NASIONAL
Konflik Bersenjata Pecah Lagi di Intan Jaya: Warga Ketakutan, Makin Jauh dari Kedamaian
Konflik bersenjata yang kembali pecah di Intan Jaya, Papua, memicu ketakutan dan trauma mendalam masyarakat.

KBR, Jakarta - Konflik bersenjata yang kembali pecah di Intan Jaya, Papua, memicu ketakutan dan trauma mendalam masyarakat di sana. Pengungsi yang tengah mencari tempat berlindung, merasa makin tak aman.
Tokoh agama di Papua, Pastor John Jonga, mengatakan peristiwa ini memperburuk situasi kemanusiaan di Bumi Cendrawasih: kehilangan saudara, kelaparan, hidup susah di pengungsian.
"Saya pikir dampak bagi masyarakat jelas. Ini akan menambah jumlah pengungsi yang saat ini sudah mencapai sekitar 18 ribu orang. Peristiwa seperti ini membuat masyarakat semakin takut, dan memilih mengungsi ke hutan, di mana mereka kesulitan makan, minum, dan mendapat pelayanan kesehatan," ujar Pastor John kepada KBR, Jumat (16/5/2025).
Menurut John, pendekatan kekerasan justru makin menjauhkan tujuan menyejahterakan penduduk Papua. Masyarakat merasa tak lagi punya ikatan emosional dengan negara.
"Sudah berulang kali kami, baik tokoh gereja maupun lembaga masyarakat, menyerukan agar kekerasan dihentikan. Selama pendekatannya tetap militeristik, Papua akan semakin jauh dari kedamaian, pendidikan, dan pelayanan dasar," kata John.
Menurut dia, masalah di Papua tak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan. Jika cara-cara itu terus dilanjutkan, program-program pemerintah juga tak akan efektif berjalan.
Contohnya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program andalan Presiden Prabowo Subianto itu belum menyentuh anak-anak di Koya Tengah, Jayapura. Padahal murid di sana membutuhkan asupan bergizi.
"Saya di Jayapura sudah tiga bulan dengan kemampuan saya minta beras dari teman-teman saya, yang ada yang saya kenal, ya ini sudah tiga bulan memberi makan kepada anak-anak di Koya Tengah."
Kontak Tembak
Konflik bersenjata di Intan Jaya terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019, sejumlah warga sampai mengungsi akibat kontak senjata yang meluas.
Pada 13-14 Mei, konflik bersenjata kembali pecah melibatkan kelompok bersenjata dan TNI di sejumlah kampung di Distrik Sugapa. TNI mengklaim tengah melakukan operasi penindakan terhadap kelompok bersenjata di sana.
Tiga warga sipil meregang nyawa dalam insiden tersebut. Sedangkan TNI mengklaim 18 anggota kelompok bersenjata Papua tewas.
Dansatgas Media Koops Habema, Iwan Dwi Prihartono, dalam keterangannya pada Kamis (15/5/2025), mengatakan operasi berlangsung sejak pukul 04.00 hingga 05.00 WIT dengan menyasar Kampung Titigi, Ndugu Siga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba.
"Seluruh personel TNI dalam kondisi aman dan lengkap. Saat ini pasukan masih disiagakan di sejumlah sektor strategis guna mengantisipasi kemungkinan pergerakan kelompok sisa," kata Iwan.
Baca juga:
- Situasi Mulai Kondusif, Bupati Instruksikan ASN Kembali ke Intan Jaya
- Baku Tembak, Aparat Tewaskan Satu Anggota Kelompok Bersenjata di Intan Jaya
Menurut Iwan, kehadiran TNI bertujuan memberikan pelayanan kesehatan, edukasi, dan pengamanan pembangunan jalan ke Hitadipa. Namun, dia menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) memanipulasi dengan menjadikan warga sebagai tameng dan menyebarkan narasi ancaman.
