NASIONAL
Mengungkap Pelaku Kekerasan Sesungguhnya dalam Aksi May Day 2025
"Dia sendiri bilang dia dipukul polisi di bagian kepala, diinjak-injak di dadanya kejadiannya sekitar pukul 13 sampai pukul 14, saat May Day di bawah jembatan TVRI," jelasnya

KBR, Jakarta- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menjadi bagian dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan saat aksi Hari Buruh Internasional atau May Day di Gedung DPR, terjadi kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat berpakaian sipil dan tidak mengenakan atribut kepolisian yang jelas.
Kekerasan terjadi di beberapa kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, dan Semarang. Sebanyak 13 dari 14 orang menjadi korban penyiksaan saat dilakukan penangkapan, sementara 4 dari 14 peserta aksi yang ditangkap merupakan paramedis.
"Kami menerima laporan ada 13 orang yang ditangkap selama aksi, dan mengalami kekerasan fisik meskipun tidak ada perlawanan dari mereka," ungkap Pengacara publik LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo dalam Konferensi Pers "Mengungkap Pelaku Kekerasan Sungguhnya pada Aksi Hari Buruh Internasional 2025" di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025).
Tiga peserta aksi mengalami luka bocor di kepala akibat kekerasan fisik yang dilakukan kepolisian. Kekerasan fisik juga dialami Jurnalis dari LPM Progresif di Jakarta dan Tempo di Semarang.
Paramedis Jadi Korban Kekerasan Fisik dan Seksual
Aparat diduga mengeroyok seorang paramedis berinisial K dalam aksi peringatan Hari Buruh Internasional di bawah jembatan dekat Gedung TVRI. Paramedis tersebut dipukul di bagian kepala dan diinjak dadanya oleh terduga aparat sekitar pukul 13 hingga 14 siang.
"Dia ikut demonstrasi May Day 2025 pada tanggal 1 Mei sebagai seorang paramedis. Dia memang mendapat pelatihan di bidang kesehatan. Ada videonya kalau keponakan saya sedang diperiksa di Polda Metro Jaya. Dia pakai baju kuning dan celana panjang. Duduk di kursi di pusdokkes, pusat kedokteran dan kesehatan Polda Metro Jaya muntah-muntah mimisan keluar darah dari hidung," ujar paman korban, Andreas Harsono dalam Konferensi Pers "Mengungkap Pelaku Kekerasan Sungguhnya pada Aksi Hari Buruh Internasional 2025" di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025).

Andreas mengatakan dirinya meminta polisi segera melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap keponakannya. Namun, dokter polisi saat itu menyatakan bahwa gejala yang dialami masih dalam tahap observasi dan kemungkinan disebabkan oleh stres.
Situasi sempat memanas antara tim pengacara dan dokter polisi sebelum akhirnya K dibawa ke RS MRCCC Siloam yang berada tak jauh dari Polda Metro Jaya.
"Khawatir dia gegar otak. Dia sendiri bilang dia dipukul polisi di bagian kepala, diinjak-injak di dadanya kejadiannya sekitar pukul 13 sampai pukul 14, saat May Day di bawah jembatan TVRI. Karena dia sakit dia minta agar para pengacara menghubungi saya. Saya minta agar polisi memeriksa kesehatannya. Dokter bilang masih observasi, dokter polisi mengatakan kalau stres bisa juga muntah-muntah dan mimisan," jelas Andreas.
Akibat pengeroyokan tersebut, K mengalami luka berat dan menjalani operasi CT Scan. Hasil pemeriksaan menyatakan terdapat cedera otot leher serta memar di bagian leher dan dada.
Andreas bersyukur keponakannya dalam kondisi fisik yang cukup baik sehingga bisa bertahan dari insiden tersebut.
Meski telah mendapatkan perawatan, K kini tercatat sebagai satu dari 13 orang yang menjadi terlapor dan masih dalam proses pemeriksaan oleh pihak kepolisian.
Andreas menyoroti bahwa kekerasan terhadap para relawan medis sangat janggal, karena seharusnya mereka hadir untuk memberikan bantuan, bukan justru menjadi sasaran kekerasan.
"Saya kira apa yang dialami, banyak menunjukkan kejanggalan, paramedis mau menolong demonstran yang diduga luka kok malah dipukulin, ada banyak hal yang tidak benar. Polda Metro Jaya bila ingin punya nama yang baik memperbaiki nama polisi, sebaiknya melakukan investigasi internal terhadap apa yang terjadi pada tanggal 1 Mei 2025," tegasnya.

