NASIONAL

Penerimaan Pajak Turun, Benarkah karena PHK dan Perlawanan Publik?

Target penerimaan pajak 2025 tidak akan tercapai.

AUTHOR / Astri Septiani

EDITOR / Sindu

Google News
Penerimaan Pajak Turun, Benarkah karena PHK dan Perlawanan Publik?
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjelaskan kinerja APBN Maret 2025, Rabu, 30 April 2025. Foto: Kemenkeu.go.id

KBR, Jakarta- Penerimaan dan jumlah orang yang lapor pajak menurun tahun ini. Dalam dokumen APBN KiTa Februari 2025, penerimaan pajak Januari 2025 Rp88,89 triliun atau 4,06 persen dari target setahun ini.

Jumlah itu turun 41,86 persen dibandingkan Januari 2025, yang ada di angka Rp152,89 triliun (7,5 persen dari target setahun).

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) sebagai salah satu kontributor penerimaan pajak juga turun pada tahun ini dibanding tahun lalu, yakni Rp28,3 triliun pada Januari 2024 menjadi Rp15,95 triliun pada Januari tahun ini.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS Nailul Huda menyebut, ada banyak faktor penyebab penurunan penerimaan dan pelaporan pajak.

Namun, tiga teratas adalah maraknya PHK, ekonomi lesu, hingga munculnya perlawanan masyarakat yang tidak puas kinerja dan kebijakan pemerintah.

Maraknya PHK

Nailul menjelaskan, maraknya PHK turut menurunkan penerimaan negara yang didapatkan dari sisi pajak karyawan dan dari pajak pertambahan nilai (PPN).

Sebab, ketika masyarakat tidak lagi mendapatkan pendapatan, maka jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin menurun.

“Ini yang membuat penerimaan pajak dari dua jenis pajak tersebut akan mengalami penurunan,” kata Nailul kepada KBR, Jumat, (09/05/25)

Ekonomi Lesu

Nailul bilang, faktor ekonomi lesu tidak lepas dari poin pertama, yakni maraknya PHK. Saat ini, pendapatan masyarakat menurun, membuat ekonomi dalam negeri menjadi lebih lesu.

Ekonomi lesu membuat masyarakat semakin enggan berbelanja. Hal ini bakal berimbas pula kepada penurunan sisi konsumsi. Otomatis, penerimaan dari PPN akan menurun.

“Ini akan berakibat berdampak juga kepada dari sisi retail yang memang pasti akan mengalami pemutusan hubungan kerja, penutupan gerai retail, dan sebagainya yang ingin semakin menyebabkan ekonomi kita akan semakin lesut,” kata Nailul.

red
Ilustrasi: Sektor manufaktur nasional. Foto: Kemenkeu.go.id


Masyarakat Geram dan Melawan

Sementara dari sisi faktor perlawanan, menurut Nailul, kondisi itu timbul dari kegeraman masyarakat atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Salah satu yang paling berpengaruh adalah kebijakan Coretax yang bermasalah dan menuai kritik.

Aplikasi perpajakan ini dinilai ribet dan jauh dari ekspektasi masyarakat. Anggaran pembangunannya yang mencapai 1,3 triliun juga membuat masyarakat geram. Sebab, nilai itu tidak sepadan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pajak.

“Jadi, uang pajak itu akan digunakan untuk pembelian program yang tidak sesuai dengan keinginan sebagian masyarakat, yang ini akan semakin menurunkan tingkat pelaporan pajak dan juga penerimaan pajak,” tambahnya.

Proyeksi

Ia memprediksi, target penerimaan pajak 2025 tidak akan tercapai, karena tidak ada itikad baik pemerintah memperbaiki faktor permasalahan yang terjadi saat ini.

Nailul menyebut, jika pemerintah tidak segera memperbaiki kebijakannya, maka akan semakin membuat kegagalan mendongkrak penerimaan pajak.

Kata dia, defisit anggaran akan semakin membesar, sebab pemerintah nampaknya tidak ingin mengurangi anggaran program-program unggulannya.

Pajaki Sektor Tambang!

Saat ini masih ada sektor-sektor yang pajaknya belum ditarik optimal. Salah satunya adalah sektor pertambangan. Kata Nailul, masih banyak pelaku pertambangan ilegal alias tidak lapor pajak.

Hal itu tercermin dari kontribusi sektor pertambangan terhadap pajak yang lebih kecil dibandingkan kontribusi sektor pertambangan terhadap ekonomi nasional.

