NASIONAL

Jalan Terjal Penanganan KBGO Berperspektif Korban

"Dia kirim foto-foto perkembangan payudara aku yang waktu itu sakit ke handphone-nya dia, ke BBM-nya dia"

AUTHOR / Christabella Abigail

Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO)
Ilustrasi: Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO). (Freepic, Christabella Abigail)

KBR, Jakarta-   Satu dekade berlalu, tapi Dara Ayu Nugroho tak pernah lepas dari trauma yang masih mengikutinya sampai hari ini. Saat itu, tak banyak upaya yang bisa Dara lakukan, saat mendapati dirinya menjadi korban Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) di usia yang masih belia.

Semua bermula ketika Dara duduk di bangku SMP. Saat itu, ia tengah menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren ternama di Jakarta. Lingkungan pesantren yang ketat peraturan, membuat Dara hanya bisa leluasa berkomunikasi dengan teman-temannya lewat media sosial. Aplikasi BBM (Blackberry Messanger) yang saat itu sedang naik daun, jadi andalan Dara untuk menambah teman. Khususnya dari kalangan santri laki-laki yang asramanya terletak jauh dari asrama putri.

Tak hanya menambah teman, keberadaan BBM saat itu juga memudahkan Dara untuk berkomunikasi dengan sang ibu yang sering berangkat ke luar kota karena urusan pekerjaan. Dara yang saat itu mengidap radang payudara, rutin memberi kabar kepada sang ibu tentang kondisinya melalui aplikasi tersebut.

“Aku memang suka kirim PAP (post a picture), ‘Bun, ini perkembangannya udah kayak gini’ lewat BBM. Dan itu aku foto ya pakai HP aku. Foto itu nggak aku hapus karena aku ngerasa, handphone kan privacy ya, harusnya gak dibuka sama siapapun. Even lo minjem, tapi galeri gue itu kan privacy,” kata Dara kepada KBR, Senin (13/11/2023).

Namun, ternyata perkiraan Dara salah. Foto pribadinya itu malah tersebar di tangan seorang laki-laki, yang saat itu meminjam ponselnya.

red


Kejadian bermula ketika beberapa kakak kelas Dara datang menjenguknya. Salah seorang laki-laki yang ada di sana meminjam ponsel Dara dengan dalih menghubungi orang tuanya. Dara yang sama sekali tak menaruh curiga, lantas meminjamkannya begitu saja.

Tanpa sepengetahuannya, laki-laki itu membuka galeri ponsel Dara dan mengakses foto-foto pribadi   tanpa izin. Tak sampai di situ, ia juga menyebarkannya ke kalangan teman-teman sekolah melalui grup BBM.

“Entah gimana caranya dia buka galeri aku, kemudian dia kirim foto-foto perkembangan payudara aku yang waktu itu sakit ke handphone-nya dia, ke BBM-nya dia. Habis itu dia hapus tuh. Dan foto itu sudah ada di handphone dia, dia sebar ke pacarnya. Pacarnya sebar lagi di grup angkatannya mereka. Dari grup angkatan mereka disebar lagi sampai satu pesantren itu tahu.”

Dunia online yang semula jadi ruang menyenangkan bagi Dara, seketika menghadirkan mimpi buruk yang mengubah hidupnya dalam sekejap. Itulah awal mula Dara harus menelan pahit sebagai korban Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO).

Baca juga:


Setelahnya, tak banyak yang bisa Dara lakukan. Saat itu, Dara hanya seorang remaja yang belum punya banyak pengetahuan soal KBGO. Yang ada di pikirannya saat itu adalah mencari cara agar sang pelaku bisa mendapatkan hukuman yang setimpal.

“Waktu itu, aku gak ngerti ya secara hukum, karena waktu itu kan belum semelek itu tentang teknologi, UU ITE, dan lain-lain. Jadi aku pada saat itu hanya menuntut si laki-laki untuk dikeluarin juga dari sekolah aku, dari pondok itu. Karena aku di DO (drop out), ya si cowok ini harus dapat hukuman yang sama,” kata Dara.

Sesuai harapan Dara, pelaku akhirnya dikeluarkan dari pondok pesantren. Namun, hal tersebut tak mengubah banyak hal. Sebagai korban, Dara masih harus menanggung trauma yang mengakar kuat dalam dirinya, bahkan hingga hari ini.

