NASIONAL
Pemkab Gorontalo Diminta Cabut Larangan Pelibatan Transpuan di Acara Hiburan Rakyat
Surat edaran Bupati Gorontalo dinilai diskriminatif dan bisa memprovokasi kebencian terhadap transpuan

KBR, Jakarta — Kelompok transpuan di Kabupaten Gorontalo meminta aturan yang melarang mereka terlibat dalam kegiatan hiburan rakyat, dicabut. Aturan yang dimaksud tertuang dalam Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi.
Anggota komunitas Binthe Pelangi Gorontalo (BPG) Jennifer mengatakan, kebijakan tersebut tidak adil dan diskriminatif. Larangan itu muncul usai insiden seorang transpuan yang tampil mengenakan pakaian yang dianggap tak pantas saat mengisi sebuah acara. Mestinya, kata dia, pemkab tidak serta-merta menggeneralisasi bahwa perilaku tersebut mewakili semua transpuan.
"Karena pemerintah tidak melihat seberapa besar dampaknya ke transpuan-transpuan yang tidak memperkeruh masalah atau yang tidak membikin onar ini. Jadi menurut saya pemerintah sangat tidak adil dan tidak obyektif melihat permasalahan ini,” ujar Jennifer saat dihubungi KBR, Jumat (2/5/2025).
Pemkab harusnya menindak individu yang dianggap melanggar norma, tanpa harus menghukum seluruh kelompok.
Jennifer membandingkan dengan kasus-kasus pelanggaran lain, misalnya yang pelakunya adalah tokoh agama.
“Contoh, ada ustaz memperkosa santri, apakah kemudian semua ustaz pelaku pelecehan seksual? kan, tidak. Harusnya, kan, kita tetap melihat secara obyektif, nggak semua, kan, hanya satu orang saja," tambahnya.
Larangan ini akan memukul kehidupan para transpuan. Mayoritas dari mereka mengandalkan sumber penghasilan sebagai pengisi acara hiburan rakyat atau hajatan.
"Kemarin pas kita kumpul, (ada) teman, dia sampai menangis karena dia nggak tahu harus bekerja apa. Padahal penghasilannya, sekalinya manggung itu Rp50 ribu, bahkan Rp100 ribu, Rp150 ribu, mungkin hanya seminggu satu atau dua kali, seminggu satu kali. Dia hanya bisa nyanyi,” tutur Jennifer dengan nada prihatin.
Menurutnya, keberadaan transpuan sudah diterima masyarakat Gorontalo. Mereka sering tampil di acara-acara hiburan rakyat, bahkan sejak 1990-an.
“Mereka (transpuan) malah lebih laris, lebih populer dibaandingkan MC perempuan atau laki-laki. Transpuan lebih banyak diundang,” katanya.
Jennifer berharap pemkab membuka ruang dialog untuk mengevaluasi kebijakan tersebut karena sarat dengan stigma terhadap kelompok minoritas gender.
Komunitas BPG sudah berkomunikasi dengan Arus Pelangi dan LBH Masyarakat, dua lembaga yang mengawal kasus ini.
Baca juga:
Seruan Transpuan Kampung Duri tentang Perubahan Iklim
Menuntut Keadilan untuk Transpuan Mira
LBH Masyarakat dalam siaran persnya (30/4/2025) mengecam sikap Pemkab Gorontalo yang melarang pelibatan transpuan (waria) dalam acara hiburan rakyat. Sikap pemkab dinilai kontradiktif dengan kewajiban pemerintah memberi ruang yang aman bagi warganya untuk terlibat di kegiatan-kegiatan publik, apapun identitasnya.
Isi surat edaran juga dianggap bermasalah, mengandung sesat pikir, dan sarat stigma. Penerbitan surat edaran bisa melegitimasi tindakan diskriminatif terhadap transpuan. Misalnya, tidak ada penjelasan tentang bentuk pelibatan transpuan (waria) yang dilarang. Hal ini memberi celah penafsiran bahwa bukan hanya transpuan penampil (performer) yang dilarang, tetapi juga transpuan yang hadir sebagai peserta atau penonton.
"Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka karena takut acara mereka dibatalkan," tulis LBH Masyarakat dalam rilisnya.
Penerbitan surat edaran dinilai subyektif dan tidak punya landasan hukum yang jelas. LBHM mengkritiknya sebagai tindakan serampangan yang berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan bahkan dapat mengarah pada main hakim sendiri.
Pelarangan transpuan hadir di kegiatan-kegiatan hiburan, bertentangan dengan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. LBHM mengutip sebuah survei yang menyebut sekitar 8,7 persen anggota komunita LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis (penyanyi, penyanyi lip-sync, penari, dll).
Alasan penolakan terhadap transpuan dianggap masih berpusar pada alasan usang bahwa transpuan melanggar norma kesusilaan. Padahal, memiliki identitas sebagai transpuan bukan lah tindak pidana. Selain itu, beberapa budaya lokal Indonesia, seperti Bugis, mengakui keberadaan gender lain. Beberapa intepretasi ajaran keagamaan juga sudah lebih toleran terhadap individu trans.
WHO dan Kementerian Kesehatan berulang kali pula menyatakan bahwa menjadi transpuan bukan gangguan kejiwaan.
"Surat edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal, poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM. Maka praktik diskriminasi semacam ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045," ucap Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBHM dalam rilis pers.
LBHM mendesak surat edaran tersebut dicabut. Pemda harusnya menjaga dan melindungi hak kelompok rentan, tak terkecuali transpuan.
LBHM meminta Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi surat edaran itu, karena punya kewenangan memastikan kebijakan pemda sejalan dengan aturan yang lebih tinggi.
Komnas HAM juga diharapkan melakukan investigasi terhadap dugaan pemberangusan hak transpuan yang terjadi di Gorontalo.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!