NASIONAL

Pakar Ungkap Tujuh Masalah Klasik Berulang dan Terjadi di Pilkada 2024

"Politik uang atau jual beli suara atau vote buying bahkan mulai dikemas dengan kontrak politik berbasis privat yang transaksional,"

AUTHOR / Astri Septiani

EDITOR / Muthia Kusuma

Google News
politik
Mural bertema politik uang di Depok, Jawa Barat, Jumat (28/07/2023), (FOTO: Antara/Yulius)

KBR, Jakarta- Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut ada tujuh masalah klasik berulang yang terjadi pada Pilkada 2024 lalu. Contoh masalah tersebut antara lain soal keluhan tentang politik biaya tinggi, politik uang, hingga ketidaknetralan ASN hingga berujung pemungutan suara ulang.

"Politik uang atau jual beli suara atau vote buying bahkan mulai dikemas dengan kontrak politik berbasis privat yang transaksional, menyertakan angka-angka per pemilih dengan kemasan kontrak politik. Politisasi dan ketidaknetralan ASN dan kepala desa yang kemudian ini berdampak pada pemungutan suara ulang serta diskualifikasi calon. Keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang oleh petahana masih terjadi dan juga penyelenggara negara dan daerah, khususnya ketika berkelindan dengan hubungan keluarga atau kekerabatan," kata Titi dalam RDPU dengan komisi II DPR RI, Rabu (26/02/25).

Permasalahan lain kata dia adalah soal sentralisasi rekomendasi pencalonan yang mewajibkan rekomendasi dewan pengurus pusat partai politik sehingga mengakibatkan problematika ikutan, yakni soal praktik politik mahar, mahar politik, dan juga politik biaya tinggi.

Baca juga:

Selanjutnya kata dia juga masih ada masalah soal manipulasi suara. Terakhir, ia menyoroti masalah profesionalitas dan netralitas penyelenggara pemilu, yakni terjadi disparitas antara aturan main dan implementasi teknis di lapangan, khususnya oleh para petugas ad hoc.

Dalam kesempatan tersebut, Titi juga memberikan sejumlah masukan untuk sistem pemilu.

Titi mengusulkan penerapan sistem pemilu campuran, yakni kombinasi antara sistem distrik berwakil tunggal (satu dapil satu caleg) dengan sistem pemilu proporsional daftar tertutup. Dalam sistem ini, pemilih bisa memilih calonnya langsung dan parpol juga bisa menempatkan caleg-calegnya melalui sistem proporsional tertutup.

Ia juga mendorong pelaksanaan pemilu dibagi dua. Pemilu serentak nasional yakni pemilihan DPR, DPD dan presiden dimulai tahun 2029, sementara pemilu serentak lokal yakni pemilihan DPRD dan Kepala Daerah dimulai tahun 2031 alias jeda dua tahun.

"Soal pilihan keserentakan untuk mengurai beban dari penyelenggara Pemilu, kita membuat fokus kontestan, dan juga konsentrasi pemilik yang lebih terfokus, maka usulannya adalah membuat dua tipe keserentakan," tambahnya.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!