NASIONAL

Kelebihan Setrum tapi Permintaan Listrik Rendah, PLN Merugi

"Tiba-tiba masuk EBT (Energi Baru Terbarukan-red). Kalau EBT itu nanti masuk, maka tahun 2030 PLN itu ada 41 Gigawatt oversupply. Bisa dibayangkan..."

AUTHOR / Muthia Kusuma

PLN
Petugas PLN dalam suatu kegiatan di Nusa Dua, Bali, Selasa (1/11/2022). (Foto: ANTARA/Nyoman Hendra)

KBR, Jakarta - Pemerintah meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) sejak 2015. 

Program ini merupakan salah satu sasaran Nawacita Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan kedaulatan energi. 

Program ini sebagian besar telah memasuki masa konstruksi dan segera beroperasi.

Pembangkit baru terus dibangun pemerintah sesuai Rencana Usaha Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang bakal menambah pembangkit listrik hingga lebih dari 40 ribu megawatt. 

Dokumen RUPTL itu mengatur sumber energi terbarukan mendapat porsi 51-an persen dibanding energi fosil.

Namun, meski pasokan listrik bertambah, permintaan listrik nasional masih rendah. 

Salah satunya dipengaruhi kontraksi perekonomian pada 2020 akibat pandemi COVID-19. Pada tahun itu, penjualan listrik PLN terkontraksi 0,79 persen.

DPR juga memperkirakan kelebihan suplai listrik bakal naik lagi pada tahun depan. Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menegaskan kondisi itu bakal menambah beban negara.

"Tiba-tiba masuk EBT (Energi Baru Terbarukan-red). Kalau EBT itu nanti masuk, maka tahun 2030 PLN itu ada 41 Gigawatt oversupply. Bisa dibayangkan kalau 1 giga itu karena memang harus bayar 1 Giga 3T, wajib bayar 3 triliun rupiah," kata Said dalam rapat pembahasan RAPBN 2023 di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (12/9/2022).

Baca juga:


Program serap listrik

Merespons masalah ini, Banggar DPR dan pemerintah sepakat mendorong kelompok rumah tangga untuk menaikkan langganan daya listrik mereka. Artinya pelanggan 450 Volt Ampere bakal didorong untuk meningkatkan daya listriknya menjadi 900 Volt Ampere. 

Usulan itu kemudian mendapat penolakan dari masyarakat karena dinilai membebani kelebihan suplai listrik kepada rumah tangga ekonomi rendah.

Program itu bukan satu-satunya kebijakan pemerintah dalam upaya menyerap kelebihan pasokan listrik, yang pupus sebelum direalisasikan. 

Program konversi kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram ke kompor listrik juga dihapus PLN.

Pengamat Ekonomi menilai program konversi penggunaan gas LPG 3 KG ke kompor listrik bukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah dasar penyerapan kelebihan energi listrik.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan, program konversi ini justru menambah beban masyarakat ekonomi rendah. Program itu juga dinilai tidak menyelesaikan masalah dasar kelebihan pasok listrik.

"Kan surplus ada karena faktor demand. Faktor demand itu muncul karena aktivitas masyarakat begitu. Kalau aktivitas masyarakatnya tidak tinggi ya susah, dibantu berkembang. Nah, muncul demand dari masyarakat ya pertama ya jaringan infrastruktur di daerah itu diperbaiki yang selama ini kurang begitu ya terutama daerah-daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi maka (listrik-red) bisa dialirkan ke situ," ucap Tauhid kepada KBR, Senin, (26/9/2022).

Baca juga:

Tauhid Ahmad merekomendasikan surplus listrik PLN itu dimaksimalkan untuk kebutuhan masyarakat di luar pulau Jawa. 

Selain itu, ia juga meminta pemerintah mengkaji ulang pembangunan proyek listrik 35 ribu megawatt. Sebab, tingkat permintaan yang masih rendah serta biaya pemeliharaan proyek tersebut.

Di sisi lain, Institut Reformasi Layanan Esensial (IESR) menilai kebijakan menggenjot konsumsi listrik yang menyasar rumah tangga tidak signifikan menyerap kelebihan pasokan listrik. 

Direktur Utama IESR Fabby Tumiwa mengatakan geliat peningkatan penggunaan listrik justru terlihat pada konsumsi perusahaan industri dan manufaktur di luar Pulau Jawa.

“Iya kalau dibilang yang excess capacity itu dengan kemarin pak menteri bilang di DPR kan, menjadikan cadangannya jadi 32% ya. Idealnya memang di bawah itu, saya menghitung tidak semuanya itu dianggap excess capacity karena PLN kan memang harus menyediakan daya cadangan. Tapi paling tidak ada 5 sampai 6 Gigawatt (GW) buat excessnya sampai dengan akhir tahun ini. Kalau benar 5 sampai 6 Gigawatt excessnya, maka saya perkirakan kalau setiap gigawatt itu kira-kira Rp2 triliun ya beban dari take or pay-nya. Maka kalau 5 sampai 6 (GW) itu antara 10 sampai Rp12 triliun ruginya kalau benar hitungan saya satu GW itu PLN harus bayar Rp2 triliun,” ucap Fabby kepada KBR, Kamis, (15/12/2022).

Direktur Utama IESR Fabby Tumiwa mengusulkan PLN merundingkan kembali besaran biaya take or pay dengan produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk mengurangi beban finansial.

Ia juga mendorong pemerintah menghitung ulang kebutuhan permintaan listrik dengan mempertimbangkan teknologi Energi Bersih Terbarukan (EBT) lebih murah ketimbang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Karenanya, ia mendorong agar proyek PLTU yang masih tahap perencanaan dibatalkan tanpa ada konsekuensi hukum.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!