“Anaknya (pelaku) dipindahin ke cabang atau dikeluarin. Ya gitu doang, tapi kan yang terjadi traumanya ke aku seumur hidup ya. Jadi itu gak termaafkan,” ujar Dara.

Dara hanyalah satu dari sekian banyak korban yang mengalami hal serupa. Sampai hari ini, ada begitu banyak korban di luar sana yang masih berjuang untuk lepas dari bayang-bayang KBGO.

Fenomena Gunung Es Aduan Kasus KBGO


Dalam Panduan KBGO yang diterbitkan SAFEnet tahun 2017, tertulis bahwa Komnas Perempuan telah menggarisbawahi kekerasan dan kejahatan siber sebagai pola kasus yang kian rumit.

Jumlah kasusnya pun terus meningkat setiap tahunnya. Data terbaru dari SAFEnet yang dimuat dalam Laporan Pemantauan Hak-hak Digital Triwulan III 2023 menunjukkan, ada 275 aduan kasus KBGO yang diterima SAFEnet selama Juli sampai September 2023. Angka ini meningkat sebesar 46,18 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Namun, banyaknya aduan kasus tersebut sebenarnya masih belum sebanding dengan kenyataan yang benar-benar terjadi. Seperti yang sudah banyak mencuat, kasus KBGO lekat dengan penggambaran fenomena gunung es.

“Kasus KBGO dan kasus kekerasan seksual itu seperti gunung es, kelihatannya ujungnya doang, padahal di bawahnya banyak banget,” ujar Dara.

Kenyataannya, masih banyak korban KBGO yang mengurungkan niatnya untuk melapor ke ranah hukum. Hal ini juga dialami Dara saat pertama kali mengalami KBGO, 10 tahun silam.

“Prosesnya tuh panjang. Aku lebih milih melanjutkan sekolah daripada berurusan dengan dunia hukum,” kata Dara.

Hal ini juga dikonfirmasi oleh Tuani Sondang, pendamping korban di LBH APIK Jakarta.

“Memang kebanyakan korban masih memilih untuk proses nonlitigasi dibandingkan litigasi. Kendala-kendala di lapangan yang membuat korban berpikir dua-tiga kali untuk membuat laporan polisi,” kata Tuani kepada KBR via telepon, Rabu (15/11/2023).

Menurut Tuani, memang ada beberapa alasan yang membuat korban enggan membawa kasusnya ke ranah hukum. Salah satu contohnya adalah agar kasus yang mereka alami tidak tersebar luas ke pihak keluarga ataupun kerabat lainnya.

red

Di samping itu, ketidakjelasan penanganan kasus KBGO di ranah hukum menjadi kendala besar yang membuat korban urung lapor.

Sebagai salah seorang penyintas, Dara menyebut bahwa kesulitan dalam mendapat bantuan hukum masih terus dialami korban KBGO hingga hari ini.

“Iya, apalagi KBGO. Karena kalau kita lapor, kita malah dilaporin balik lah, ngelanggar pasal ini lah. Aduh, jadi masih blunder banget,” ujar Dara.

Lika-Liku UU TPKS Tangani KBGO


Kehadiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sebenarnya menjadi ‘angin segar’ bagi penanganan hukum kasus kekerasan seksual, termasuk KBGO.

Dilansir dari situs web resmi DPR RI, Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut, UU TPKS tak hanya memberi jaminan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual, tetapi juga memiliki fungsi dalam hal pencegahan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban.

Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet Wida Arioka juga mengatakan, UU TPKS merupakan suatu langkah yang perlu diapresiasi. Sebab, UU TPKS sebenarnya sudah memiliki substansi yang berperspektif korban, lebih baik jika dibandingkan peraturan yang sebelumnya banyak digunakan untuk penanganan kasus kekerasan seksual.

Sebut saja Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 ayat (1), yang menurut Wida sangat berpotensi membuat korban terkena reviktimisasi.

“Itu kan lebih ke pelanggaran kesusilaan gitu kan narasinya. Kalau kita ngomongin pelanggaran kesusilaan, lalu yang dilihat cuma konten intimnya yang tersebar, itu sangat mungkin korban kemudian direviktimisasi, dianggap sebagai orang yang turut serta dalam memproduksi konten intim tersebut,” kata Wida kepada KBR, Senin (27/11/2023).

red


Pendapat yang sama juga disampaikan Tuani Sondang. Tuani menilai, implementasi UU TPKS memang akan lebih mengakomodasi hak-hak korban KBGO daripada UU ITE.

