NASIONAL
Hapuskan Pasal Larangan Siaran Langsung saat Sidang di RKUHAP
Pasal 253 ayat (3), yang berbunyi: "Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang memublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan."

KBR, Jakarta- Revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi menutup akses informasi publik dan menggerus transparansi proses peradilan. Sebab, dalam draf RUU KUHAP yang disampaikan Komisi Hukum DPR, akan ada aturan soal larangan memublikasikan proses persidangan secara langsung (live) tanpa izin pengadilan.
Tepatnya, Pasal 253 ayat (3), yang berbunyi: "Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang memublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan."
Dalam ayat (4) pasal yang sama disebutkan, pelanggaran tata tertib pada poin ketiga merupakan tindak pidana, dan dapat dituntut berdasarkan undang-undang.
Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai, hakim seharusnya berperan memilah mana persidangan yang layak disiarkan terbuka dan mana yang harus dibatasi.
Kata dia, ketika sidang dinyatakan terbuka, maka bukan hanya mereka yang hadir secara fisik yang berhak mendapatkan informasi, tetapi seluruh masyarakat luas.
"Memang pada akhirnya menutup hak masyarakat untuk mengetahui informasi, ya, terlebih. Terutama sidang-sidang yang memang dibuka dan terbuka untuk umum, memang tidak semua persidangan terbuka untuk umum," kata Fajri kepada KBR, Kamis, (10/04/2025).
Keterangan Saksi
Fajri mengatakan, jika siaran langsung bisa memengaruhi keterangan saksi, maka solusi seharusnya bukan membatasi informasi, melainkan melindungi saksi, semisal dengan memastikan saksi tidak mengakses siaran langsung sebelum memberikan kesaksiannya.
Menurutnya, siaran langsung justru dapat menjadi instrumen penting dalam mendorong transparansi keadilan. Sebab, selama ini banyak pengadilan masih kesulitan memanfaatkan saluran publikasi secara maksimal.
"Nah, untuk itu harapannya ketika sistem atau kemudian praktik menyiarkan secara langsung sebuah persidangan itu sudah lebih sehat, begitu publik pun sudah mulai familiar dengan apa yang dilakukan dalam ruang persidangan, ini jadi pendidikan hukum juga bagi publik agar memahami fungsi dari persidangan sebenarnya," ujarnya.

Mengundang Pimred
Polemik rencana larangan siaran langsung saat sidang membuat Ketua Komisi Hukum (III) DPR Habiburokhman berencana mengundang pimpinan redaksi media massa untuk mendapat masukan mengenai Rancangan KUHAP.
“Kami sangat-sangat menghargai hak publik mendapatkan informasi dan hak wartawan untuk menyebarluaskan informasi,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers usai rapat dengar pendapat di Jakarta pada Senin, 24 Maret 2025.
Koalisi Mendesak Penghapusan
Tetapi, belum lama ini, koalisi masyarakat sipil, salah satunya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, telah bertemu Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman. Koalisi dari beragam organisasi ini menyoroti berbagai pasal di RKUHAP, salah satunya Pasal 253 ayat (3).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) AJI Indonesia, Bayu Wardana mengatakan, koalisi telah menyampaikan keberatan atas pasal tersebut. Dalam pertemuan itu, menurutnya Habiburokhman setuju dengan argumen mereka.
"Untuk khusus pasal yang di live streaming itu, dia menjanjikan untuk menerima tuntutannya AJI bahwa itu nanti akan di-drop. Tetapi, pasal-pasal yang lain, yang disampaikan koalisi, itu nanti akan didiskusikan lagi, belum final, tentu koalisi akan bertemu juga dengan fraksi-fraksi yang ada," katanya.
Sebelum pertemuan itu AJI Indonesia dan koalisi mendesak larangan siaran langsung saat persidangan itu dihapus. Alasannya, pasal tersebut akan membatasi akses publik dan kebebasan pers.
Aturan ini juga bertentangan dengan prinsip transparansi persidangan dan rawan disalahgunakan. Ketentuan ini juga tidak pernah ada dalam KUHAP yang berlaku saat ini.
"Karena sifatnya sidang itu kan terbuka untuk umum, sehingga kalau sifatnya terbuka untuk umum, maka juga terbuka untuk media, termasuk yang mau siaran langsung. Jadi, kami meminta pasal itu dihapus saja," kata Bayu kepada KBR, Jumat, (11/04/2025).

