NASIONAL
DPR: Delik Agama di RKUHP Picu Masalah
"KUHP itu masih mengatur soal delik agama. Dan dalam pengalaman kita beberapa penggunaan terhadap delik agama itu menimbulkan masalah yang sangat fundamental"
AUTHOR / Sadida Hafsyah
KBR, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai keberadaan delik agama dalam aturan hukum di Indonesia masih kerap memicu masalah di kalangan masyarakat. Apalagi, delik agama ini ada di sejumlah pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Di KUHP existing kita misalnya, Pasal 156, 156 a, kemudian 157, 175, 176, 177, 503, 530, 545, 546, dan 547. Ya KUHP itu masih mengatur soal delik agama. Dan dalam pengalaman kita beberapa penggunaan terhadap delik agama itu menimbulkan masalah-masalah yang menurut saya sangat fundamental, yang akan mengganggu proses bernegara kita," ujarnya dalam diskusi 'Meninjau Kembali Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP', Kamis (07/04/22).
Taufik Basari mengungkapkan, masyarakat akan menggunakan pasal-pasal yang mengandung delik agama dalam peristiwa tertentu. Selain itu, delik agama juga bersinggungan dengan isu penodaan agama.
"Bahwa di berbagai aturan hukum kita masih memuat delik-delik agama. Utamanya adalah delik-delik yang bisa kita kaitkan dengan persoalan penodaan agama," ucapnya.
Taufik menjelaskan penggunaan delik agama biasanya tergantung pada tiga hal.
"Pertama, bagaimana aparat penegak hukum melihat dan memahami tentang delik agama ini," ungkapnya.
Kedua, lanjut dia, soal bagaimana masyarakat melihat ada peristiwa yang kemudian dikait-kaitkan dengan persoalan agama, penodaan, penistaan.
"Dan yang ketiga tergantung pada bagaimana posisi pemerintah melihat delik agama," jelasnya.
Perlu Pendekatan Keadilan Restoratif
Taufik Basari yang juga Politisi Partai NasDem ini berpendapat perlu ada pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif, mencermati kembali delik agama yang terkandung dalam di KUHP.
Menurutnya, delik agama ini perlu ditinjau kembali karena berpotensi menimbulkan permasalahan di kalangan masyarakat, berkaitan dengan penistaan agama.
"Konsistensi dan komitmen terhadap keinginan kita untuk mengubah masyarakat agar tidak menjadi punitif (suka menghukum berat, red). Itu salah satu pintu masuk bagi kita untuk meminta ada peninjauan kembali terhadap delik agama. Oke lah kita harus akui bahwa konflik di tengah masyarakat seringkali terjadi karena persoalan perbedaan pandangan terkait agama ini. Tapi kan tidak melulu harus diselesaikan dengan pidana," katanya.
Taufik Basari menilai RKUHP sebetulnya membawa semangat perwujudan proses hukum berdasarkan keadilan restoratif. Agar ada reformasi dalam hukum peradilan yang berlaku di Indonesia.
Baca juga:
- 60 Ribu ASN Bakal Pindah ke IKN Nusantara, MenPAN-RB: Tunggu Kesiapan Infrastruktur
- Pengamat: Peringatan Jokowi Tak Pengaruhi Skenario 3 Periode
"Meskipun kalau kita mau kritisi ternyata dalam beberapa hal tidak konsisten. Ketika kita mendorong restorative justice tapi masih juga ada over-kriminalisasi di situ. Yang kita dorong adalah kalau kita memang konsisten dan komitmen untuk melakukan reformasi hukum dengan mengedepankan restorative justice, maka persoalan delik agama ini pun harus kita tinjau ulang," ucapnya.
Keadilan restoratif bertujuan agar masyarakat memahami bahwa tidak semua permasalahan hukum perlu diselesaikan dengan hukum pidana. Termasuk jika berkaitan dengan isu keagamaan.
"Jadi dasarnya soal restorative justice. Keinginan kita untuk mengubah itu," pungkas dia.
Editor: Kurniati Syahdan
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!