NASIONAL

PBHI: Polisi Tak Perlu Jaga Demo, Cukup Satpol PP

Pengamanan aksi demo harusnya dialihkan ke Kementerian Dalam Negeri melalui pengerahan Satpol PP...

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah, Hoirunnisa, Astri Septiani

EDITOR / Sindu

PBHI: Polisi Tak Perlu Jaga Demo, Cukup Satpol PP
Ilustrasi: Polisi membubarkan massa pedemo dengan gas air mata. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta– Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Annisa Azzahra menyebut polisi semestinya tidak terlibat keamanan dalam negeri khususnya saat aksi demo masyarakat.

Menurut dia, pengamanan aksi demo harusnya dialihkan ke Kementerian Dalam Negeri melalui pengerahan Satpol PP, ketimbang Polri mengerahkan Brimob untuk mengawal unjuk rasa massa.

“Pengelolaan fungsi ini tidak seharusnya ada di kepolisian, pengelolaan fungsi terkait keamanan dalam negeri yang mana merupakan hak dari masyarakat untuk menyampaikan pendapat seharusnya ada di bawah Kementerian Dalam Negeri melalui mekanisme yang lebih sesuai, melalui pendekatan sipil, bisa melalui Satpol PP,” jelasnya dalam diskusi “Brutalitas Aparat Polisi dan TNI dalam Aksi Panggilan Darurat” dipantau via YouTube YLBHI, Kamis, (29/8/2024).

Menurutnya, pengerahan Brimob dalam aksi demonstrasi juga kesalahpahaman.

"Bukan melalui kepolisian yang menurunkan Brimob yang itu adalah paramiliter yang dilatih untuk memukul dan menghabisi pada dasarnya," imbuhnya.

Annisa juga menilai pemerintah maupun DPR mestinya memerhatikan hal semacam ini untuk dimasukkan dalam draf RUU Polri.

“Apakah kewenangan Polri terkait keamanan dalam negeri sudah cukup tepat, apakah perlu adanya pemisahan kekuasaan yang lebih jelas, lebih tepat bahwa harusnya tugas-tugas ini dipegang oleh instansi-instansi lain sehingga kepolisian kita benar-benar kepolisian sipil,” ujarnya.

“Juga pada akhirnya setiap aksi tidak lagi direspons dengan kekerasan, tetapi direspons dengan pendekatan humanis,” pungkasnya.

Polisi Melukai Demonstran

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut aparat polisi menendang, menyeret, dan melukai pedemo Kawal Putusan MK di sejumlah daerah. Direktur YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, kekerasan aparat di berbagai kota terhadap para demonstran sudah sangat berlebihan.

"Yang ditangkap sangat, banyak data-data yang masuk kepada kami (YLBHI, red) lebih dari 300 orang yang terjadi di sana sini. Terjadi kekerasan brutal juga luar biasa terjadi di Semarang dan Makassar semalam, di Jakarta, di Purwokerto, di Palu, dan di Bojonegoro," tuturnya kepada KBR, Selasa, 27 Agustus 2024.

"Yang di Jakarta, yang pada tanggal 22 aksi itu dilepas semua, tapi kami belum menelusuri yang di tanggal 23. Jadi, kami sedang mencoba menelusuri melengkapi data-data jadi semua wilayah berapa banyak, dan berapa banyak yang dilepaskan kemudian," imbuhnya.

Desakan untuk Kapolri dan Komnas HAM

Direktur YLBHI Muhammad Isnur mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengevaluasi menyeluruh seluruh aparat polisi yang melakukan kekerasan kepada pedemo di berbagai daerah.

"Jangan sampai ini juga seperti Kanjuruhan terjadi. Baik itu undang-undang dan juga Konvensi internasional tentang aksi politik, Konvensi Internasional Antipenyiksaan, Undang-Undang Kepolisian, Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Penanganan Demonstrasi, Perkap 8/2009 tentang Implementasi HAM. Semua itu jelas melarang kepolisian untuk terpancing, untuk melakukan tindakan arogan, dilarang juga untuk melakukan tindakan kekerasan dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi chaos," katanya.

Kata Isnur, evaluasi perlu dilakukan kepada kepala polisi satuan wilayah. Sebab, kekerasan aparat polisi terhadap demonstran adalah tindakan melanggar hukum dan HAM.

"Jadi, kepolisian yang melakukan kekerasan baik itu komandannya, baik itu kemudian juga para pelaksanaannya, jelas bisa dijerat oleh banyak undang-undang," ujarnya.

Desakan juga ditujukan YLBHI kepada Komnas HAM. Isnur mendesak Komnas HAM mengusut pola kekerasan terstruktur, masif, dan meluas yang dilakukan aparat polisi.

"Kemudian penting bagi Komnas HAM melihat apakah ada, pola kekerasan ini dalam bentuk struktur, masif dan meluas. Ini bisa dilihat dan dijerat Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Berat. Oleh karena itu Komnas HAM perlu melakukan penyelidikan proyustisi, ya. Jadi, kami juga mendesak kepolisian tidak melakukan pelanggaran dengan menghalang-halangi tugas Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum," pungkas Isnur.

Klaim Aparat Polisi

Sebelumnya, dalam konteks pengamanan di Jakarta, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Susatyo Purnomo Condro mengeklaim tetap menghargai massa aksi yang menyampaikan pendapat. Kata dia, personel yang terlibat pengamanan juga tak ada yang membawa senjata api.

"Dalam rangka pengamanan aksi elemen masyarakat di bundaran Patung Kuda Monas dan sekitarnya, kami melibatkan sejumlah 1.273 personel gabungan. Personel gabungan tersebut dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemda DKI dan instansi terkait personel ditempatkan di sejumlah titik di sekitar Patung Arjuna Wijaya, depan Gedung MK, hingga depan Istana Merdeka," ujar Susatyo kepada wartawan, Kamis, (22/8/2024).

Susatyo mengatakan pengamanan dilakukan untuk mengantisipasi, dengan menyiapkan sejumlah personel untuk melakukan pengamanan dan mencegah massa aksi masuk ke kawasan. Ia mengingatkan seluruh personel selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi dan terprovokasi.

"Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum. Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di Bundaran Patung Kuda Monas dan beberapa lokasi lain," imbau Susatyo.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!