"Kami hanya ingin kepastian hukum. Perlindungan kami ada di sebelah mana?"
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kebijakan pelarangan truk dengan dimensi dan muatan berlebihan atau Zero ODOL (Over Dimension dan Over Loading) kembali jadi sorotan.
Aksi demonstrasi para sopir logistik di beberapa daerah, memunculkan pertanyaan besar mengenai pihak mana yang sebenarnya paling terdampak oleh aturan ini.
Ketua Umum Asosiasi Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI), Ika Rostianti mengatakan aksi unjuk rasa dari para sopir logistik merupakan respons dari kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan.
“Sebetulnya tuntutan kami itu cukup sederhana. Kami hanya ingin dikaji ulang. Dikaji ulang bukan soal kebijakan penegakan Zero ODOL-nya. Artinya kami sepakat bahwa Zero ODOL ini memang cepat atau lambat harus segera dilaksanakan," jelas Ika dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (3/7/2025).
Ika menjelaskan yang menjadi masalah saat ini yakni kesiapan pemerintah menyediakan perlindungan dan solusi bagi para sopir logistik terutama yang bekerja secara mandiri atau hanya memiliki satu-dua armada. Sopir truk, kata dia, bukan hanya pengemudi tetapi juga pemilik dan pengelola angkutan barang kecil.
"Mengingat angka pengangguran kita hari ini sudah sedemikian banyak, kalau Zero ODOL ini terus dilaksanakan tanpa solusi alternatif, maka angka pengangguran akan bertambah," tambahnya.
Selaku perwakilan dari sopir truk yang berunjuk rasa, Ika juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas aksi yang dilakukan. Namun ia menegaskan, perjuangan mereka belum berakhir.
"Sebetulnya tujuan kami adalah ingin mengganggu pemerintah. Karena kalau tidak diganggu, suara kami tidak akan didengar. Kami akan terus bergerak sampai ada kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil," ujarnya.

Sopir juga Korban
Ika menegaskan bahwa para sopir tidak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku usaha kecil yang selama ini bertahan di tengah kerasnya dunia logistik.
"Kemarin itu pure suaranya sopir, Pak. Jadi saya bukan pengusaha, dan yang turun aksi itu tidak ada pengusaha. Itu betul-betul sopir," tegas Ika.
Banyak dari mereka adalah pelaku usaha mikro yang harus bersaing dengan armada besar, tanpa perlindungan hukum, jaminan sosial, atau tarif angkutan yang layak.
"Kami hanya ingin kepastian hukum. Perlindungan kami ada di sebelah mana?" lanjut Ika.
Dia juga menyoroti tingginya biaya distribusi, banyaknya pungli, dan ketidakjelasan tarif.
Asosiasi Pengusaha Truk Minta Pelibatan Bahas Aturan Zero ODOL
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menilai kebijakan penindakan terhadap truk Over Dimension Over Loading (ODOL) harus dilakukan secara hati-hati dan melibatkan banyak pihak agar tidak menimbulkan kegaduhan di lapangan.
Ketua Umum Aptrindo, Gemilang Tarigan menyatakan bahwa program ODOL sejatinya sudah lama dikerjakan bersama pemerintah, namun implementasinya hingga 2024 masih belum membuahkan hasil signifikan.
“ODOL ini sebetulnya kan suatu program yang sudah lama kita kerjakan dengan Kementerian Perhubungan. Namun sampai tahun 2024 yang lalu ini, boleh dikatakan belum berhasil. Ini pemerintahan Prabowo yang sekarang yang baru ini ingin mencoba menerapkan kembali," ujar Gemilang pada KBR Media(3/7/2025).
Gemilang mengatakan, para pengusaha truk pada dasarnya siap mendukung upaya penegakan aturan ODOL, tetapi pelaksanaannya harus mengedepankan pendekatan multisektoral dan komunikasi yang jelas.
Ia menilai selama ini kegagalan penegakan ODOL terjadi karena hanya Kementerian Perhubungan yang aktif bekerja, sementara kementerian lain cenderung pasif.
“Beresinnya kalau selama ini kegagalan yang terjadi selama ini karena perhubungan cuma sendiri bekerja, yang lainnya diem saja. Bahkan ada kementerian yang tidak support waktu itu, bahwa kementerian perindustrian pada waktu itu kan menolak. Bahkan ini tambah runyam,” jelasnya.

