NASIONAL

Mengkritik Lambatnya Penerbitan Aturan Turunan UU TPKS

Hingga batas waktu berakhir pada 9 Mei 2024, dari tujuh aturan turunan UU TPKS, baru dua aturan yang diterbitkan.

AUTHOR / Astri Yuanasari, Shafira Aurelia, Amanda Titis

Mengkritik Lambatnya Penerbitan Aturan Turunan UU TPKS
Aktivis menggelar aksi menuntut penanganan kasus kekerasan seksual di Gorontalo, Kamis (2/5/2024). (Foto: ANTARA/Adiwinata Solihin)

KBR, Jakarta - Undang-undang Tindak Pindana Kekerasan Seksual atau TPKS sudah disahkan pada 13 April 2022. Namun, sudah dua tahun aturan turunannya tidak kunjung diterbitkan sesuai perintah undang-undang.

Undang-undang TPKS disahkan pada April 2022 dan diundangkan di lembar negara pada 9 Mei 2022. Pasal 9 UU TPKS mengamanatkan peraturan turunan diterbitkan paling lambat dua tahun setelah peraturan itu diundangkan atau pada 9 Mei 2024. Namun hingga batas waktu berakhir, dari tujuh aturan turunan, baru dua yang diterbitkan.

DPR pun berencana memanggil pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS.

Anggota Komisi VIII DPR bidang Perempuan dan Anak, Selly Andriany Gantina mengatakan salah satu yang akan dievaluasi adalah lambatnya penerbitan aturan turunan undang-undang itu.

"Mengenai sanksi kepada pemerintah terutama kepada ex-officio leading sektor KemenPPPA, itu menjadi catatan oleh Komisi VIII. Kita akan segera mungkin melakukan rapat evaluasi, termasuk juga mungkin oleh Badan Legislasi. Karena batas dari Undang-undang tersebut kan dua tahun sejak di undangkan," kata Selly kepada KBR, Senin (13/5/2024).

Undang-undang TPKS mengamanatkan pemerintah mengeluarkan tujuh aturan turunan. Dua diantaranya sudah diterbitkan, yaitu Peraturan Presiden tentang Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.

Sedangkan lima aturan turunan lain masih dalam bentuk rancangan. Termasuk di dalamnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban TPKS, serta Rancangan PP tentang Pencegahan Penanganan Perlindungan dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan mendesak pemerintah segera menerbitkan peraturan turunan yang tersisa.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan lambatnya pengesahan aturan turunan itu mengakibatkan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual tidak berjalan optimal.

"Tentu kita mengharapkan kelima peraturan pelaksana ini bisa disahkan atau ditandatangani oleh Presiden. Mengingat Undang-Undang TPKS memandatkan peraturan pelaksana maksimal tersedia 2 tahun setelah Undang-Undang TPKS disahkan," ujar Siti dalam konferensi pers, Jumat (3/5/2024).

Baca juga:


Di lain pihak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beralasan lima aturan turunan belum disahkan karena kendala waktu dan pembahasan yang kompleks.

Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak di Kementerian PPPA Nahar mengatakan pemerintah berkomitmen segera menyelesaikan pembuatan aturan turunan Undang-undang TPKS.

"Ada beberapa pengaturan yang memang tetap harus menunggu itu (aturan turunan UU TPKS). Tapi bukan berarti Undang-undang TPKS tidak bisa diterapkan. Lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak terus berkomitmen untuk segera menyelesaikan proses aturan turunan Undang-Undang TPKS ini agar dapat segera memberikan jaminan perlindungan bagi korban dan keluarga korban. Saat ini tinggal satu peraturan pelaksanaan Undang-Undang TPKS yang masih dalam tahap harmonisasi. Yang lainnya sudah selesai," ujar Nahar kepada KBR, Senin (13/5).

Nahar meminta masyarakat turut mengawal proses penyelesaian dan pengesahan aturan turunan undang-undang itu.

Kalangan masyarakat sipil meminta DPR RI memberi sanksi kepada pemerintah atas lambatnya penerbitan aturan turunan Undang-undang TPKS.

Koordinator Reformasi Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti mengatakan seharusnya aturan turunan diterbitkan paling lambat 2 tahun setelah UU TPKS diundangkan.

"Sanksi ya berupa itu tadi, menggunakan segala kewenangan yang ada pada DPR untuk mempersoalkan masalah ini. Saya itu nggak senangnya, kalau urusan politik-politik cepat (diselesaikan). Tapi giliran urusan kebijakan yang tidak dijalankan dan merugikan rakyat banyak, khususnya ini korban yang sudah menderita, itu tidak dianggap serius," kata Ratna saat dihubungi KBR, Senin (13/5/2024).

Ratna juga menyayangkan penyusunan aturan turunan Undang-undang TPKS kurang melibatkan korban dan keluarga korban.

Ia khawatir minimnya partisipasi korban dan keluarga membuat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual tidak maksimal.

Baca juga:


Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!