NASIONAL

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Dilibatkan dalam Gugus Tugas Gabungan EUDR

Regulasi Produk Bebas Deforestasi EUDR bisa jadi momentum perkuat tata kelola perdagangan komoditas berkelanjutan

AUTHOR / Ninik Yuniati

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Dilibatkan dalam Gugus Tugas Gabungan EUDR
Olvy, Campaigner Kaoem Telapak (paling kiri), Sri Palupi dari ECOSOC Institute, dan Wahyu Perdana dari Pantau Gambut di Jakarta, Selasa (12/10). (KBR/Ninik)

KBR, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil meminta dilibatkan dalam Gugus Tugas Gabungan (Joint Task Force) Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa menyikapi Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).

Koalisi meliputi 44 organisasi yang terdiri dari LSM, serikat petani sawit mandiri, buruh perkebunan sawit, hingga masyarakat adat.

EUDR yang disahkan 26 Mei 2023, mewajibkan 7 komoditas dan produk turunannya yang masuk pasar Uni Eropa (EU) bebas deforestasi. Komoditas-komoditas tersebut di antaranya, sawit, kedelai, kayu, cokelat, kopi, daging sapi, dan karet.

Produk-produk yang berasal dari lahan hasil deforestasi per 1 Januari 2021 dan seterusnya dilarang masuk pasar EU. Sejumlah kalangan seperti masyarakat adat, nelayan, dan petani berpotensi dirugikan oleh kebijakan ini, jika suaranya tidak didengar.

Olvy Octavianita dari Juru Kampanye Kaoem Telapak mengatakan, EUDR di sisi lain bisa mendorong perbaikan tata kelola karena menekankan larangan tentang perusakan hutan. Hal itu bisa terjadi jika pemerintah melibatkan kelompok terdampak.

"Agar tata kelola yang sekarang masih buruk, jadi lebih baik, jadi lebih transparan, akuntabel, ada pelibatan," kata Olvy yang ditemui di sela media briefing tentang Joint Task Force EUDR, di Jakarta, Kamis (12/10/2023).

Baca juga: Sawit Watch: UU Antideforestasi Uni Eropa Baik untuk Kedua Negara

Namun, Olvy memberi catatan ke EU karena tidak mengangkat tentang isu pelanggaran HAM, misalnya di sekitar konflik sawit.

"Karena di Indonesia, deforestasi itu berkelindan, seiring sejalan dengan pelanggaran HAM, contoh (kasus) Seruyan," ujar dia.

Dalam kesempatan yang sama, Sendy de Soysa dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan (Fortasbi) menyebut para petani sudah terdampak kebijakan EUDR. Banyak perusahaan di UE yang menyetop pembelian kredit petani Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

"Karena dia bagian company dari Uni Eropa dan harus tegak lurus sama kebijakan mereka," kata Sendy.

Padahal, penjualan kredit itu yang selama ini digunakan untuk membayar biaya sertifikasi yang mencapai Rp100 juta per tahun.

"Akhirnya petani (bilang), 'Ngapain sertifikasi? orang sertifikasi mahal, aku nggak ada dukungan. Masak ambil dari TBS untuk bayar sertifikasi'," ungkap Sendy.

Sendy berharap suara petani sawit mandiri dilibatkan dalam Gugus Tugas Gabungan EUDR. Apalagi, mereka menyumbang 40 persen dari total produksi kebun sawit.

"Sehingga masalah-masalah yang ada di akar rumput bisa benar-benar disampaikan," pungkas Sendy.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!