NASIONAL
Diskriminasi terhadap Ahmadiyah Banjar Terus Terjadi, Semboyan Negara Toleran Hanya Sebatas Slogan?
“Jadi rata-rata memang dari pelaku dari pelanggaran kebebasan beragama itu adalah selain daripada pemerintah daerah itu juga masyarakatnya," jelas Fanani

KBR, Jakarta- Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kota Banjar, Jawa Barat, kembali mengalami tekanan. Masjid Istiqamah milik Ahmadiyah di Kelurahan Neglasari, Banjar, disegel oleh Pemerintah Kota Banjar pada 10 Juni 2025.
Penyegelan ini menambah panjang daftar kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang dialami Ahmadiyah di Indonesia, terutama di Jawa Barat. Peristiwa ini bukan yang pertama kali.
Abdussalam Rahman, Perwakilan Ahmadiyah Banjar mengatakan bahwa diskriminasi sudah berlangsung sejak 2011, saat Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 10 Tahun 2011 diterbitkan. Perwal itu membekukan seluruh kegiatan JAI di Banjar.
"Pasca penyegelan atau pengelasan masjid yang pertama itu yang tahun 2011. Itu kami memfungsikan sebuah rumah itu jaraknya sekitar 3 km dari Masjid Istiqomah ini. Tapi itu pun tetap kami sering mendapatkan intimidasi. Kami setiap sholat jumat didatangi oleh aparat juga," ungkap Abdussalam dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (19/6/2025).

Abdussalam menambahkan, meskipun sempat kembali menggunakan bagian barat masjid untuk sholat, intimidasi tetap terjadi, seperti pengawasan aparat hingga pemasangan spanduk larangan ibadah.
“Bahkan, pintu masjid sempat dilas oleh tim yang terdiri dari unsur pemerintah kota, kejaksaan, dan kepolisian. Respon kami, kami menolak menandatangani berita acara”, tegas Abdussalam.
Pelanggaran KBB Meluas, Jawa Barat Zona Merah
Peneliti KBB dari Setara Institute, Ahmad Fanani Roshidi menyebut, penyegelan masjid Ahmadiyah di Banjar bukan kasus tunggal. Sepanjang 2024, tercatat 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran di Indonesia. Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka pelanggaran tertinggi.
"Jawa Barat ini sebenarnya juga kalau menurut setara institut khususnya di tahun 2023-2024 itu selalu menjadi zona merah pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan. Jadi selalu bertengger di posisi pertama. Karena kalau dari sisi masyarakat itu masyarakatnya memang cenderung intoleran,” jelas Ahmad.
Menurutnya, akar persoalan ini bermula dari kebijakan diskriminatif pemerintah pusat, khususnya SKB 3 Menteri Tahun 2008. Kebijakan tersebut sering disalahartikan di tingkat daerah, seperti melalui penerbitan pergub dan perwal yang melarang aktivitas JAI.
Ahmad menambahkan, program moderasi beragama pun dinilai belum menyentuh akar persoalan.
“Jadi rata-rata memang dari pelaku dari pelanggaran kebebasan beragama itu adalah selain daripada pemerintah daerah itu juga masyarakatnya yang sampai sekarang sampai saat ini itu masih punya pandangan yang sempit soal keagamaan. Masyarakat di sana pemikiran keagamaannya memang harus kita evaluasi bersama,” katanya.

Setara, kata Ahmad, turut mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan-peraturan diskriminatif, termasuk Perwal Kota Banjar, dan menjamin perlindungan hak beragama semua warga negara.
“Saya rasa kedepan itu bakalan akan terjadi terus ketika misalnya negara ini gak ada terobosan soal pemajuan kebebasan beragama berkeakinan akan terus-terus aja seperti ini tentunya itu akan mengganggu Rencana pembangunan Asta citanya Prabowo-Gibran ya kedepan,” jelasnya.
Harapan Warga Ahmadiyah
Meski menghadapi tekanan bertahun-tahun, Abdussalam masih berharap pemerintah memberi ruang bagi jemaat Ahmadiyah untuk menjalankan ibadah dengan aman dan damai.
"Kami sangat memohon kepada pemerintahan Kota Banjar ini untuk membebaskan kami dari kegiatan kami beribadah, juga memberi kesempatan atau dapat melanjutkan perbaikan masjid yang sudah terbangkalai ini, tentunya pihak Pemkot Juga benar-benar bisa memberikan jaminan terhadap warga masyarakat,”jelasnya.
“Walaupun kami ini katakanlah minoritas tapi kan kami mempunyai hak yang sama di mata hukum " tambahnya.
Anggota JAI lainnya, Dadan, juga menyuarakan harapan dalam bahasa Sunda.
"Kalau istilah Sunda itu herang cainak benang laukna. Artinya apa biarlah Perwal ada tapi kami juga tetap bisa melanjutkan pembangunan masjid ini dan kami bebas melaksanakan kegiatan lainnya," ujarnya.
Bantahan Pemda
Ketua Tim Penanganan Jemaah Ahmadiyah Indonesia Kota Banjar Ahmad Fikri Firdaus membantah Pemkot Banjar menyegel. Ahmad mengatakan tim Pemkot Banjar memasang spanduk itu sesuai perwal.
“Tidak boleh ada aktivitas Ahmadiyah sejak Perwal terbit. Kami melihat ada pembangunan masjid,” kata dia, dikutip dari Tempo.co, Jumat (20/6/2025).
Sorotan Koalisi Masyarakat Sipil
Menanggapi tindakan aparat pemerintah terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar dan pembatalan diskusi buku Ahmadiyah di Kota Manado, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pemerintah Kota Banjar kembali menerapkan praktik-praktik otoriter untuk menyikapi hak warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Tanjungsukur untuk beragama.
“Ini bukan pertama kalinya otoritas negara menunjukkan sikap intoleran dan diskriminatif terhadap warga Ahmadiyah. Dalam berbagai kesempatan, tindakan diskriminasi seperti pembubaran kegiatan keagamaan, intimidasi, dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah berulang. Ini mengukuhkan pola diskriminasi sistemik negara terhadap kelompok minoritas beragama,” ujar Usman dikutip dari laman amnesty.id.

