NASIONAL

Pakar AI: Human is the Center

AI bisa dimanfaatkan untuk memanusiakan manusia

AUTHOR / Ninik Yuniati

Pakar AI: Human is the Center
Lukas, pakar AI, dosen Teknik Elektro Universitas Atmajaya. Lukas juga Ketua Indonesia AI Society. (Foto: dok Unika Atmajaya)

KBR, Jakarta - Bagi Lukas, dosen Teknik Elektro Universitas Atmajaya, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) bukanlah hal baru. Ia sudah mengenal AI sejak 1992 saat masih kuliah S1 di ITB. Minatnya ini diperdalam dengan mengambil S2 dan S3 tentang AI di KU Leuven, Belgia.

"Saya pertama kali mengenal AI pas kuliah di tingkat II di Bandung, tahun 1992. Lulus 1995, (saya) melihat AI ini sesuatu yang ajaib dan saya pengin tahu, saya mau belajar lagi," kata Lukas saat diwawancarai usai diskusi "Humanity in the Age of AI" di GoetheHauss, Jakarta, Jumat (6/10/2023) lalu.

Lukas optimistis dengan keberadaan AI yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan. Menurutnya, di era pengembangan AI, Indonesia mesti percaya diri sebab punya banyak sumber daya (resources) yang tidak dimiliki negara lain. Sumber daya itu meliputi keragaman alam, budaya, bahasa, geografis, dan lainnya.

"Indonesia sangat kaya, 17 ribu pulau. Negara-negara lain datang ke Indonesia, karena kita punya sumber daya yang cocok untuk AI. Itu data set yang bisa digunakan untuk AI," ujar Ketua Indonesia AI Society ini.

Selain itu, bonus demografi dengan melimpahnya penduduk usia muda juga menjadi keunggulan jika mampu dioptimalkan. Lukas bilang, Indonesia di ASEAN, terbilang cukup maju dalam pengembangan AI. Riset-riset tentang AI tumbuh terutama di kampus-kampus. Antusiasme generasi muda pun tinggi.

"Indonesia perlu pede, bahwa kita bukan sesuatu yang terbelakang, kita at the same position with others," tegas dia.

Segenap potensi ini mesti disokong ekosistem yang tepat. Jangan sampai malah talenta-talenta AI diambil negara lain, karena di dalam negeri tidak cukup support.

"Kalau bisa memposisikan ekosistem maupun swastanya bisa diberi apresiasi yang cukup, maka brain drain (migrasi para ahli ke negara lain), tadi bertahan di Indonesia dan men-develop. Makanya pengetahuan teknis dan nasionalisme juga perlu ditekankan," ujar Lukas.

Baca juga: Kalau Ada Robot AI, Kita Kerja Apa?

Teknologi dan edukasi mesti jalan beriringan agar tidak muncul sikap asal menolak ataupun kebablasan terlalu bergantung pada robot AI. Lukas menekankan AI sebagai asisten yang membantu manusia.

"Jangan juga terlena, udahlah semuanya serahkan ke teknologi, teknologi yang memilih kita, memilih berita kita, baju kita, besok agendanya apa, jangan juga gitu. Sadari kita manusia, we have the control, teknologi itu adalah asistif, dibuat untuk membantu manusia, bukan untuk menggantikan manusia," tutur Lukas.

Lukas mencontohkan, dokter bisa memanfaatkan AI untuk membaca cepat data medis. Namun, keputusan tentang pengobatannya, tetapi di tangan dokter. Demikian juga dengan bos yang memimpin perusahaan.

Beberapa pekerjaan memang bakal digantikan robot AI, terutama yang sifatnya repetitif. Di sisi lain, ini juga bisa menciptakan opportunity baru, karena manusia punya banyak waktu untuk membuat inovasi-inovasi.

"Pekerjaan yang memindahkan barang, sortir yang berulang-ulang yang manusiapun bosan ngerjainnya, serahkan pada mesin. Manusia dulu harus ngucek baju, sekarang mesin cuci, manusia jadi apa? ya jadi bos laundry, dengan itu kan memanusiakan manusia," terang Lukas.

Teknologi sejak dulu selalu ibarat pedang bermata dua. Karenanya, untuk menekan potensi dampak negatif AI, perlu dibangun ekosistem yang mendukung pengembangan sekaligus meminimalkan kerusakan.

"Misalkan dari sisi kurikulum, pemerintah membuat regulasi, mengatur media, penggunaan teknologi, dsb. Tetap human is the center," pungkas Lukas.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!