NASIONAL

KADIN Sebut Pelayanan Publik Bisa Molor Jika ASN WFH

KADIN DKI Jakarta meminta WFH tak diperluas di sektor swasta.

AUTHOR / Astri Yuanasari

KADIN Sebut Pelayanan Publik Bisa Molor Jika ASN WFH
Ilustrasi: Gedung bertingkat tertutup kabut polusi di Jakarta, Kamis (27/07/23). (Antara/Galih Pradipta)

KBR, Jakarta- Kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai bisa berdampak pada sektor lain, semisal pelayanan publik yang berpotensi molor.

Hal itu disampaikan Ketua Umum KADIN DKI Jakarta, Diana Dewi, merespons kebijakan WFH bagi ASN di DKI Jakarta mulai Senin, 21 Agustus 2023 hingga Jumat, 21 Oktober 2023.

"Kita tidak mau pelayanan pelayanan publik terganggu dengan adanya ASN yang WFH. Nanti beralasan bahwa apabila kita ingin mengurus izin terlambat, sedangkan kita juga ada deadline dari kebijakan-kebijakan yang ada juga akhirnya mempengaruhi produktivitas kita, kalau misalnya izin-izin yang kita ajukan ternyata lambat untuk selesainya," kata Diana saat dihubungi KBR, Selasa, (22/8/2023).

Kebijakan WFH untuk ASN dilakukan untuk mengatasi persoalan polusi udara di Jakarta. Keputusan itu mengacu Surat Edaran Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 34 Tahun 2023.

Tak Diperluas

Diana menyarankan, pemerintah DKI Jakarta perlu menerapkan kebijakan lain yang lebih komprehensif untuk mengurangi polusi.

"Nah, ini juga yang kita merasa berat dengan adanya kebijakan ASN WFH," imbuhnya.

Diana juga meminta pemerintah tidak memperluas kebijakan work from home (WFH) ke sektor swasta.

Sebab kata dia, kondisi perusahaan swasta perlu produktivitas yang tinggi, dan akan sangat terpengaruh jika diberlakukan WFH.

"Kalau di swasta sendiri kondisinya kan beda ya, kami ini harus punya tanggung jawab yang banyak sekali dan itu kita mengandalkan dari kita bukannya dari pemerintah. Saya enggak tanggung jawab ini harus dikerjakan dan untuk menghasilkan satu produktivitas yang tinggi. Jadi kalau untuk hal ini kita enggak bisa kalau ikut WFH," imbuhnya.

Polusi Udara

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut polusi di Jakarta disebabkan aktivitas ekonomi yang menggunakan bahan bakar baik dari masyarakat maupun industri.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro mengatakan, temuan itu berdasarkan hasil kajian inventarisasi industri pencemar udara di Jakarta sejak tahun 2020.

"Jadi kalau dari segi bahan bakar yang digunakan di DKI Jakarta itu, bahan bakar itu adalah sumber emisi, itu adalah dari batu bara 0,42 persen, dari minyak itu 49 persen, dan dari gas itu 51 persen. Kalau dilihat dari sektor-sektornya, maka transportasi itu 44 persen, industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen dan komersial 1 persen," kata Sigit dalam keterangan pers, Jumat, (11/8/2023).

Selain itu kata Sigit, peningkatan pencemaran atau polusi udara secara siklus memang biasa terjadi pada musim kemarau yakni Juni hingga Agustus.

Sigit menjelaskan, sejak 2019 hingga 2023, KLHK mencatat konsentrasi partikulat (PM2.5) selalu menunjukkan angka tertinggi saat musim kemarau.

"Jadi kalau dari segi siklus memang Bulan Juni, Juli, Agustus, itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta, karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering," jelasnya.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!