indeks
Menakar Dampak Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah

“Saya pikir putusan MK lahir dalam konteks itu, untuk mencegah berbagai upaya yang bisa terjadi untuk melemahkan demokrasi,” ujarnya.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
pemilu
Ilustrasi Pemilu. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta– Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 menjadi titik penting dalam sejarah reformasi pemilu Indonesia.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai di tengah pro-kontra yang mencuat, perdebatan ini memperlihatkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat partisipasi publik, konsistensi hukum, serta komitmen semua pihak terhadap demokrasi yang lebih berkualitas.

Peneliti Perludem, Haykal, menyambut baik langkah Mahkamah Konstitusi yang menurutnya sudah lama diperjuangkan oleh kelompok masyarakat sipil.

“Bagi kami ini adalah satu putusan yang menjadi langkah ke depannya untuk perbaikan sistem pemilu di Indonesia... Kami melihat langkah ini tentu saja tidak menjadi langkah yang berada di ruang kosong,” kata Haykal dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Jumat (4/7/2025).

Haykal menekankan bahwa sejak Pemilu 2015, Perludem sudah mendorong pemisahan keserentakan, terutama untuk mengurangi kerumitan teknis dan mendorong demokratisasi partai politik. 

Ia juga menilai putusan MK 135 ini sebagai bagian dari koreksi terhadap kelemahan sistem lima kotak yang diterapkan pada Pemilu 2019 dan 2024.

"Jika tidak ditangani secara hati-hati dan inklusif, momentum ini bisa menjadi sia-sia. Namun jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi langkah besar menuju pemilu yang lebih terstruktur, adil, dan representatif," jelasnya.

Haykal menegaskan bahwa putusan ini bukan sekadar bentuk koreksi hukum, melainkan bagian dari perbaikan menyeluruh.

“Semoga ini bisa berjalan lebih cepat dan lebih mudah untuk kemudian kita menyiapkan ke depannya. Dan mudah-mudahan ini tidak menjadi bagian dari resistensi terhadap perubahan yang kita inginkan," ujar Haykal.

Tanggapan Pemerintah

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menegaskan bahwa pemerintah telah menindaklanjuti putusan MK dengan membentuk tim kajian lintas kementerian untuk merevisi Undang-Undang Pemilu.

“Kami sedang menerima masukan informasi aspirasi dari semua kalangan. Kami pastikan bahwa pemerintah sangat serius untuk melakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap putusan MK itu,” ujar Bima dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Jumat (4/7/2025).

Bima juga menekankan pentingnya menciptakan undang-undang kepemiluan yang ajeg dan berkelanjutan agar tidak berubah setiap kali pemilu digelar. Namun, eks Wali Kota Bogor ini juga menyinggung perdebatan soal tafsir konstitusional mengenai apakah pilkada dan pemilu masuk dalam satu rezim atau terpisah.

“Ini tergantung dari sisi mana kita menafsirkan undang-undang dasar 1945 itu," sambung Bima.

Respons Kalangan Parlemen 

Sementara dari sisi legislatif, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khosin, menyampaikan kekhawatirannya terkait inkonsistensi putusan MK yang berbeda dengan putusan sebelumnya.

“Putusan MK 135 ini bertentangan secara kasat mata dengan putusan MK 55/2019. Ini kan bentuk inkonsistensi secara kelembagaan,” ujar Khosin dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Jumat (4/7/2025).

Khosin juga menyebutkan kemungkinan perlunya amandemen terbatas terhadap UUD 1945 jika ingin menjalankan putusan ini secara konsisten.

“Way out-nya, kalau kita konsisten menjalankan putusan MK ini, harus ada amandemen terbatas terkait dengan pasal 22E ayat 1 dan 2 dan pasal 18 ayat 3," lanjutnya.

Khosin menggarisbawahi bahwa DPR saat ini lebih fokus pada aspek yuridis dari putusan tersebut dan bukan sekadar teknis pelaksanaannya. 

Meski demikian, kata dia, Komisi II DPR mengklaim sudah membuka ruang partisipasi publik, termasuk berdiskusi dengan organisasi seperti Perludem.

Pakar: Putusan Perlu Ditindaklanjut secara Komprehensif

Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM Pandekha FH UGM, Yance Arizona, menilai putusan ini muncul dalam konteks demokrasi Indonesia yang tengah mengalami regresi.

“Saya pikir putusan MK lahir dalam konteks itu, untuk mencegah berbagai upaya yang bisa terjadi untuk melemahkan demokrasi,” ujar Yance dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Jumat (4/7/2025).

Yance menekankan bahwa MK melalui putusan ini menggeser pemilu DPRD agar bersamaan dengan pilkada sebagai pemilu daerah. Tujuannya adalah untuk mendorong kehidupan politik yang lebih dinamis dan mengurangi beban penyelenggara.

Namun, Yance juga menyoroti pentingnya reformasi partisipasi publik dalam pembentukan Undang-Undang Pemilu.

“Kita belum punya panduan detailnya itu bagaimana publik harus berpartisipasi... Jadi perlu ada perbaikan mekanisme untuk publik berpartisipasi itu," tambah Yance.

Yance menambahkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat kini mendorong pemerintah dan DPR untuk bergerak cepat. Tantangan terbesar ke depan adalah masa transisi, terutama jika pemilu daerah digeser ke 2031. 

"Pentingnya menata ulang jadwal, memperjelas status penjabat (Pj) kepala daerah, serta opsi masa jabatan DPRD," pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR

Baca juga:

- Konsolidasi Politik Pasca-Pemilu: Analisis Pertemuan Prabowo-Megawati

Mahkamah Konstitusi
MK
Pemilu
Pilpres

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...