Penindakan ODOL Perlu Dilakukan Secara Digitalisasi
Gemilang juga menyoroti pentingnya digitalisasi dalam sistem penindakan ODOL. Ia menolak pendekatan yang menakut-nakuti sopir dengan sanksi pidana tanpa dasar hukum yang jelas, terutama di saat aturan pelaksana masih dalam proses finalisasi.
“Kalau penindakan, muka ketemu muka sering yang terjadi begitu. Jadi, kami sekarang lagi sedang membuat perpresnya, penindakan itu pun harus digital. Jadi, sudah ada konsepnya yang akan, itulah besok mau difinalkan di Bandung nanti oleh Menko Perekonomian,” ungkap Gemilang.
Gemilang mengungkapkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) sebagai dasar hukum penindakan ODOL sedang dalam tahap penyusunan dan direncanakan terbit paling lambat Desember 2025.
Lebih lanjut, Gemilang juga menjelaskan tantangan dalam mensosialisasikan aturan ODOL, khususnya kepada pengusaha truk kecil yang tidak tergabung dalam asosiasi dan tidak berbadan hukum.
“Yang repot ini kalau pengusaha truk ini, dia itu tidak terafiliasi dengan asosiasi, kemudian dia tidak berbadan hukum, kemudian dia miliki truk itu miliknya sendiri, yang begini ini kan agak repot untuk mensosialisasikan suatu kebijakan,” ujarnya.
Aturan Perlu Utamakan Aspek Keselamatan dan Keberlanjutan
Gemilang mengingatkan jika kebijakan ODOL tidak ditata dengan baik, Indonesia bisa menghadapi tekanan dari komunitas internasional, terutama terkait isu keselamatan dan keberlanjutan dalam logistik.
“Saya khawatirkan ke depan adalah andainya tekanan dunia internasional, ketika kita tidak meng-transportasi barang kita dengan safety, bisa dilakukan semacam event sama internasional bahwa saudara tidak meng-transportasi produk anda, ramah lingkungan, dan tidak berkelamatan,” katanya.
Gemilang juga menyoroti bahwa liberalisasi tarif angkutan barang menjadi akar dari banyaknya pelanggaran ODOL. Persaingan harga antar pengusaha truk membuat beberapa pihak cenderung mengangkut muatan berlebih demi efisiensi biaya.
“Nah, celakanya sekarang ini pemilik barang dapat memilih kenderaan yang mana yang paling murah. Nah, tentunya kalau seperti ongkos-ongkos yang murah itu, apabila mana yang lebih banyak yang bisa anggot kan gitu. Jadi terjadilah persaingan tidak sehat, sehingga ODOL ini semakin tidak terkendali,” jelasnya.
Dalam menghadapi situasi ini, Aptrindo mendorong agar pemerintah melibatkan semua pihak, termasuk pelaku industri, dalam menyusun kebijakan yang lebih adil dan efektif.
Gemilang juga mengusulkan agar klasifikasi jalan dan batas daya angkut lebih disosialisasikan secara transparan.
“Sekarang pun rambu-rambu mengenai kelas jalan... ini benar juga deh pengemudi ini. Dipersalahkan jalan raya padahal rambunya tidak ada. Maka sebetulnya pandangan di sini kelas jalan itu siapa pun tidak tahu mbak. Saya sendiri juga tidak tahu mana kelas 1 mana kelas 2,” ujar Gemilang.
Gemilang menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, pengusaha, pengemudi, dan pemilik barang dalam mendukung kelancaran distribusi logistik nasional.
“Jadi kita mengharapkan bahwa pengusaha truk ini jangan menjadi musuh masyarakat di jalan. Karena kita itu menjalankan ekonomi, bukan mau menjalankan usaha merugikan orang lain di jalan. Mari kita sama-sama semua pihak, baik pemilik barang, baik pengusaha truk, baik pejabat negara atau yang mengawasi, untuk mensukseskan distribusi barang nasional kita yang kita cintai bersama ini,” tegasnya.

Aturan ODOL Masih “Digantung” Pemerintah
Peneliti Senior Inisiasi Strategis Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang menilai masalah Zero ODOL ini sudah terlalu lama digantung. Kata dia, diperlukan keseriusan untuk membenahi masalah soal tata kelola transportasi darat yang mengatur soal arus pergerakan truk di tanah air.
"Masalah ini sudah lama. Zero ODOL itu sebenarnya sejak 2016 sudah direncanakan. Tapi mundur terus, sampai akhirnya sekarang ke 2027,” dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (3/7/2025).
Deddy mempertanyakan unjuk rasa sopir yang turun ke jalan. Padahal, menurutnya pelanggaran ODOL bukan sepenuhnya kesalahan sopir.
"Sebenarnya kalau yang keberatan itu pengusaha truk atau pemilik barang, itu masuk akal. Tapi kenapa yang demo malah sopir? Mereka ini sebenarnya korban,"kata Deddy.
Deddy menyoroti bahwa banyak sopir dijadikan kambing hitam atas pelanggaran sistemik. Mulai dari pengusaha truk, pemilik barang, hingga praktik pungli dan manipulasi muatan di jalanan.
Presiden Perlu Perintahkan Menterinya Selesaikan Masalah ODOL
Deddy menyebut perlu campur tangan Presiden langsung untuk menyelesaikan permasalahan truk ODOL.
"Masalah ini lintas sektor. Butuh Perpres yang bisa mengatur semua dari sopir, pengusaha, pemilik barang, hingga kementerian terkait seperti Perhubungan, Ketenagakerjaan, UMKM, dan PUPR," jelas Deddy.
Menurutnya, hanya dengan Perpres, seluruh pihak akan terikat dan bisa bergerak secara sistematis dalam menangani ODOL.

Respons Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengatakan aspirasi dari gabungan organisasi pengemudi truk Indonesia yang melakukan aksi unjuk rasa hari ini terkait isu Over Dimension Over Loading (ODOL) akan ditampung dan dibicarakan dengan kementerian terkait.
“Tentu nanti apa yang menjadi aspirasi nanti ditampung dan dibicarakan dengan kementerian terkait,” katanya di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, dikutip dari ANTARA.
ODOL merupakan praktik pengoperasian truk yang melebihi batas dimensi fisik maupun kapasitas muatan yang telah ditentukan. Praktik tersebut sering dilakukan demi efisiensi biaya logistik, namun berdampak besar terhadap keamanan jalan dan infrastruktur.
Dan, menurut Airlangga, memang beberapa komoditas yang terlihat berjalan menggunakan fasilitas truk ODOL adalah industri yang berat seperti industri baja, industri semen, dan industri daripada makanan, minuman.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR
Baca juga:
- Tekan Kecelakaan hingga Cegah Jalanan Rusak, Prabowo Minta Truk ODOL Segera Ditertibkan