Padahal, sektor ini telah mengeruk mineral, batu bara dan hasil bumi Indonesia, tetapi setoran pajaknya sangat minim ke pemerintah. Untuk itu, ia mendesak pemerintah mendorong penerimaan pajak dari sektor pertambangan.

“Jadi, ekonomi nasionalnya itu tinggi tampaknya tapi dari sisi penerimaan pajakan itu relatif lebih rendah. Ini yang masih belum dikolek dengan baik oleh pemerintah pajak dari sisi pertambangan,” tandasnya.

Penerimaan dan Pelaporan Pajak Turun

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo menyebut realisasi penerimaan pajak hingga 31 Maret 2025 baru mencapai Rp322,6 triliun atau 14,7 persen dari target penerimaan pajak. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 2.189,3 triliun pada 2025.

Suryo mengakui, realisasi penerimaan pajak pada triwulan pertama 2025 masih menunjukkan tren negatif. Kata dia, secara netto atau bersih, penerimaan pajak triwulan pertama tahun ini minus 19 persen dibandingkan periode yang sama 2024.

Menurut Suryo, pencapaian target itu tantangan bagi pemerintah, dan perlu ada upaya yang dilakukan.

Ia membeberkan, upaya strategis pemerintah mencapai target penerimaan pajak 2025:

1. Memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi;

2. Mendorong tingkat kepatuhan melalui pemanfaatan teknologi sistem perpajakan, memperkuat sinergi, joint program, serta penegakan hukum;

3. Menjaga efektivitas implementasi reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakan internasional untuk mendorong peningkatan rasio perpajakannya;

4. Memberikan insentif perpajakan yang semakin terarah dan terukur guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi;

5. Mendorong penguatan organisasi dan SDM sejalan dengan dinamika perekonomian;

6. Membuat administrasi lebih sederhana dan cepat dengan mengimplementasikan Coretax 2025.

red
Ilustrasi: Pembangunan yang bersumber dari pajak pendapatan negara. Foto: Kemenkeu.go.id


    SPT Ikut Turun

    Tak hanya penerimaan pajak, jumlah pelaporan pajak juga ikut menurun. Kata dia, terjadi penurunan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sekitar 154.000-an SPT.

    Dari semula 14.207.642 SPT pada 2024, menjadi hanya 14.053.221 SPT pada. Suryo menjelaskan penurunan terjadi pada kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi.

    “Untuk Wajib Pajak orang pribadi mengalami pertumbuhan yang sedikit berbeda, negatif 1,2 persen, ini yang sedang kami coba teliti lebih lanjut terkait dengan pertumbuhan negatif ini,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi Keuangan DPR RI dengan Dirjen Pajak, Rabu, (07/05/25).

    Dorongan Cari Solusi

    Data penurunan penerimaan pajak juga disampaikan DPR. Lewat data yang ditampilkan Ketua Komisi XI bidang Keuangan di DPR Mukhamad Misbakhun, per-April 2025 penerimaan pajak turun 27,73%.

    Hal itu lantaran penerimaan pajak hanya Rp451 triliun selama Januari-April 2025, lebih rendah dari penerimaan pajak Januari-April 2024 yang sebesar Rp624 triliun. Misbakhun mendorong pemerintah bersama DPR sama-sama berupaya mencari solusi menaikkan rasio pajak Indonesia.

    “Kita sedang tidak berusaha menerapkan tekanan apa pun kepada Bapak. Tetapi, Mari kita cari solusi terbaik kita menyelesaikan masalah bersama bangsa ini, Pak. Ini bukan persoalannya DJP, persoalan bersama,” kata dia dalam rapat bersama Komisi Keuangan DPR RI dengan Dirjen Pajak, Rabu, (07/05/25).

    Pajak untuk Apa Saja?

    Pajak yang diterima pemerintah digunakan untuk belanja pemerintah pusat dan belanja pemerintah daerah.

    Dalam APBN 2025, belanja negara ditetapkan Rp3.621 triliun. Berasal dari penerimaan perpajakan Rp2.490,91 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp513,64 triliun, hibah Rp1 triliun, dan pembiayaan Rp616 triliun.

    Jika dirinci, belanja pemerintah pusat antara lain untuk pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, pendidikan, dan perlindungan sosial.

    Dengan pajak, pemerintah juga bisa mengatur pertumbuhan ekonomi, dan memiliki dana untuk menjalankan kebijakan terkait stabilitas harga dan pengendalian inflasi.

    Baca juga:

    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!