NASIONAL

Perkawinan Anak Masih Tinggi, Target IBangga Sulit Tercapai

"Kenapa belum mencapai targetnya, karena salah satu kontribusinya ini karena masih tingginya angka perkawinan anak,"

AUTHOR / Muhammad Rifandi Fahrezi

Perkawinan anak
Anak membawa poster terkait perkawinan anak saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulsel (8/3/2020). (Foto: Antara/Arnas Padda)

KBR, Jakarta -  Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengungkap masih tingginya angka perkawinan anak menghambat target indeks pembangunan keluarga atau iBangga. IBangga merupakan suatu pengukuran kualitas keluarga yang ditunjukkan melalui ketentraman, kemandirian serta kebahagiaan keluarga.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, perlunya intervensi serius pemerintah untuk mempercepat penurunan kasus pernikahan anak.

“Pada saat kita mau berbicara keluarga berkualitas tapi kita bangun dari ketidaksiapan individu-individu yang membangun keluarganya ini menjadi masalah bagi kita untuk bisa meningkatkan iBangga. Kita kenapa belum mencapai targetnya, karena salah satu kontribusinya ini karena masih tinggi angka perkawinan anak,” kata Woro dalam Rapat Koordinasi Nasional Posisi iBangga Tahun 2022 Untuk Membangun Komitmen Bersama di Kanal Youtube BKKBN OFFICIAL, Kamis (24/8/2023).

Berdasarkan laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Indeks Pembangunan Keluarga di Indonesia sebesar 56,07 poin pada tahun 2022. Angka tersebut meningkat 2,06 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 54,01 poin.

Sementara target Indeks Pembangunan Keluarga (IBangga) pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 pada 61 poin.

Baca juga:

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti menambahkan, perkawinan anak semakin rentan jika tidak terdokumentasi secara legal atau nikah siri. Kondisi itu membuat perempuan dan anak tidak terpenuhi hak-haknya, termasuk hak anak untuk memiliki akta kelahiran. Selain itu, perkawinan anak akan berpotensi menimbulkan kemiskinan antar generasi.

Sejak adanya revisi UU No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang mengatur tentang pendewasaan usia perkawinan, kasus dispensasi kawin melonjak drastis dari 23.386 (2019) menjadi 64.487 (2020). Namun menunjukkan tren menurun terutama dari tahun 2020, 2021 hingga 2022.

Data dari Kemitraan Keadilan Australia-Indonesia pada tahun lalu, terdapat 400 ribu kasus anak dan remaja menikah setiap tahunnya di Indonesia, namun hanya sekitar 60 ribu kasus dispensasi kawin yang diserahkan ke pengadilan.

“Ini menjadi catatan, kalau misalkan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan segera dinikahkan, akhirnya keluarga yang terbentuk karena dadakan,” pungkas Woro.

Redaktur: Muthia Kusuma

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!