NASIONAL

Nining Elitos, Aktivis Buruh yang Punya 'Darah' Pejuang

Pengabdian Nining Elitos bagi perjuangan buruh

AUTHOR / Ninik Yuniati

Nining Elitos, Aktivis Buruh yang Punya 'Darah' Pejuang
Nining Elitos aktif di seirkat buruh sejak 1998. Ia memimpin Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) selama empat periode. (Foto: KBR/Ninik).

KBR, Jakarta - Nining Elitos (45) bingung ketika ditanya tentang hobinya. Mayoritas waktu perempuan kelahiran Bengkulu ini dihabiskan bersama rekan-rekan masyarakat sipil, terutama buruh. Naik gunung, baru terucap belakangan, sebagai salah satu kegemarannya.

“Hobi baru, tapi zaman sekolah saya memang suka hiking,” kata Nining saat ditemui di kantor KontraS, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selama 25 tahun, dunia aktivisme memang menjadi keseharian Nining. Pada 2008, ia terpilih menjadi Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Jabatan itu disandangnya hingga Maret 2023, dengan beralihnya estafet kepemimpinan. Namun, ia tetap aktif di KASBI sebagai Koordinator Dewan Buruh Nasional.

Tak sekalipun capek menghinggapi. Nining justru merasa harus terus bersemangat karena memiliki semacam priviledge. Anak kedua dari delapan bersaudara ini, sejak awal direstui oleh keluarganya untuk terjun berorganisasi.

Mereka yakin antusiasme Nining di dunia perburuhan ‘diwariskan’ dari buyutnya yang juga pejuang di masanya.

“Dari keluarga bapak saya kan memang pejuang. Tentu membuat kebanggaan dong, saya seperti ini, ternyata keluarga saya memang ada sejarahnya, bagian dari perjuangan,” ucapnya bangga.

Baca juga: Melani Budianta, Menikmati Sastra Lintas Zaman

Ketika sudah berkeluarga pun, Nining diberi keleluasaan untuk aktif berorganisasi.

“Jadi enggak ada alasan lagi, (bagi saya) untuk tidak berjuang. Suami nggak ada masalah. Kawan-kawan memberikan ruang dan kesempatan, juga support,” kata dia.

Meski demikian, ia tak menampik terkadang merasa bersalah kepada anak-anaknya. Kesibukan sebagai pimpinan organisasi sering memaksa Nining harus berada di luar rumah bahkan luar daerah.

“Saya harus memberikan pengertian, penjelasan kepada anak-anak dan mereka bisa menerima itu,” ungkap ibu tiga anak ini.

Pengalaman yang membekas bagi Nining adalah ketika masa awal aktif di serikat buruh. Kala itu, ia di-PHK dari pabrik tempatnya bekerja di Bekasi.

Nining mengejar keadilan melalui jalur hukum yang memakan waktu lama. Ia terpaksa menumpang di tempat kawan-kawannya karena tak mampu membayar uang kos.

“Kos Rp50 ribu zaman itu. Nah, ketika kita tidak punya gaji, hidup di rantau, ya mau nggak mau, kita harus tinggal sana-sini, numpang sama teman,” kisahnya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!