Iwan mengklaim operasi gabungan dilaksanakan secara profesional dan terukur, serta berhasil mensterilkan wilayah Sugapa Lama dan Kampung Bambu Kuning dari kelompok OPM yang dipimpin oleh Daniel Aibon Kogoya, Undius Kogoya, dan Josua Waker.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Intan Jaya menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari sejak 14 Mei 2025.
Mengapa Operasi Keamanan?
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan tindakan represif hanya ditempuh jika keamanan warga terganggu.
"Intinya kalau yang mengganggu ketertiban masyarakat, ganggu proses pelayanan, atau proses kehidupan sehari-sehari masyarakat, kan memang harus ditindak," kata Hasan kepada wartawan, Sabtu (17/5/2025).
Meski begitu, dia mengklaim pemerintah memprioritaskan pendekatan humanis dalam menangani konflik di Papua.
"Selama ini sepanjang waktu dialog dan pendekatan terus dilakukan, pendekatan pakai kekeluargaan, kemanusiaan, kan selalu dikedepankan oleh pemerintah," ujarnya.
Di tempat lain, Amnesty International Indonesia mengecam operasi keamanan yang menewaskan warga sipil. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan penempatan pasukan militer di Bumi Cendrawasih harus ditinjau ulang.
"Kami juga mengecam adanya korban jiwa dan luka-luka dari warga sipil, serta ratusan orang mengungsi, setelah operasi yang dilakukan oleh aparat keamanan di Intan Jaya pada 13 Mei 2025. Harus ada investigasi yang mendalam atas jatuhnya korban sipil dalam insiden tersebut. Begitu pula harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban, baik Orang Asli Papua, non-Papua, termasuk aparat keamanan sendiri," kata Wirya melalui keterangan tertulis.

Kekerasan Harus Dihentikan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta kasus-kasus kekerasan bersenjata di Papua harus segera dihentikan. Menurut Kepala Biro Papua PGI Ronald Tapilatu, operasi bersenjata akan merugikan masyarakat setempat.
"Gereja-gereja di Indonesia memiliki sikap tegas bahwa penembakan terhadap masyarakat sipil tidak bersenjata sangatlah tidak bisa ditolerir, karenanya harus segera dihentikan. Kekerasan tidak menyelesaikan masalah," ujar Ronald dalam keterangan resmi PGI, Kamis (15/5/2025).
PGI juga meminta pemerintah segera memulihkan situasi keamanan di wilayah pelayanan gereja di Intan Jaya. Gereja dan lembaga kemanusiaan perlu dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Ronald menuturkan, PGI bersedia jika diminta memfasilitasi dialog antara kelompok bersenjata dan aparat di Papua.
Baca juga:
- BRIN: Konflik di Papua, Kekerasan Jangan Dibalas dengan Kekerasan
- TNI Minta Tambahan Anggaran untuk Penanganan Papua
Dorongan pendekatan dialog juga disampaikan Komnas HAM.
"Kami mendorong adanya dialog untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi, baik itu di Yalimo maupun Intan Jaya," kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (16/5/2025).
Uli tengah mengumpulkan informasi atas insiden di Intan Jaya. Dia mengklaim lembaganya proaktif berkoordinasi dengan perwakilan di Papua untuk mengecek langsung kondisi di sana.
"Kami sedang mengumpulkan informasi untuk mengecek apakah memang ada korban sipil. Sejauh ini belum ada pengaduan yang masuk, tapi kami aktif turun ke lapangan, khususnya di distrik Sugapa dan Hitadipa," kata Uli.
Uli mengakui kawasan itu merupakan zona konflik yang sensitif. Dia menekankan, perlindungan terhadap warga sipil menjadi perhatian utama Komnas HAM.
Komnas HAM mencatat ada 85 konflik bersenjata dan kekerasan di Papua sepanjang 2024. Puluhan insiden itu menewaskan 61 orang, 32 di antaranya adalah warga sipil, termasuk dua anak-anak dan satu warga negara asing.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!