NASIONAL

Kendala Mewujudkan Pendidikan Inklusif di Indonesia

"Tahun ini anggaran untuk ke daerah dari Kemendibud terkait pendidikan inklusif itu tidak ada lagi. Di tahun-tahun sebelumnya 2017-2018 itu masih ada."

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

pendidikan inklusif
Fisioterapi melakukan terapi wicara pada anak penyandang disabilitas di Dinsos PPA Kota Madiun, Jawa Timur, Selasa (31/10/2023). (Foto: ANTARA/Siswowidodo)

KBR, Jakarta - Konsep pendidikan inklusif sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1950-an, dengan berdirinya Sekolah Luar Biasa khusus tunanetra atau SLB A di Bandung Jawa Barat. Pada 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan mengenai Pendidikan Inklusif bagi peserta didik disabilitas. 

Tujuan pendidikan inklusi adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Namun tujuan pendidikan inklusi mengalami banyak kendala.

Ketua Tim Program Organisasi Penggerak Ikatan Guru Indonesia (IGI), Nursyamsih mengatakan ada banyak guru di daerah yang kesulitan mewujudkan pembelajaran yang berkualitas dan inklusif. Keluhan tersebut, kata Nursyamsi disampaikan oleh guru yang belum dilatih untuk menghadapi siswa berkebutuhan khusus.

Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah sempat menganggarkan dana pelatihan pendidikan inklusif bagi guru. Namun, saat ini tidak ada lagi alokasi anggaran dari pusat ke daerah untuk melakukan bimbingan teknis.

“Hanya saja tahun ini anggaran untuk ke daerah dari Kemendibud terkait pendidikan inklusif itu tidak ada lagi, jadi di tahun-tahun sebelumnya 2017-2018 itu masih ada, itu langsung ke tim pokja ada juga yang langsung ke sekolah. Tapi dua tahun terakhir, ini tidak ada lagi dan harapan teman-teman itu masih tetap ada. Meskipun kami tetap melakukan hal serupa mengadakan kegiatan-kegiatan dengan anggaran daerah,” kata Nursyamsih dalam diskusi ‘Problematika Guru dalam Pendidikan Berkualitas dan Inklusif’ digelar Forum Diskusi Denpasar, Kamis (23/11/2023).

Nursyamsih menambahkan kendala pendidikan inklusi juga karena masih ada daerah yang belum memiliki Sekolah Luar Biasa atau SLB yang dibiayai pemerintah. Kalaupun ada, SLB itu biasanya dikelola swasta.

“Untuk mengakomodir peserta didik yang punya hambatan saya kira sangat sulit termasuk akses mereka yang sangat jauh karena tidak semua SLB memliki asrama sehingga tepat menurut saya ketika di sekolah-sekolah reguler diberi kesempatan untuk melayani atau mengajar atau mendidik yang berkebutuhan khusus,” ucap Nursyamsih.

Selain itu, menurut Nursyamsih, jumlah guru pendidikan luar biasa juga masih minim. Belum lagi anggaran untuk menggaji guru pendidikan khusus juga minim. Tidak jarang, guru terpaksa dibiayai oleh orang tua murid berkebutuhan khusus. Ironisnya, orang tua murid disabilitas umumnya dari kalangan menengah ke bawah.

Nursyamsih berharap ada terobosan agar honor guru pendidikan khusus bisa diambilkan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu, Nursyamsih juga berharap jumlah guru untuk murid berkebutuhan khusus ditingkatkan dengan melibatkan perguruan tinggi.

Baca juga:

Di lain pihak, Kementerian Pendidikan Kebudayaan mengakui anggaran untuk meningkatkan kompetensi guru tidak besar. Termasuk guru untuk murid berkebutuhan khusus. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan di Kemendikbud, Nunuk Suryani mengatakan memang anggaran pendidikan total untuk tahun depan mencapai Rp660 triliun. Namun, Kemendikbud hanya mengelola 15 persen dari jumlah itu.

“Kalau kita melihat persentase anggaran untuk peningkatan kompetensi guru adalah 3,5 persen dari anggarannya Kemendikbud ya bukan dari anggaran keseluruhan kementerian. Kalau bicara 3,5 persen sekitar 3,5 triliun itu untuk meningkatka kompetensi. Kami tahu bahwa anggaran yang dikelola oleh DIrjen GTK dalam hal meningkatkan kompetensi guru tidak besar tapi kami berusaha memanfaatkan anggaran yang kecil itu dengan upaya sebisa mungkin yang kami lakukan untuk menjangkau guru lebih luas lagi,” ucap Nunuk.

Sementara itu, Dewan Pakar Ikatan Guru Indonesia IGI, Rusnani menjelaskan dengan minimnya SLB maka sekolah reguler mesti menerima murid penyandang disabilitas. Namun Rusnani menekankan agar sekolah reguler dibersihkan dari praktik perundungan.

“Mengapa tidak disekolahkan di SLB saja? Katanya, kalau di sekolah umum nanti di-bully. Mohon maaf bukan masalahnya anak-anak berkebutuhan khusus yang kita hindarkan di sekolah umum, tetapi bull-nya yang kita hapuskan seperti yang diungkapkan tadi bila semua anak (disabilitas) diarahkan ke SLB tidak sanggup SLB kita dan yang kedua, tidak semua daerah memiliki SLB. Bila sekolah tidak menampung anak-anak berkebutuhan khusus bisa jadi anak-anak ini terpasung, terkurung di rumah,” ujar Rusnanie.

Rusnani juga mendorong ada pelatihan bagi guru sekolah reguler agar memahami terkait pendidikan yang inklusif. Menurut dia guru harus bisa membedakan cara mengajar siswa nondisabilitas dengan yang disabilitas.

“Memang betul sekali yang diperlukan di sekolah itu adalah guru pendamping khusus (GPK) tetapi kemampuan di kementerian kita kemampuan dari daerah untuk memasok guru pendamping khusus itu tidak sama, hanya sedikit sekolah yang bisa mendapat,” kata Rusnani.

Berdasarkan Data Pokok Pendidikan pada Mei 2023, jumlah guru pendamping khusus di Indonesia hanya sekitar 4.600-an orang ditambah ada 10 ribuan guru reguler yang dilatih mendampingi penyandang disabilitas.

Di sisi lain, Indonesia memiliki 40 ribu sekolah inklusi di tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan total murid penyandang disabilitas mencapai 135 ribu orang. Sedangkan jumlah Sekolah Luar Biasa atau SLB total ada 2.300-an sekolah baik negeri maupun swasta yang melayani 152 ribuan murid.

Rusnani mengatakan dalam upaya mewujudkan pendidikan inklusi, yang harus diutamakan lebih dahulu adalah pola pikir guru, terutama yang mengajar di sekolah umum. Menurutnya, pendidikan inklusif tidak hanya bicara pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus namun juga anak yang terpinggirkan, yang berada di daerah perbatasan, korban perang, pengungsi, dan korban narkoba.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!