NASIONAL

Menteri HAM Yakin RUU Masyarakat Adat Bisa Disahkan Tahun Ini, Alasannya?

“2025 ini kemungkinan akan disahkan, tetapi undang-undang yang disahkan itu harus substantif,” katanya.

AUTHOR / Siska Mutakin, Astri Yuana Sari, Resky Novianto

EDITOR / Resky Novianto

Google News
adat
Aksi masyarakat adat pendukung suku Awyu Papua dan suku Moi di depan Gedung MA, Jakarta, Senin (22/7/2024). (Antara/Galih Pradipta)

KBR, Jakarta- Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat.

Menurutnya, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini belum ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan, pelestarian, penghormatan terhadap masyarakat adat.

Padahal, pasal-pasal dalam konstitusi secara tegas sudah mengatur keberadaan Masyarakat Hukum Adat dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

"Dalam kerangka itulah Kementerian HAM konsisten mendukung percepatan pengesahan undang-undang masyarakat adat yang berisikan penghormatan terhadap nilai-nilai atau dijiwai disemangati oleh nilai-nilai hak asasi manusia saya kira itu sikap dari Kementerian Hak Asasi Manusia," kata Pigai dalam Konferensi Pers, Selasa (7/5/2025).

Pigai menyebut RUU yang disahkan harus bersifat substantif seperti memenuhi standar-standar nilai HAM dan penghormatan terhadap nilai masyarakat adat.

"Saya kira itu yang penting konten isi yang berkualitas dijiwai disemangati dan juga melestarikan kondisi masyarakat adat yang ada tanpa mengurangi nilai apapun, itu yang penting," katanya.

Pigai menyebut pihaknya pada awal Juni mendatang akan menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD) dengan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat. Koalisi tersebut terdiri dari sekitar 47 organisasi yang mengadvokasi, membela, dan mendampingi masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Setelah itu, Menteri HAM akan menyurati DPR RI untuk percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dia meyakini pengesahan tidak membutuhkan waktu lama, terlebih mengingat RUU tersebut kembali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini.

“2025 ini kemungkinan akan disahkan, tetapi undang-undang yang disahkan itu harus substantif,” katanya.

Pigai yakin DPR tidak memiliki kesulitan dalam mengesahkan RUU tentang Masyarakat Adat.

Dalam hal investasi, Pigai menegaskan ada delapan kriteria bagi perusahaan yang berinvestasi di wilayah adat. Salah satu prinsip utamanya adalah right to know.

"Karena di dalam konteks pembangunan right to know itu adalah atau hak partisipasi masyarakat itu adalah aspek yang sangat penting dalam human rights," katanya,

Pigai turut mengingatkan agar perusahaan memastikan sejumlah hal diantaranya memastikan adanya persetujuan dari masyarakat adat; pelibatan aktif masyarakat sebagai pengelola usaha; pemberdayaan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja; status tanah yang clean and clear.

Keuntungan yang adil bagi negara, masyarakat, dan perusahaan; tidak tergesernya nilai budaya dan tatanan adat; perlindungan dan pelestarian adat; dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan.

Masyarakat Adat Minta Kementerian HAM Kawal RUU

Perwakilan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Abdon Nababan mengatakan, Kementerian HAM merupakan rumah bagi masyarakat adat.

"Karena itu tadi kami minta supaya kementeri supaya RUU Masyarakat Adat ini dikawal betul di dalam pemerintahan Pak Prabowo lewat Menteri HAM," katanya, Rabu (7/5/2025).

Ia juga meminta agar Kementrian HAM berperan aktif mengawal proses pembahasan RUU Masyarakat Adat yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

"Karena memang ini janji konstitusi dan Undang-Undang Dasar kita tahun 1945 sekarang sudah 78 tahun belum ada Undang-Undang yang mengoperasionalkan pasal ini," ungkapnya.

Abdon menambahkan dalam pertemuan tersebut, juga dibahas mengenai hak-hak masyarakat adat. Hal itu disampaikan karena banyaknya konflik yang terjadi dengan rencana investasi di daerah.

"Karena hak-hak Masyarakat Adat ini tidak teradministrasikan dengan baik dan benar sehingga menimbulkan konflik ketika ada investasi," tambahnya.

Ia menegaskan bahwa masyarakat adat tidak menolak investasi, namun menolak investasi yang merampas hak-hak adat.

"Kita coba dorong supaya kepastian berusaha itu berjalan bersama dengan kepastian atas hak-hak Masyarakat Adat sehingga antara apa yang direncanakan oleh pemerintah dengan apa yang diinginkan oleh Masyarakat Adat bisa dipertemukan," jelasnya.

Baca juga:

Bagaimana Memperkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak?

Lindungi Hak Perempuan

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak agar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat disahkan untuk melindungi hak perempuan dan alam.

Hal itu dsampaikan oleh Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar dalam diskusi publik memperingati Hari Perempuan Internasional yang bertajuk “Urgensi UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat sebagai Payung Hukum Perlindungan Hak-Hak Perempuan atas Wilayah dan Sumber-Sumber Penghidupan”, Jumat, (14/3/2025).