Kekerasan Verbal terhadap Paramedis Perempuan
Sementara itu, seorang paramedis berinisial G, turut mengalami kekerasan seksual verbal oleh pihak aparat saat aksi peringatan Hari Buruh Internasional.
Ibu korban mengatakan aparat melontarkan sejumlah kata yang tidak pantas. Akibatnya, korban mengalami trauma.
"Anak saya dikatain lalu dibilang telanjangin aja. Itu yang saya baru tahu belakangan. Ya ampun gimana rasanya saya sebagai ibu. Dia dari S1 berjuang soal masalah kekerasan seksual. Tiba-tiba sekarang dia ngalamin," ujar ibu korban, Herlina dalam Konferensi Pers "Mengungkap Pelaku Kekerasan Sungguhnya pada Aksi Hari Buruh Internasional 2025" di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025).
Herlina mempertanyakan apakah perlakuan serupa akan diterima jika korbannya adalah laki-laki. Ia merasa perlakuan terhadap anaknya sebagai perempuan menunjukkan adanya kekerasan seksual yang tidak manusiawi.
"Yang jadi logika saya adalah apakah kalau orangnya adalah laki-laki, ada bahasa telanjangin aja gak? Itu anak saya perempuan, tuh polisi punya anak perempuan gak tuh nanti. Emang ada SOP polisi tuh nginjak pake dengkul ya? Anak saya tuh bukan lagi demo, anak saya bukan buruh, dia ikut di paramedis karena tau ada Mayday. Apa yang salah? Gak ada," ungkapnya.
Herlina menyesalkan tindakan aparat yang dianggap tidak sesuai prosedur. Herlina menyebut bahwa rekan anaknya berinisial K, mengalami kekerasan fisik, termasuk diinjak dengan dengkul oleh seseorang bertubuh besar, diduga sebagai oknum yang tidak diketahui identitasnya.
"Terus dia cerita kalau K itu diinjek pakai dengkul sama orang yang kita gak bisa bilang itu polisi atau bukan, tapi gak mungkin dong ada orang biasa ya. K itu kurus, diinjek pakai dengkul sama orangnya yang gemuk gitu. Dia langsung ngeginiin, mama aku juga gak tau tenaga aku bisa jadi gede banget ngeginiin, karena dia kenal banget K itu gak cocok sama sekali untuk diperlakukan seperti itu," imbuhnya.
Herlina mengaku mendapat kabar bahwa anaknya ditahan tanpa dasar tuduhan pidana yang jelas, dan baru keesokan harinya muncul pasal terkait penghasutan serta menghalangi.
“G dalam aksi tersebut tidak melakukan provokasi atau anarkisme. Anaknya hanya ingin membantu sebagai paramedis dan telah mempersiapkan diri sebelumnya dengan pelatihan pertolongan pertama,” tegasnya.
Desakan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)
Berdasarkan temuan-temuan tersebut di atas Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), mendesak:
Pertama, Pemerintah untuk bisa melaksanakan kewajibannya sebagai duty bearer Hak Asasi Manusia agar dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang dapat kembali terjadi dimasa yang akan datang;
Kedua, Kepolisian Republik Indonesia untuk dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas pengamanan aksi serta melakukan proses hukum bagi para anggota yang melakukan pelanggaran. Proses hukum tidak hanya berhenti pada tahapan etik, tetapi juga harus diadili melalui peradilan pidana guna memberikan penghukuman yang setimpal;
Ketiga, Kompolnas untuk segera melakukan investigasi/pendalaman secara komprehensif atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Kepolisian. Menegaskan pola yang terus berulang, perlu adanya rekomendasi secara tegas dan serius sebagai langkah preventif agar peristiwa ini tidak kembali terjadi dimasa yang akan datang;
Keempat, Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti serta melakukan penyelidikan pro-justisia atas serangkaian peristiwa pengamanan aksi yang selama ini telah terjadi.
Sebanyak 13 Orang Ditetapkan sebagai Tersangka
Polda Metro Jaya menetapkan 13 orang sebagai tersangka kasus kericuhan yang terjadi di depan Gedung DPR/MPR RI pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei.
"Demo anarkis di depan gedung DPR/MPR RI, dari 14 tersebut, sudah dinaikkan statusnya sebagai tersangka 13 orang dan sudah dilayangkan surat panggilan kepada yang bersangkutan," kata Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, AKBP Reonald Simanjuntak saat ditemui di Jakarta, Senin (12/5/2025), dikutip dari ANTARA.
Reonald menjelaskan 13 orang tersebut yakni, S, MZ, DS, HW, MB, SJ, GS, MF, EF, MM, JA, TA dan AH.

Reonald menambahkan kepada sepuluh orang tersangka pertama tersebut dikenakan dengan pasal 212 KUHP tentang tindak pidana melawan petugas yang sedang menjalankan tugas yang sah.
Kemudian pasal 216 KUHP mengatur tentang sanksi pidana bagi orang yang sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang, atau yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan tindakan yang dilakukan oleh pejabat tersebut.
Pasal 218 KUHP tentang barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang diancam karena ikut serta perkelompokan.
"Untuk yang sepuluh orang tersangka itu S, MZ, DS, HW, MB, SJ, GS, MF, EF dan MM korbannya petugas sedangkan tiga orang tersangka yaitu JA, TA dan AH korbannya tim medis," kata Reonald.
Dari total tersangka, 10 orang diduga melakukan tindakan melawan hukum dengan menolak perintah petugas, bertindak anarkis, serta membahayakan masyarakat sekitar.
Mereka dijerat Pasal 212 KUHP, dengan ancaman hukuman 1 tahun 4 bulan penjara dan atau Pasal 216 KUHP, dengan ancaman 4 bulan 2 minggu penjara dan atau Pasal 218 KUHP, dengan ancaman 4 bulan 2 minggu penjara.
Baca juga:
- Ramai-ramai Uji Formil di MK, Soroti Legalitas UU TNI hingga Penempatan Jabatan Sipil
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!