Usman melanjutkan berulangnya diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah tanpa disertai penegakan hukum yang adil seolah menormalkan kegagalan negara dalam melindungi umat beragama.
“Dan yang lebih parah lagi sekarang adalah membicarakan mengenai Ahmadiyah di ruang publik menjadi hal tabu seperti terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado baru baru ini. Sangat disayangkan pelarangan ini dilakukan oleh kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan membangun kesadaran masyarakat,” tuturnya.
Amnesty, kata Usman, mendesak otoritas negara untuk memastikan setiap unit-unit pemerintahan daerah memberikan jaminan bagi warga Ahmadiyah untuk melaksanakan peribadatan mereka tanpa diskriminasi dan intimidasi.
“Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan tiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut keyakinannya,” tegasnya.
Negara, lanjut Usman, wajib segera mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 yang menjadi dasar diskriminasi dan represi terhadap warga Ahmadiyah.
“Negara wajib menentang segala bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar keyakinan agama atau atas dasar alasan karakteristik manusia yang dilindungi oleh hukum internasional hak asasi manusia,” tuturnya.

Latar Belakang Kasus Intoleransi terhadap Jemaat Ahmadiyah
Mengutip dari ylbhi.or.id, awal bulan Juni ini terdapat setidaknya dua kasus intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia di dua kota berbeda, yaitu di Banjar, Provinsi Jawa Barat dan Manado, Provinsi Sulawesi Utara.
Laporan pada 5 Juni lalu mengabarkan tim penanganan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dari Pemerintah Kota Banjar mendatangi tempat peribadatan JAI di lingkungan Tanjungsukur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Tim tersebut memperingatkan JAI untuk tidak melakukan kegiatan peribadatan di bangunan yang telah disegel sebelumnya.
Ketua tim berdalih tindakan mereka itu untuk menegakkan SKB terkait Ahmadiyah beserta peraturan dan keputusan Wali Kota Banjar pada 2011 yang telah menyegel bangunan yang digunakan sebagai tempat peribadatan JAI. Walau telah disegel, Jemaah Ahmadiyah disebutnya melakukan pelanggaran dengan membuat bangunan baru untuk ditinggali dan dijadikan tempat peribadatan.
Sebelumnya, pada 28 Mei lalu, Aliansi Muslim Kota Banjar (Almuktabar) menemui Wali Kota Banjar dan memberikan batas waktu 30 hari agar Pemkot Banjar bersikap tegas terhadap Jemaah Ahmadiyah.
YLBHI, Formassi Jawa Barat, LBH Bandung, Kabar Sejuk dan Jakatarub mendesak Presiden, Kapolri, Gubernur Jawa Barat, dan seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menjamin kebebasan berkumpul dan beragama bagi Jemaat Ahmadiyah serta membatalkan surat keputusan walikota Banjar yang inkonstitusional tersebut.
Setara Institute mencatat pada 2007-2021 terdapat 588 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap JAI dari total 2.929 peristiwa KBB.
Data terbaru menunjukkan pada 2024, terdapat delapan peristiwa KBB terhadap JAI. Jawa Barat merupakan wilayah dengan kasus pelanggaran KBB terbanyak yakni 38 peristiwa pada 2024. Posisi Jabar tidak bergeser dari ranking teratas pada 2023.
Baca juga:
- Komnas HAM Dalami Kasus Pelarangan Jalsah Salanah Ahmadiyah di Manislor
- Jalsah Salanah Ahmadiyah Dilarang, Negara Tunduk terhadap Kelompok Intoleran
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!