"Karena salah satu yang akan dibahas di dalamnya terkait hak-hak perempuan adat yang mungkin perempuan adat termasuk di dalamnya kelompok-kelompok tereksklusi, mungkin ada kawan-kawan disabilitas dan ini bagian yang mungkin bagian dari gerakan perempuan yang salah satu ikhtiar untuk mengkoreksi budaya yang mendiskriminasikan dan melakukan kekerasan terhadap perempuan di lain kebijakan-kebijakan yang ada," ujarnya.

Veni menyebut RUU Masyarakat Adat ini telah diperjuangkan selama dua dekade, namun belum juga disahkan.

Menurutnya, RUU ini tidak hanya soal hak atas tanah atau wilayah adat, tetapi juga soal pengakuan terhadap kelestarian budaya, adat istiadat, dan hukum yang mereka junjung.

"Karena tidak mungkin bicara tentang hak masyarakat hukum adat kita meninggalkan hak-hak tradisionalnya, secara entitas kita sebagai rakyat Indonesia yang memiliki budaya yang lahir dari nilai-nilai masyarakat adat, kita berangkat dari keduanya, pengakuan hak atas tanah itu penting, tapi pengakuan kelestarian atas budaya, tata krama, komunitas, dan kekuatan masyarakat adat itu adalah sama dengan kekuatan perempuan, kekuatan komunitas, kekuatan bersama," katanya.

Selain itu, Veni menyoroti pentingnya melibatkan perempuan dalam pembahasan RUU ini, jika tidak dikhawatirkan budaya yang ada di dalam masyarakat adat bisa saja mendiskriminasi dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.

“Perjuangan untuk mengakui hak perempuan adat, termasuk di dalamnya perempuan dari kelompok minoritas seperti disabilitas, merupakan bagian dari upaya untuk mengoreksi dan memperbaiki budaya yang ada,” tuturnya.

Veni mengingatkan jika RUU ini disahkan, tidak hanya hak atas tanah yang diakui, tetapi juga hak atas kelestarian lingkungan yang harus dijaga bersama.

Menurutnya, dengan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, masyarakat Indonesia diharapkan bisa lebih sadar akan pentingnya melestarikan budaya lokal dan menghargai kontribusi besar msyarakat adat dalam menjaga kelestarian alam.

“Berharap agar RUU ini bisa segera disahkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak masyarakat adat dan perempuan, serta untuk menjaga alam Indonesia yang semakin terancam,” tegasnya.

Baca juga:

Temui Baleg DPR, AMAN: Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

Perlindungan Masyarakat Adat masih Minim

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai situasi masyarakat adat di Indonesia masih belum membaik, bahkan setelah berganti rezim.

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN, Muhammad Arman mengatakan, konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat masih terjadi. Apalagi, kata Arman, di dalam astacita Prabowo-Gibran, tak ada yang secara khusus menyebut soal perlindungan masyarakat adat.

"Jadi kalau kita baca misalnya astacita dari Prabowo-Gibran itu nggak ada sama sekali yang menyebut tentang bagaimana rezim ini memperlakukan masyarakat adat di dalam konteks pengakuan mereka seperti apa, perlindungan mereka seperti apa, dan juga kira-kira pemberdayaan mereka seperti apa, dalam konteks bernegara,” kata Arman kepada KBR, Kamis (23/1/2025).

“Jadi dapat dibayangkan sebenarnya kalau di rezim Jokowi aja itu ada 6 nawacita tentang masyarakat adat, di astacita tidak ada sama sekali akan seperti apa potretnya. Jadi seperti kita menghadapi masa-masa gelap,” imbuhnya.

Arman mengatakan, sepanjang 2024, terdapat 121 kasus yang terjadi bagi masyarakat adat, dan kasus-kasus tersebut masih terus berlanjut pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini belum memiliki kebijakan yang efektif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.

Ia menyebut, ada beberapa hal yang harus menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran, jika memang berkomitmen dengan isu-isu kerakyatan dan penyelamatan lingkungan.

"Kembali pada apa yang diperintahkan dalam TAP MPR nomor 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Nah salah satu yang diatur di sana adalah bagaimana melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya alam, dan memastikan bahwa peraturan-peraturan yang diskriminatif itu dicabut," imbuhnya.

Arman juga mendorong pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, yakni RUU Masyarakat Adat, RUU Reforma Agraria dan RUU Keadilan Iklim.

"Jadi tiga RUU itu menjadi semacam payung bagi masyarakat adat, bagi petani, dan juga lingkungan, untuk memastikan adanya keberlangsungan generasi bangsa dan keberlangsungan lingkungan yang berkeadilan, RUU Masyarakat Adat, RUU Reforma Agraria dan RUU Keadilan Iklim," kata Arman.

Sebelumnya, RUU Masyarakat Hukum Adat telah diusulkan sejak 2010. RUU ini masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak tiga kali periode DPR, dari 2010 hingga 2024.

Baca juga:

Koalisi Desak RUU Masyarakat Adat: Lindungi Hak Perempuan dan Alam!


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!