NASIONAL
"Gen Z Lebih Pilih Beras daripada Bayar Iuran BPJS Kesehatan?"
Ilustrasi
KBR, Jakarta - Belakangan media sosial platform X (Twitter) diramaikan dengan perbincangan soal prioritas pengeluaran keuangan generasi muda Indonesia. Sebagian gen z mengaku lebih mengutamakan pembelian kebutuhan pokok seperti beras dibandingkan membayar iuran BPJS Kesehatan.
Beberapa alasan diungkapkan mereka, seperti anggapan bahwa BPJS kurang jadi prioritas dibanding kebutuhan pangan, serta fungsinya yang baru bisa digunakan saat sakit. Bahkan ada juga yang masih meragukan pelayanan yang akan diterima saat menggunakan fasilitas BPJS kesehatan. Itulah yang mendasari mereka lebih memilih mengalokasikan dana untuk kebutuhan yang manfaatnya langsung terasa.
Atas fenomena ini, Certified Financial Planner, Jufti Achmad Hakim menilai bahwa kecenderungan Gen Z lebih memilih kebutuhan pokok sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tekanan ekonomi dan rendahnya literasi keuangan.
Keterangan Foto: Cuitan netizen di media sosial X lebih memilih beli beras ketimbang bayar Iuran BPJS Kesehatan.
Faktor Tekanan Ekonomi
Menurutnya, meskipun iuran BPJS paling rendah hanya sekitar Rp42.000 per bulan, namun angka tersebut masih terjangkau jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin yang mencapai Rp2,8 juta.
Walau demikian ia tak memungkiri banyaknya keluarga yang terpaksa memprioritaskan kebutuhan dasar ketika kondisi ekonominya tidak stabil.
“Tekanan ekonomi membuat banyak keluarga lebih memilih memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu,” jelas Jufti, Kepada KBR Rabu, (14/05202).
Banyaknya PHK, juga membuat sebagian keluarga harus memilih memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu, sehingga pembayaran iuran BPJS menjadi prioritas yang sulit dipenuhi.
“Kalau banyak PHK, otomatis semua orang pasti akan memprioritaskan yang utama. Kalau tidak makan, tidak bisa melanjutkan hidup. Jadi, memang ada dilema untuk masyarakat kita,” jelas Jufti.
Tapi Jufti juga menyayangkan perilaku sebagian masyarakat yang masih mendahulukan pengeluaran untuk rokok daripada asuransi kesehatan.
“Saya yang sedih itu BPJS nggak bisa bayar, tapi rokoknya tetap jalan. Itu yang nggak tepat,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan perlunya perubahan mindset dan edukasi agar masyarakat dapat lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, terutama dalam hal perlindungan kesehatan.
Rendahnya Literasi Keuangan
Certified Financial Planner, Jufti Achmad Hakim menganggap pemahaman masyarakat terhadap manfaat jangka panjang BPJS saat ini masih rendah.
“Banyak masyarakat kita yang belum mengetahui bagaimana mengelola keuangannya dengan baik. Padahal secara hitungan kasar, mereka seharusnya mampu membayar iuran BPJS,” ujar Jufti.
Padahal, dalam perencanaan keuangan, Jufti menekankan pentingnya menyiapkan dana darurat dan asuransi kesehatan setelah memastikan arus kas positif.
“Setelah arus kas positif, masyarakat harus mempersiapkan kondisi emergency, yaitu dana darurat dan asuransi. Tidak ada layanan asuransi yang lebih murah daripada BPJS, dan ini benar-benar jaring pengaman sosial,” katanya.
Ia menambahkan, perlindungan dasar itu harus didahulukan sebelum pengeluaran konsumtif, karena menjadi pondasi agar keuangan tetap stabil saat menghadapi risiko tak terduga.
Karenanya, Jufti mendorong generasi muda untuk mengubah pola pikir dalam mengelola pendapatan.