Membatasi Peran Pers
Menurutnya, pasal itu tidak relevan dan tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada. Ia menilai keberadaan pasal ini justru bisa membatasi peran pers dalam mengungkap fakta-fakta penting dalam persidangan.
"Saya ambil contoh, ketika persidangan almarhum eks-gubernur Maluku Utara, kan muncul fakta bahwa kemudian dia menyebutkan ada Blok Medan, artinya ada jatah tambang yang diberikan ke dugaannya ke anak Jokowi, Bobby yang ada di Medan. Maksudnya seperti itu kan itu kalau tidak ada kebebasan pers, hal itu tidak akan terungkap," ungkapnya.
Bayu menegaskan, jika memang ada kekhawatiran soal keamanan saksi atau risiko bocornya informasi sensitif, KUHAP sebenarnya sudah memiliki mekanisme untuk menyatakan sidang tertutup. Tetapi, menurutnya masalah persidangan terbuka atau tertutup, namun yang terpenting akses media tetap terbuka.
Siaran Langsung Diam-Diam
Bayu menyebut, pers sudah memiliki kode etik yang jadi pedoman peliputan, termasuk dalam menyiarkan langsung proses sidang. Jika ada pelanggaran, jurnalis dapat dilaporkan ke Dewan Pers.
Menurutnya, selain media, yang harus diperhatikan adalah masyarakat, karena bisa melakukan live streaming secara diam-diam, apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini. Hal ini membuat aturan pelanggaran siaran langsung sulit ditegakan.
"Ini aturan yang sulit ditegakkan. Jadi, buat apa dibikin aturan kalau agak sulit. Kecuali kemudian kita kayak negara otoriter, semua sidang tertutup. Tidak ada publik, tidak boleh masuk, nah itu baru kita tidak bisa melihat jalannya persidangan. Tetapi, selama sidang itu dinyatakan terbuka, melarang live streaming itu menurut saya agak sulit ditegakkan," ujarnya.
Bayu menilai, kehadiran media lebih dapat dikontrol, karena memiliki pedoman etik, seperti P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Karena itu, ia menilai pasal larangan siaran langsung bukan hanya tidak efektif, tapi juga kontraproduktif terhadap prinsip keterbukaan pengadilan di Indonesia.

Mafia Peradilan
Rencana melarang siaran langsung saat persidangan muncul di tengah berbagai kasus mafia peradilan yang masih terjadi. Yang terbaru adalah dugaan suap putusan lepas tiga korporasi besar dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan sebagai tersangka suap Rp60 miliar.
Tiga hakim itu adalah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtaro, dan Djuyanto yang mengadili perkara PT Musim Mas, PT Permata Hijau Group, dan PT Wilmar Group.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menyebut suap itu bermula dari pengacara terdakwa korporasi, Ariyanto Bakri yang menghubungi panitera muda Wahyu Gunawan untuk mengatur agar kliennya diputus lepas atau ontslag.
Wahyu kemudian menyampaikan permintaan tersebut kepada M. Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat wakil ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Duit tersebut diperuntukkan bagi tiga hakim anggota majelis.
"Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag, namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga totalnya Rp60 miliar," ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Senin, (14/4/2025).
Putusan Bebas
Kasus ini pengembangan dari penyidikan Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO dan produk turunannya selama Januari 2021 hingga Maret 2022.
Ketiga korporasi tersebut sempat dituntut membayar uang pengganti kerugian negara dengan total Rp17,7 triliun—PT Wilmar Group Rp11,8 triliun, PT Permata Hijau Group Rp937,5 miliar, dan PT Musim Mas Rp4,8 triliun.
Namun, dalam sidang di Tipikor Jakarta, ketiganya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Keputusan tersebut memicu sorotan publik dan akhirnya membuka dugaan suap terhadap para hakim.
Kepercayaan Publik
Kondisi peradilan saat ini membuat publik belum sepenuhnya percaya pengadilan karena berbagai alasan. Karena itu masih dibutuhkan transparansi dan akuntabilitas persidangan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeiP), Muhammad Tanziel Aziezi mengatakan, transparansi dan akuntabilitas tersebut seharusnya bisa disajikan melalui putusan pengadilan, tetapi putusan pengadilan saat ini belum bisa mengakomodasi hal itu.
"Jadi, untuk sementara, saya pikir penyiaran persidangan secara langsung sementara ini masih dibutuhkan, dan perlu diatur secara baik agar tetap bisa menjamin pemenuhan hak fair trial. Sampai nanti pengadilan mendapatkan kepercayaan dari publik, mungkin persidangan siaran langsung itu perlu dipertimbangkan untuk ditiadakan," katanya kepada KBR, Senin, 14 April 2025.

44 Tahun
Rancangan KUHAP yang kini dibahas akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Beleid itu mengatur tata cara penegakan hukum pidana, mulai dari proses penyelesaian kasus pidana hingga penegakan hak untuk tersangka dan terdakwa.
DPR sudah memutuskan RUU KUHAP jadi rancangan undang-undang usul inisiatif parlemen. Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, pada 18 Februari 2025.
Rancangan KUHAP masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi Hukum DPR. Komisi Hukum DPR mendesak RUU KUHAP mendesak segera dibahas. Alasannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.
RKUHAP ini akan menggantikan KUHAP lama yang sudah berusia 44 tahun. Revisi ditargetkan rampung Oktober tahun ini.
Baca juga:
Komnas HAM Dorong Empat RUU Masuk Prolegnas, KUHAP hingga Masyarakat Adat
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!