NASIONAL

KSP: RKUHP Tak Bisa Mengakomodasi Semua Keinginan Masyarakat

"Selama ini Indonesia masih menggunakan KUHP produk kolonial."

Dwi Reinjani

KSP: RKUHP Tak Bisa Mengakomodasi Semua Keinginan Masyarakat
Demo menolak RKUHP di Jakarta, Selasa (23/08/2022). Foto: ANTARA/Rivan

KBR, Jakarta- Pemerintah mengakui tidak semua masukan masyarakat bisa diakomodasi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dalam waktu dekat akan dibawa ke paripurna DPR.

Padahal menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan, proses revisi telah melalui tahapan diskusi terbuka, namun penolakan masih tetap terjadi. Untuk itu ia meminta masyarakat yang masih keberatan bisa mengambil jalur hukum dengan memberi argumen berbasis data dalam gugatan.

"KUHP ini telah bertahun-tahun, pakar pakar hukum kita, profesor profesor hukum kita, sudah bersusah payah berjuang melakukan koordinasi dan pemikirannya. Silakan kalau ada kelompok orang yang masih tidak puas terhadap pemikiran ini gitu, ada mekanisme hukum ada jalur hukum. Pemerintah memberikan ruang itu, silakan mari kita berargumentasi secara terbuka lewat mekanisme hukum itu lewat jalur hukum itu," ujar Ade Irfan, saat dihubungi KBR, Minggu, (27/11/2022).

Tenaga Ahli Utama KSP, Ade Irfan Pulungan mengklaim, upaya percepatan pengesahan RKUHP oleh pemerintah, semata-mata agar Indonesia memiliki kebijakan hukum yang pasti. Pasalnya, selama ini Indonesia masih menggunakan KUHP produk kolonial, yang dibuat bukan berdasarkan pemikiran anak bangsa.

"Ini sangat kita butuhkan untuk menggantikan KUHAP produk kolonial. Maka ketika mau bertahan terus menerus terhadap KUHP buatan Belanda, sedangkan si pembuatnya sendiri sudah tidak lagi menggunakan produk-produknya kan itu bagi saya secara pribadi sangat ironi dan sangat aneh. Ada produk KUHP yang menjadi pemikiran anak bangsa pemikiran cerdas semua pakar pakar hukum. Tetapi, ada beberapa kelompok yang itu menentang, harus menolak kan saya pikirkan tidak fair juga," ujar Irfan.

Baca juga:

RKUHP, ICJR Desak Istilah Living Law Diganti Hukum Adat

Pemerintah dan DPR Sepakati RKUHP Dilanjutkan ke Paripurna

Senada dengan Irfan, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward OS Hiariej juga menegaskan, pintu Mahkamah Konstitusi (MK) terbuka lebar, bagi masyarakat yang tidak setuju pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.

Kata dia, semua keberatan bisa disampaikan melalui mekanisme hukum yang benar, agar lebih tertib dan terarah.

"Saya kira begini, ya, ini sudah persetujuan tingkat pertama maka secara prosedural dan akan disahkan di paripurna kalau ada warga masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar maka pintu Mahkamah Konstitusi terbuka lebar lebar untuk itu dan di situlah kita melakukan perdebatan hukum yang elegan, dan saya kira bermartabat di situ ya," ujar Edwar, kemarin di kompleks Parlemen.

Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyepakati RKUHP akan dibawa pada rapat paripurna terdekat atau sebelum memasuki 15 Desember 2022. Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco. Ia mengatakan rapat paripurna terdekat akan dilaksanakan sebelum para anggota menjalani masa reses.

Ancam Demokrasi

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor mendesak pasal-pasal yang antidemokrasi di dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Ketua Umum YLBHI, M. Isnur mengatakan muatan-muatan pasal antidemokrasi masih dipaksakan merujuk pada kesimpulan rapat sebelumnya.

"Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil," kata Isnur dalam keterangan tertulis, Kamis (24/11/2022).

Isnur menilai RKUHP saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif.

Adapun pasal-pasal yang dinilai dapat digunakan untuk menggerus suara-suara kritis rakyat terhadap penyelenggaraan negara di antaranya:

Pasal 218 sampai Pasal 220 mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 349 sampai Pasal 351 penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum  dan lembaga negara, pasal mengenai pencemaran nama baik, hingga pasal ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan.

Atas dasar itu, koalisi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodasi di dalamnya.

Editor: Sindu

    • RKUHP
    • DPR
    • KSP
    • Polemik RKUHP

    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!