“Jangan buru-buru ke yang konsumtif. Fundamental perencanaan keuangan adalah arus kas, dana darurat, dan asuransi,” tegasnya.
Ia pun mengajak para perencana keuangan harus menyebarkan edukasi keuangan yang mudah dipahami untuk mengatasi rendahnya kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, dalam memprioritaskan perlindungan kesehatan seperti BPJS. Selain itu, ia juga menyarankan agar seminar, webinar, dan konten edukasi di media sosial terus digalakkan untuk membangun kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan kesehatan.
“Tantangan terberatnya adalah literasi. Semua perencana keuangan harus turun ke media sosial, lingkungan terkecil, bahkan keluarga, untuk menyebarkan edukasi keuangan yang sederhana,” pungkasnya.
BPJS Watch: Membandingkan Beli Beras dengan Membayar BPJS adalah Keliru
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), masyarakat miskin dan tidak mampu seharusnya dijamin oleh pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Karena itu, kata dia, bahwa membandingkan masyarakat miskin yang lebih memilih membeli beras daripada membayar BPJS adalah keliru. Alasannya, menurut Timboel, kebutuhan pokok seperti membeli beras memang harus diutamakan. Sementara, jaminan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu adalah tanggung jawab negara yang iurannya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
“Bagi masyarakat kita yang memang tidak mampu itu mendaftarkan diri ke pemerintah daerah supaya bisa dijamin dengan pembiayaan oleh pemerintah. Itu kan sesuai dengan pasal 14 dan 17 Undang-Undang SJSN,” jelas Timboel, Kepada KBR, Rabu. (14/05/2025).
Sedangkan bagi masyarakat di luar PBI, menurutnya, edukasi berkelanjutan mengenai manfaat BPJS sangat penting, terkhusus bagi generasi muda yang merasa sehat dan belum merasa perlu membayar iuran.
“Mereka menganggap, Saya orang muda, penyakit masih jauh dari saya, padahal penyakit seperti diabetes kini juga banyak menyerang anak muda karena pola hidup yang kurang sehat,” jelas Timboel.
Menjadi peserta JKN kata Timboel merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap risiko kesehatan yang tidak dapat diprediksi.
“Kita tidak tahu kapan sakit. Orang muda pun bisa saja tiba-tiba mengalami kecelakaan atau sakit serius. Dengan menjadi peserta JKN, mereka tidak perlu menanggung biaya sendiri saat butuh perawatan,” ujarnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar
Pelayanan BPJS yang Maksimal akan Membuat Persepsi Masyarakat Positif
Namun di sisi lain, Timboel juga menekankan agar BPJS kesehatan memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat.
“Kalau ada pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan, laporkan ke BPJS Satu yang ada di setiap rumah sakit. Banyak masyarakat belum tahu hak dan prosedur yang benar, sehingga mudah disalahkan oleh oknum rumah sakit,” tegas Timboel.
Kata dia, banyak keluhan peserta yang sebenarnya berasal dari masalah di luar kendali BPJS, seperti kartu peserta yang nonaktif akibat data dari Dinas Sosial atau Kementerian Sosial, bukan karena kesalahan BPJS itu sendiri.
“BPJS Kesehatan hanya menerima perintah. Kalau ada peserta PBI yang kartunya tiba-tiba dinonaktifkan, itu biasanya karena perintah dari pemerintah, bukan BPJS,” jelasnya.
Ia juga menekankan perlunya peningkatan pengawasan dan penambahan petugas di rumah sakit agar keluhan peserta dapat segera ditangani dengan baik.
“Saya berharap pelayanan BPJS Satu lebih ditingkatkan supaya pelayanan-pelayanan yang disampaikan oleh rumah sakit benar-benar dikontrol sehingga tidak merugikan pasien. Kalau layanan sudah baik, pasti masyarakat juga memberikan persepsi positif terhadap program JKN,” pungkas Timboel.