NASIONAL
Jatam Sebut Pengesahan Revisi UU Minerba Ancaman Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat
Melky menilai bahwa proses revisi yang dilakukan terburu-buru dan tanpa transparansi tersebut menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi berfungsi sebagai representasi rakyat.

KBR, Jakarta– Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menegaskan penolakannya terhadap pengesahan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar menegaskan, peraturan itu terlalu menguntungkan kepentingan tertentu. Menurutnya, pengesahan ini justru menunjukkan kemunduran dalam tata kelola sektor pertambangan di Indonesia.
Melky menilai bahwa proses revisi yang dilakukan terburu-buru dan tanpa transparansi tersebut menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi berfungsi sebagai representasi rakyat. Sebaliknya, DPR lebih terlihat sebagai alat kepentingan oligarki tambang.
"Jadi proses yang serba cepat yang mereka lakukan ini mau menunjukkan bahwa mereka tidak lebih menjadi kaki tangan para pebisnis tambang saja. Jadi dalam kontes itu legislatif kita justru menjadi panggung sirkus para pebisnis aja sebetulnya. Jadi pilihan untuk kemudian sejumlah pihak ini diberikan konsisten juga bermasalah. Karena dari konteks perspektif aja pemerintah masih percaya bahwa tambang bisa berdampak pada kesejahteraan di masa depan, padahal faktanya ya sama sekali tidak," ucap Melky kepada KBR, Rabu, (19/2/2025).
Selain itu, Melky juga menyoroti ketentuan dalam UU Minerba yang memberikan ruang bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta koperasi untuk mengelola tambang. Namun, menurutnya kebijakan ini lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.
"Pertambangan justru memicu kemiskinan secara sistemik, karena ia akan melenyapkan basis ruang produksi bagi sebagian besar rakyat Indonesia," sambungnya.
Baca juga:
Melky juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak buruk pengesahan UU Minerba. Hal ini, menurutnya, hanya akan meningkatkan kerusakan dan memperburuk dampaknya. Ia juga menekankan pemerintah dan DPR tidak menunjukkan itikad baik dalam hal pengelolaan industri pertambangan, terutama terkait dengan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat.
"Tidak ada klausul yang memberikan jaminan hukum terkait pencegahan kerusakan lingkungan atau penyelamatan ruang produksi warga," jelasnya.
Tak hanya itu, Melky juga mengkritik potensi konflik yang akan muncul akibat UU Minerba, termasuk ruang kriminalisasi yang tercipta melalui pasal 162 dalam undang-undang tersebut.
Baca juga:
Ia juga menyoroti nasib masyarakat adat yang tak mendapat perlindungan yang memadai. Menurutnya, hampir seluruh pasal dalam revisi ini justru memberikan kemudahan bagi pelaku bisnis tambang. Pasal mengenai dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), misalnya, dianggapnya hanya sebagai "remah-remah" yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
"Jika kita lihat pasal-pasal utamanya, justru membuka ruang untuk perluasan operasi tambang tanpa memperhatikan hak rakyat," ujar Melky.
Terkait dengan langkah yang akan diambil Jatam untuk menyikapi kebijakan ini, termasuk kemungkinan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Melky mengungkapkan ketidakpastiannya. Ia mencontohkan kasus-kasus sebelumnya, seperti gugatan terhadap RUU Cipta Kerja dan UU Minerba yang direvisi, di mana hakim justru berpihak pada pemerintah dan pelaku bisnis.
Oleh karena itu, Melky merasa pesimistis terhadap kemungkinan menang dalam gugatan, apalagi dengan adanya wacana bahwa anggota DPR dapat "mengunci" para hakim.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!