“Ketika kita membandingkan antara UU ITE dan KBGO, ada untungnya juga, karena misalnya di KBGO itu sidangnya tertutup. Kalau menggunakan UU ITE kan sidangnya terbuka untuk umum,” jelas Tuani.

“Kemudian, di UU TPKS itu berbicara mulai dari pencegahan, penanganan, pemulihan. Kemudian ada juga berbicara restitusi. Jadi hal itu memang yang membuat korban bisa mendapatkan hak-haknya ketika menggunakan UU TPKS,” lanjutnya.

red

Namun sayangnya, implementasi UU TPKS belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam substansi. Pemenuhan hak korban yang dicita-citakan bersama, nyatanya belum bisa benar-benar terwujud dalam penanganan kasus di lapangan.

Tuani menjelaskan, salah satu hambatan dalam implementasi berkaitan dengan keterbatasan bentuk KBGO yang diatur dalam UU TPKS.

Dari sembilan jenis kasus KBGO yang pernah ditangani LBH APIK Jakarta, hanya tiga jenis yang diatur dalam UU TPKS Pasal 14 ayat (1). Ketiga jenis KBGO tersebut adalah perekaman atau pengambilan gambar bermuatan seksual tanpa persetujuan orang yang menjadi objek, transmisi informasi atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima, dan penguntitan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik untuk tujuan seksual.

Artinya, masih ada enam jenis KBGO lainnya yang penanganannya belum terakomodasi oleh UU TPKS. Keenam jenis itu adalah pembuatan materi atau informasi elektronik bernuansa seksual tanpa dikehendaki, modifikasi materi atau informasi bernuansa seksual, penjualan materi atau informasi elektronik bernuansa seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan perundungan seksual berbasis elektronik.

“Kita mengidentifikasi ada sembilan bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online. Namun, di UU TPKS itu hanya mengatur tiga bentuk KBGO sehingga ini sangat menyulitkan korban juga ya,” kata Tuani.

Tuani juga menyebut, hambatan lainnya datang dari kurangnya sosialisasi UU TPKS di kalangan aparat penegak hukum. Hal ini terbukti dari respons aparat penegak hukum di lapangan ketika ada korban yang melaporkan kasus KBGO dengan menggunakan dasar UU TPKS.

“Contohnya, di tahun 2023 ini, kami mendampingi kasus menggunakan KSBE (Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik). Ketika korban diperiksa di Berita Acara Interogasi (BAI) sama penyidiknya, polisinya jujur ke kami, baru pertama kali ini dia mendengar UU TPKS. Bahkan penyidiknya bertanya, ‘ini undang-undang apa ya?’ Jadi hal-hal seperti itu masih banyak kami temui di lapangan,” ujar Tuani.

Hambatan serupa juga disuarakan oleh jaringan masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia.

“Bicara soal UU TPKS, diharapkan semua punya akses yang sama. Karena melihat juga TPKS belum tersosialisasikan di tingkat teman-teman penyidik. Sejauh yang kita lihat, mereka masih menggunakan UU Pidana. Artinya, keberpihakan terhadap pelaku masih cukup tinggi,” kata Irene Natalia Lambung,  perwakilan Jaringan Perempuan Borneo dalam Konferensi Pers 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung via Zoom Meeting, Senin (27/11/2023).

Irene menyebut, hal itu menjadi alasan bagi korban di daerah untuk memilih menyelesaikan kasusnya secara adat, tidak dengan bantuan hukum.

Sementara itu, Luh Putu Anggreni mewakili LBH APIK Bali melaporkan, saat ini polisi setempat masih mengharapkan kesetaraan persepsi soal UU TPKS di kalangan jaksa.

“Kurangnya persepsi yang sama tentang UU TPKS membuat polisi berharap, jaksa diberi pelatihan yang sama, guna mencari persepsi yang sama soal UU TPKS ini.”

red


Menanti Aturan Turunan UU TPKS

Hambatan implementasi UU TPKS dalam penanganan KBGO sebenarnya juga tak lepas dari ketiadaan aturan turunan, yang memang masih belum rampung hingga saat ini.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyatakan, proses penyusunan dan pembentukan peraturan turunan UU TPKS saat ini sedang memasuki tahap akhir, sebelum nantinya ditetapkan dan diundangkan.

