NASIONAL

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Mengapa Ditolak Buruh?

Dengan mengikuti program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), pekerja yang kena PHK bisa mendapat mendapat manfaat uang tunai, konseling, hingga akses pasar. Tapi buruh menolak.

AUTHOR / Siti Sadida Hafsyah

JKP
Buruh berdemonstrasi di depan Kantor Gubernur Banten di Serang, Banten, Rabu (26/1/2022). (Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman)

KBR, Jakarta - Bulan ini pemerintah resmi menjalankan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai sumber dana alternatif bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Program ini sudah dirancang pemerintah sejak tahun lalu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan JKP berbeda manfaatnya dengan Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan.

"Jaminan Hari Tua (JHT) berbeda dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). JHT merupakan perlindungan para pekerja ataupun buruh untuk jangka panjang. Sementara JKP merupakan perlindungan pekerja jangka pendek yang juga diberikan pada pekerja dan buruh. JHT dirancang sebagai program jangka panjang untuk memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi pekerja saat yang bersangkutan tidak produktif lagi akibat usia pensiun atau mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia," kata Airlangga, dalam keterangan pers, Senin (14/2/2022).

Proses pengajuan klaim JKP mulai berlaku efektif 1 Februari lalu. Sebagai perlindungan sosial jangka pendek, pekerja dan buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat langsung memanfaatkan program ini.

Pemerintah mengklaim iuran program JKP tidak membebani pekerja maupun pemberi kerja, karena iuran sebesar 0,46 persen dari upah itu berasal dari pemerintah pusat.

Sekretaris Jenderal Kemenaker, Anwar Sanusi menjelaskan dengan mengikuti program JKP, pekerja yang kena PHK bisa mendapat mendapat manfaat uang tunai selama enam bulan dengan hitungan tertentu.

"Ini kita hitung, manfaat uang tunai yang diberikan ini adalah 45 persen, kalikan upah, kalikan tiga bulan. Dan juga 25 persen, dikalikan besarnya upah, dikalikan 3 bulan. Jadi dalam hal ini uang tunainya ada dua. Yang pertama adalah 45 persen selama tiga bulan, dikalikan upahnya. Kemudian 25 persen dikalikan upah, selama tiga bulan," ujar Anwar dalam webinar bertajuk 'Dari PHK Jadi Kembali Kerja, Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) Bisa Apa?' Rabu, (14/7/2021).

Baca juga:


Selain uang tunai, orang yang mengikuti program JKP juga dijanjikan menerima manfaat lain. Yakni akses pasar kerja serta konseling, agar orang yang terkena PHK dapat segera mendapatkan pekerjaan yang baru.

Namun, program JKP mengundang polemik, ketika disandingkan dengan keputusan Menteri Ketenagakerjaan yang yang mensyaratkan jaminan hari tua baru dapat diklaim oleh peserta BPJS Ketenagakerjaan setelah berusia 56 tahun.

Meski demikian, Direktur Eksekutif lembaga kajian ekonomi CORE Indonesia Mohammad Faisal mengusulkan agar pemerintah tetap membuka opsi pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) bagi para pekerja yang masih aktif, terutama yang mengalami tekanan di masa pandemi.

"Misalkan diberikan sekian persen ketika dia di PHK, kemudian sekian persen beberapa tahun kemudian. Dan terakhir di usia 56 tahun. Kalau saya mengusulkan jalan keluarnya seperti itu untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama pekerja. Ya memang dalam kondisi seperti sekarang mereka butuhnya kan dana cepat yang entah mereka gunakan untuk usaha produktif atau konsumsi," ujar Mohammad Faisal kepada KBR, Jumat (18/2/2022).

Baca juga:


Di lain pihak, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menolak program jaminan sosial baru itu. Menurutnya, program JKP tidak memiliki dasar hukum yang kuat, karena didasarkan pada Undang-undang Cipta Kerja yang bermasalah.

“Dasar hukum JKP sudah kami tolak dari awal, yaitu omnibuslaw Undang-undang Cipta Kerja. Dalam amar keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UUCK mengatakan menunda, menangguhkan keputusan atau kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta melarang mengeluarkan kebijakan yang baru. Itu jelas. Nah kalau sekarang kebijakan JKP diluncurkan, kan kebijakan baru. Hal ini bertentangan dengan amar putusan MK,” kata Said dalam konferensi pers, Selasa (22/2/2022).

Said juga khawatir pemerintah tidak sanggup menjalani program JKP secara berkelanjutan, sebab dana yang tersedia juga terbatas.

"Kami dapatkan informasi dana awal pemerintah sekitar Rp6 triliun dari APBN. Pemerintah di awal pandemi mengklaim ada sebanyak 3,7 juta buruh kena PHK. Apakah Rp6 triliun tersebut langsung habis untuk membayar 3,7 juta orang ter-PHK tersebut? Pasti habis. Kalau mengikuti alur JKP, kita ambil upah yang dipakaikan contoh oleh Kemenaker Rp4 juta. Apakah cukup Rp6 triliun? Jebol. Nggak masuk akal," kata Said Iqbal.

Dibanding JKP, ia lebih menyarankan pemerintah memberikan jaminan sosial bagi pengangguran.

"Tawaran dari Partai Buruh dan serikat buruh bukan JKP. Kami menawarkan yang lebih lazim secara internasional, sesuai konvensi ILO tentang jaminan sosial. Apa itu kelaziman di seluruh dunia tentang konvensi ILO? Kalau kita kaitkan dengan JKP, yaitu unemployment insurance, asuransi pengangguran. Apa perbedaan dengan JKP? Asuransi pengangguran sumber pendanaannya jelas dan sustainable, berkelanjutan. Seperti model jaminan pensiun. Bisa dari pajak, bisa dari iuran," kata Said.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!