya, proses pembentukan Undang-Undang sama sekali tidak sesuai dengan tahapan pembentukan Undang-Undang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 beserta perubahannya.

"Hal tersebut jelas menimbulkan dampak kerugian hak konstitusional bagi para pemohon. Terlebih dari sejak pembahasan Undang-Undang a quo yang dengan sengaja ditutupi oleh DPR dan pemerintah, sehingga para pemohon sama sekali tidak mengetahui secara pasti isi dari rancangan Undang-Undang Tahun ini yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025," katanya dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat (9/5/2025).

red
Sidang Perkara Nomor 45, 55, 69, 79/PUU-XXIII/2025. Jum'at, 9 Mei 2025. Foto: Youtube MK RI


Christian juga menyampaikan bahwa undang-undang tersebut tidak tercantum dalam Program legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2025. Ia menilai hal ini melanggar Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur bahwa setiap perencanaan penyusunan Undang-Undang (UU) harus dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Christian mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang berkaitan dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menyatakan bahwa terbatalkannya sebuah undang-undang dapat terjadi apabila pembentukan undang-undang tersebut tidak didasarkan pada kebutuhan hukum masyarakat atau tidak dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum.

"Karena hal tersebut para pemohon menilai proses penyusunan rancangan Undang-Undang TNI yang tergesa-gesa yang harusnya DPR lebih mengutamakan sejumlah rancangan Undang-Undang yang lebih berpihak kepada masyarakat," tegasnya.

Dalam petitumnya, Christian memohon kepada Mahkamah agar, satu, mengabulkan permohonan untuk seluruhnya, dua, menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945. Tiga, menyatakan UU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, empat, menyatakan ketentuan yang diubah atau dicabut dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI berlaku kembali.

"lima, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagai mestinya atau dalam hal mahkamah berpendapat lain. Mohon putusan yang seadil nya. Ex aequo et bono," tutupnya.

red
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan), Adies Kadir (ketiga kanan) dan Saan Mustopa (kedua kiri) pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU


Prajurit TNI Menduduki Jabatan Pemerintahan

Para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Riyan Fernando, pemohon 5 Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menyebut setidaknya ada tiga asas yang dilanggar dalam pembentukan UU TNI 2025, yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasil gunaan, serta asas keterbukaan.

Riyan menyebutkan, adanya perluasan peran prajurit aktif TNI pada kementerian/lembaga negara bertujuan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan sumber daya manusia. Namun, menurutnya perluasan peran prajurit aktif TNI pada kementerian/lembaga tidak memiliki kejelasan tujuan yang sejalan dengan reformasi dan justru berisiko menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI.

"Penempatan prajurit TNI di jabatan sipil dapat mengikis prinsip meritokrasi menciptakan benturan antarbudaya militer dengan sistem tata kelola sipil yang demokratis sehingga tidak terjaminnya penyelenggaraan pemerintah yang baik," katanya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Jumat (9/5/2025).

red
Ilustrasi - Prajurit TNI. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.


Selain itu, pemohon mengkritisi proses legislasi yang dianggap tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Ia menilai RUU TNI ini tidak didasarkan pada kebutuhan mendesak dan tidak menunjukan manfaat nyata bagi masyarakat luas.

"Dalam konteks ketenagakerjaan, penempatan prajurit TNI di jabatan sipil juga berpotensi mengurangi kesempatan kerja bagi warga sipil. Di tengah tingginya angka pengangguran di Indonesia," ujarnya.

Karena itu, selain mengajukan pengujian formil, Perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025 juga mengajukan pengujian materiil pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 yang berbunyi, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat, kecuali jika dimaknai keterlibatan TNi dalam membantu tugas pemerintah di daerah harus berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 15 yang berbunyi, "bantuan TNI dalam menanggulangi serangan siber yang mengancam system pertahanan nassional dilakukan dalam kerangka hukum yang sah.

"Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi “Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10,” kata Endrianto Bayu Setiawan dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat (9/5/2025).

Pasal 47 ayat (1) juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali jika dimaknai prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian, Lembaga yang membidangi kesekretariatan dan militer presiden kejaksaan Republik Indonesia, dan mahkamah Agung.

Serta Pasal 47 ayat (3) yang berbunyi “Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga.”

"Tujuh memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila ia majelis hakim konstitusi berpendapat lain, mohon ditetapkan putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono," tutupnya.

DPR menyetujui pengesahan Revisi Undang-Undang TNI menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis (20/3/2025). Pengesahan dilakukan di tengah gelombang protes dan penolakan dari masyarakat sipil, salah satunya demo di depan Gedung DPR RI.

Baca juga:

DPR Sahkan Revisi UU TNI Jadi Undang-Undang

Mengapa Revisi UU TNI Mengancam Demokrasi?

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!