“Proses penyusunan dan pembentukan peraturan turunan UU TPKS saat ini berjalan sesuai dengan target dan telah memasuki tahapan proses akhir menuju penetapan dan pengundangan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif, dan efisien,” kata Bintang, dikutip dari siaran pers yang dirilis di situs web resmi KemenPPPA, Rabu (29/11/2023).

Peraturan turunan yang dimaksud terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. Lima diantaranya diprakarsai oleh KemenPPPA, sedangkan dua lainnya diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

MenPPPA Bintang Puspayoga menyebut, aturan turunan UU TPKS ini akan rampung dalam waktu dua tahun setelah diundangkan, yaitu pada 9 Mei 2024 mendatang.

“Saat ini, kami masih terus berkoordinasi dan komunikasi untuk merampungkan dan mempercepat penyelesaian peraturan turunan UU TPKS yang ditargetkan akan selesai dalam waktu dua tahun setelah diundangkan,” kata Bintang.

Menurut Aktivis dan Penggagas PurpleCode, Dhyta Caturani,  aturan turunan UU TPKS memegang peranan penting untuk memperjelas mekanisme penanganan kasus KBGO di lapangan.

“Itu (UU TPKS) kan masih perlu diturunkan dengan lebih jelas, bagaimana cara-cara atau mekanisme penanganannya. Kalau selama ini yang ada, tentu saja tidak berperspektif korban,” kata Dhyta kepada KBR saat dihubungi via telepon, Kamis (30/11/2023).

Dhyta pun menceritakan pengalamannya saat mendampingi korban. Bukan sekali dua kali, korban justru disalahkan ketika melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa implementasi UU TPKS di lapangan belum sepenuhnya berperspektif korban.

“Yang terjadi, korban malah disalahkan. ‘Ngapain bikin foto? Ngapain mau bikin video?’ seperti itu,” ujar Dhyta.

red

Hal serupa juga diutarakan Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Wida Arioka. Ia menyebut, ketiadaan aturan turunan UU TPKS membuat teknis penghapusan konten intim nonkonsensual dan perlindungan privasi korban masih abu-abu.

“Kita tahu bahwa peraturan turunannya masih belum keluar ya. Jadi kita masih belum tahu sebenarnya bagaimana kemudian teknis untuk penghapusan konten tersebut, dan perlindungan privasinya,” jelas Wida.

“Tapi kami sangat berharap sih, dan masih terus mengawal supaya Undang-undang TPKS beserta turunannya bisa tetap berperspektif pada korban,” lanjutnya.

Harapan besar terhadap aturan turunan UU TPKS juga datang dari segenap masyarakat sipil.

“Harapannya, aturan turunan UU TPKS ini bisa menjadikan korban betul-betul terlindungi, mendapat keadilan, APH (aparat penegak hukum) memiliki pegangan dalam pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual,” kata Rosmiyati Sain selaku perwakilan LBH APIK Sulawesi Selatan dalam Konferensi Pers 16 HAKTP.

Peran Penting Pemerintah dan Masyarakat


Mewujudkan implementasi penanganan KBGO yang sepenuhnya berpihak pada korban, tak hanya bergantung pada aturan turunan UU TPKS.

Menurut Dhyta Caturani, memiliki political will jadi hal mendasar yang sangat perlu diperhatikan oleh seluruh jajaran pemerintah, juga aparat penegak hukum.

“Sebenarnya yang paling dibutuhkan adalah political will. Tanpa ada aturan atau mekanisme penanganan yang formal, kalau memang aparat penegak hukum kita itu punya perspektif berpihak pada korban, perspektif untuk melindungi orang-orang yang memiliki kerentanan, maka mereka akan tetap bisa melakukan itu,” kata Dhyta.

Dhyta menyebut, sudah sepatutnya political will menjadi hal yang utama di kalangan penegak hukum.

“Jadi political will yang paling utama, untuk bagaimana caranya pemerintah bisa melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki perspektif penegak hukum, baik individu-individunya maupun kelembagaannya. Misalnya kelembagaan polisi, kejaksaan, atau bahkan pengadilan,” tegasnya.

