NUSANTARA

Ratusan Anak di DIY Mengalami Kekerasan Psikis, Fisik, dan Seksual

Kekerasan juga banyak terjadi di kampus.

AUTHOR / Ken Fitriani

Ratusan Anak di DIY Mengalami Kekerasan Psikis, Fisik, dan Seksual
Ilustrasi: Kampanye setop kekerasan pada anak. Foto: Antara

KBR, Yogyakarta- Ribuan kasus kekerasan terjadi di Yogyakarta sepanjang 2022. Angka tersebut merupakan data secara umum dari semua jenis kekerasan yang diadukan oleh korban kepada berbagai layanan korban kekerasan perempuan dan anak di DIY.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi mengatakan, data tersebut baik yang ada di pemerintah, UPT PPA kabupaten, kota maupun layanan korban kekerasan yang ada di LSM.

"Artinya ada kekerasan fisik ada psikis, ada kekerasan seksual, ada penelantaran, ada TPPO dan sebagainya, itu 1.282, 397 di antaranya menimpa anak anak," kata Erlina di sela Diskusi Publik tentang 'Mewujudkan Kampus Ramah Perempuan dan Anak' di Royal Ambarrukmo Hotel Yogyakarta, Kamis, (23/11/2023).

Erlina juga menyoroti soal kekerasan yang ada di kampus. Kata dia, jenis-jenis kekerasan di kampus paling banyak adalah kekerasan seksual. Para korban juga mengadu ke layanan korban kekerasan di DIY.

"Memang menjadi keprihatinan bersama, ya. Di kampus yang seharusnya itu institusi pendidikan gitu dan ini sudah dewasa gitu, ya, sebagian sangat besar adalah orang-orang dewasa yang ada di kampus itu masih terjadi kekerasan dan kekerasan seksual," ungkapnya.

Peran Kampus

Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito menambahkan, kekerasan seksual maupun nonseksual yang terjadi di kampus seperti fenomena gunung es.

Cerita apa yang nampak sangat bergantung pada keberanian korban untuk melaporkan. Sebab, korban tidak bisa dibaca seperti orang yang kehilangan suatu barang, namun menyangkut identitas diri dan kehormatan.

"Kampus harus memberi perhatian yang serius, karena jebakan industrialisasi teknologi informasi harus diantisipasi dengan mendorong agar kampus juga aware," ungkapnya.

Arie menjelaskan, pemerintah daerah dan kampus juga punya peran untuk memecahkan fenomena gunung es tersebut. Kampus tidak hanya sekadar mendirikan unit satgas saja, namun juga harus membuat aktivitas yang sifatnya preventif, edukatif dan kontrol.

"Tapi, yang perlu dicatat sekalipun Ini tantangan serius, tapi juga jangan dikesankan menjadi horor. Ini bahaya, nanti jadi ancaman serius karena orang menjadi ketakutan," jelasnya dalam forum yang sama.

Arie meminta, kampus tidak abai dengan kasus kekerasan. Kampus harus menjadi ramah, semakin peduli antarmahasiswa dan jangan menunggu korban untuk melapor.

"Kita perlu diagnosis juga perubahan psikologis sosial yang terjadi. Saya usul juga organisasi untuk lebih peduli. Kerentanan juga harus bisa dibaca dan diantisipasi," imbuhnya.

Data LPSK

Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya yang terjadi di kampus terus meningkat.

Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo menyampaikan data itu di forum yang sama.

"Angkanya itu 27 persen dari jumlah keseluruhan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Untuk angka persisnya di LPSK itu masih di bawah 1.000, sekitar 975 angkanya, tapi itu gabungan baik itu kekerasan seksual maupun nonseksual," ujarnya.

Anton menjelaskan, angka itu merupakan kejadian di kampus dan luar kampus. Bahkan pelaku kekerasan merupakan dosen dan mahasiswa.

"Kejadian ada yang di luar kampus dan ada yang di kampus," pungkasnya.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!