NASIONAL

Potensi Konflik Pasca-pengesahan Revisi UU Konservasi

Pengesahan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di DPR menuai penolakan dari masyarakat sipil. RUU ini dinilai rawan memicu konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi.

AUTHOR / Heru Haetami

EDITOR / Heru Haetami

Potensi Konflik Pasca-pengesahan Revisi UU Konservasi
Petugas berpatroli di sekitar kawasan hutan konservasi di Kecamatan Bantan, Bengkalis, Riau, Selasa (9/7/2024). (Foto: ANTARA/Aswaddy Hamid)

KBR, Jakarta - Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mengetok palu saat sidang paripurna DPR menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) menjadi undang-undang.

RUU Konservasi itu disahkan pada 9 Juli lalu.

"Saatnya saya akan menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang. Apakah RUU tentang perubahan atas undang-undang 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat kita setujui dan disahkan menjadi undang-undang?" kata Muhaimin diikuti oleh ketokan palu sidang tanda pengesahan, Selasa (9/7/2024).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengklaim Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam yang baru ini bakal memberi perlindungan terhadap kedaulatan negara, hak berdaulat, keamanan warga negara serta akses kesejahteraan.

"Kami meyakini RUU Perubahan Undang-undang 5/90 ini akan menjadi legasi instrumen hukum nasional guna menjawab berbagai perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam urusan konservasi dan sumber daya alam," kata Siti di Gedung DPR (09/07/24).

Namun, pengesahan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati ini menuai penolakan dari masyarakat sipil. LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai RUU ini rawan memicu konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Manajer Kajian Kebijakan di Walhi, Satrio Manggala mencontohkan konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan Cipta Rasa dengan Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Jawa Barat.

"Konsepsi yang lain misalnya itu sama juga mengeliminir atau tidak mengakui pengakuan terhadap pengetahuan dan upaya tata kelola konservasi berdasarkan pengalaman empirik dari masyarakat adat dan komunitas masyarakat lokal, yang hidup di wilayah kawasan, yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sebagaimana kita tahu sebetulnya masyarakat adat atau komunitas masyarakat lokal yang hidup di suatu wilayah, yang memiliki pengetahuan secara turun-temurun, untuk bisa melakukan upaya-upaya konservasi. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana adalah melakukan tata kelola yang lestari itu seimbang dengan alamnya,” ujar Satrio kepada KBR, Rabu, (10/7/2024).

Baca juga:

LSM Walhi menemukan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati memiliki delapan masalah krusial. Di antaranya soal warga yang tinggal di lahan konservasi. 

Saat ini luas lahan konservasi di Indonesia mencapai 27 juta hektare. Di sekitar kawasan konservasi terdapat lebih dari 6 ribu desa yang dihuni sekitar 16 juta warga.

Menurut Walhi, penetapan kawasan konservasi yang sentralistik berpotensi menyebabkan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat yang memanfaatkan potensi alam di kawasan konservasi. Padahal masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat telah biasa hidup bergantung dengan alam sepanjang waktu.

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menolak pengesahan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya oleh DPR. AMAN menilai sejak awal, pembahasan RUU itu tidak berjalan transparan.

Direktur Advokasi Kebijakan di AMAN, Muhammad Arman mengatakan, sejauh ini pelibatan masyarakat adat dan masyarakat sipil tidak sepenuhnya efektif dilaksanakan.

"Kami memberikan kritik, karena proses pembahasan RUU KSDAHE itu tidak sepenuhnya dilakukan secara terbuka, dan ada pelibatan secara pro dan efektif dari masyarakat adat dan juga kelompok masyarakat sipil," kata Arman kepada KBR, Rabu (10/7/2024).

Muhammad Arman mengatakan pada April tahun lalu AMAN sudah memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada Panitia Kerja pembahasan RUU Konservasi di DPR. Namun tidak satupun usulan dari AMAN yang diterima DPR.

Baca juga:


Arman mengatakan revisi Undang-undang Konservasi ini bakal berdampak pada 2,9 juta masyarakat adat yang selama ini tinggal di wilayah konservasi.

"Pada saat pembahasan itu ada beberapa kasus yang terjadi yang terjadi pada masyarakat adat. Salah satu contoh kasus di NTT yang ditahan karena dia mendiami wilayah yang dianggap wilayah konservasi oleh pemerintah. Nah artinya apa? sebenarnya dengan tidak ada pengakuan terhadap masyarakat adat. Supaya subjek dalam penyelenggaraan konsevasi berdasarkan pengetahuan yang dimiliki secara turun termurun. Itu salah satu bentuk pengabaian terhadap masyarakat adat ," jelas Arman.

Kini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi Undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. 

AMAN menyoroti tidak adanya pasal di RUU ini yang mengatur persetujuan awal warga atas penetapan wilayah konservasi. Hal itu semakin memperluas praktik perampasan tanah masyarakat adat.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!