Tak hanya pemerintah, seluruh lapisan masyarakat pun tentu punya peran besar dalam memerangi KBGO. Menurut Dhyta, hal yang paling penting saat ini adalah mengubah pandangan masyarakat luas yang umumnya masih sarat patriarki.

“Pandangan masyarakat kita yang masih sangat menginternalisasi patriarki, itu masih juga menyalahkan korban. Kalau ada kekerasan seksual, atau kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, itu kan masih sering menyalahkan korban. Nah ini yang perlu dibongkar,” ujar Dhyta.

Apabila hal ini sudah berhasil terpenuhi, upaya berikutnya adalah bagaimana masyarakat bisa bersama-sama mengawal pemerintah dalam penanganan kasus KBGO.

“Dan untuk masyarakat yang sudah punya point of view yang baik terkait kekerasan berbasis gender, mungkin bisa juga bersama-sama ikut terlibat untuk mendesak pemerintah, untuk lebih berperspektif korban dalam menerima dan menangani kasus Kekerasan Berbasis Gender Online.” jelas dia.

Baca juga:


Lebih jauh, Dhyta menuturkan bahwa aksi ‘mendesak’ dalam hal ini bisa dilakukan dengan bantuan internet atau media sosial. Menurutnya, media sosial yang penggunaannya kini begitu masif, sangat mampu menjadi ruang bagi advokasi kebijakan.

“Kita lihat saja beberapa tahun terakhir. Kalau ada kasus, termasuk kasus kekerasan berbasis gender, kasus kekerasan seksual, kalau itu viral di media sosial, itu ditangani secara serius,” ujar Dhyta.

“Nah itu mungkin, menggunakan media sosial, menggunakan internet untuk mendorong pemerintah melakukan perubahan yang signifikan, yang serius terkait perlindungan terhadap korban KBGO,” pungkasnya.

Urgensi Pemberitaan KBGO yang Berperspektif Korban


Peranan yang juga tak kalah penting ada pada kekuatan media massa dalam memberitakan KBGO.

Redaktur Pelaksana Konde.co, Nurul Nur Azizah mengatakan, peran penting itu tercermin lewat fungsi media massa sebagai penghubung antara publik dan pembuat kebijakan.

“Ini pentingnya media ya, mereka menjadi penghubung antara pembuat kebijakan ke publik ataupun sebaliknya. Jadi soal KBGO misalnya, aturan-aturan yang melindungi korban dari KBGO itu gimana sih? Kemudian publik misalnya, responsnya seperti apa soal isu ini,” kata Nurul kepada KBR, Rabu (22/11/2023). 

Namun, menjadi suatu ironi ketika media yang seharusnya punya kekuatan untuk menyuarakan kepentingan korban, justru menghadirkan ruang reviktimisasi bagi mereka.

“Media yang harusnya jadi ruang aman bagi korban, malah masih menjadikan korban dua kali jadi korban. Jadi reviktimisasi korban karena pemberitaan,” jelas Nurul.

Sebagai contoh, sebut saja pemberitaan dengan clickbait sensasional seperti potret cantik artis yang tersandung skandal penyebaran konten intim. Bukan hanya melanggar kode etik, pemberitaan demikian juga sudah jelas mengeksploitasi dan sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan media kepada korban.

Padahal, alih-alih mengejar keuntungan lewat berita sensasional, perusahaan media seharusnya bertanggung jawab penuh untuk memiliki perspektif yang benar soal isu kekerasan berbasis gender.

“Perusahaan media itu seharusnya punya tanggung jawab untuk memastikan para jurnalisnya punya perspektif soal isu gender, termasuk kekerasan berbasis gender. Media itu nggak bisa lepas tangan aja,” kata Nurul.

red


Lebih jauh, Nurul menjabarkan upaya-upaya nyata yang bisa dilakukan media untuk mewujudkan pemberitaan isu kekerasan berbasis gender yang sepenuhnya berpihak pada korban.

“Ini bisa dilakukan dengan training-training berkala, mulai dari baru masuk media, sampai bertingkat ketika menjadi jurnalis,” ujar Nurul.

Nurul menambahkan, jurnalis juga bisa bergabung ke organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Selain meningkatkan kapasitas diri, para jurnalis juga akan mempunyai ekosistem yang sadar dan sensitif soal gender, serta mampu mengimplementasikan tanggung jawab jurnalisme secara benar.

    Editor: Rony Sitanggang

    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!