NASIONAL
Deflasi Lima Bulan Beruntun, Alarm Bahaya Ekonomi Indonesia?
Deflasi pada September 2024 merupakan yang terparah dan hampir menyerupai krisis 1999. Saat itu terjadi deflasi tujuh bulan beruntun.

KBR, Jakarta - Deflasi atau fenomena penurunan harga secara umum telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut, sejak Juni hingga September 2024.
Menurut Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar, deflasi bulan lalu merupakan yang terparah dan hampir menyerupai krisis 1999. Saat itu terjadi deflasi tujuh bulan beruntun.
"Secara historis deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam 5 tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12 persen. Dalam 5 bulan terakhir komoditas daging ayam ras masuk dalam 5 besar Komoditas utama, yang menyumbang andil deflasi dengan andil deflasi September 2024 sebesar 0,02 persen,” ucap Amalia dalam konferensi pers, Selasa, (1/10/2024).
Amalia menjelaskan, penyebab deflasi beruntun ini adalah penurunan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Deflasi terjadi karena pasokan komoditas pangan berlimpah, namun tidak diiringi tingkat permintaan dari konsumen.
Daerah yang mengalami deflasi bulan lalu, adalah empat provinsi di Papua. Yakni, Provinsi Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Papua, Adriana Helena Carolina mengatakan, komoditas penyumbang andil terbesar deflasi adalah cabai rawit dan bawang merah.
“Secara bulanan, keempat provinsi mengalami deflasi. Di mana Papua tercatat mengalami deflasi sebesar 0,41%, Papua Selatan mengalami deflasi sebesar 0,74%, Papua Tengah mengalami deflasi sebesar 0,44% dan Papua Pegunungan mengalami Deflasi sebesar 0,60%,” ucap Adriana dikutip dari kanal YouTube BPS Provinsi Papua, Rabu, (02/10/2024).
Baca juga:
- BPS Catat Deflasi 0,12 Persen di September 2024, Lima Bulan Beruntun
- Deflasi Picu Pelemahan Daya Beli, Pengusaha Isyaratkan Bahaya
Dampak deflasi
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) jadi salah satu kelompok yang paling terimbas deflasi. Terutama UMKM di bidang kuliner.
Ketua Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny menyebut, deflasi menyebabkan menurunnya penjualan akibat daya beli masyarakat rendah.
"Karena dengan harga turun pun, untuk ongkos produksi tetap ada barang-barang yang tidak turun. Termasuk misalnya persyaratan dari mereka berusaha misalnya legalitas dan segala macamnya itu kan tetap dibebankan kepada mereka, pajak yang dikenakan ke mereka juga tetap, biaya sewa alat bank elektroniknya juga tetap jadi itu yang membuat mereka juga tidak bisa menurunkan ongkos produksi," katanya kepada KBR, Rabu, (2/10/2024).
Meski begitu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung mengeklaim, kondisi saat ini belum menunjukkan adanya risiko pelemahan ekonomi yang signifikan.
Optimisme juga disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu. Airlangga yakin daya beli masyarakat tidak menurun signifikan, meski terjadi deflasi beruntun.
"Jumlah kelas menengah itu sekitar 63% atau sekitar 185 juta orang dan tadi ada program-program berskala yang dilakukan pemerintah," kata Airlangga.
Menurut Airlangga, deflasi yang terjadi saat ini lebih disebabkan penurunan harga beberapa jenis makanan dan minuman tertentu, bukan lantaran masyarakat tidak mampu membeli.
Selain itu kata dia, pemerintah juga menjalankan sederet program, seperti subsidi energi, jaminan kehilangan pekerjaan, dan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) untuk mencegah kelompok kelas menengah turun kelas.
Baca juga:
- Deflasi Beruntun, Ini Saran Ekonom untuk Prabowo Cegah Krisis 99 Terulang
- Pakar: Mau Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Pastikan Stabilitas Makroekonomi
Klaim pemerintah itu dibantah sejumlah pakar, salah satunya ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad. Menurutnya, deflasi lima bulan berturut-turut menjadi 'alarm' buat ekonomi Indonesia. Kata dia, meski berbeda dengan fenomena deflasi 1999, tetapi penurunan tahun ini juga memberi sinyal daya beli masyarakat sedang menurun.
"Saya yakin ini situasi deflasi ini memang persoalan pelemahan ekonomi. Kalau lihat krisis sepertinya enggak. Kalau krisis harus negatif kan. Berarti harus benar-benar ada yang menyebabkan konsumsi kita drop banget gitu. Jadi saya kira beda situasinya," kata Tauhid kepada KBR, Rabu, (2/10/2024).
Tauhid meminta pemerintah segera melakukan kebijakan moneter dan fiskal untuk meningkatkan daya beli masyarakat, agar deflasi tidak membuat perekonomian Indonesia terpuruk.
"Di kuartal awal pemerintahan baru harus ada terobosan program-program yang sifatnya short term untuk penyerapan lapangan kerja ataupun memang bantuan sosial terutama bansos di kelompok bawah. Jadi, saya kira penting. Bagi kelas menengah, Saya kira ditunda dulu bahkan dibatalkan beberapa kebijakan yang menekan konsumsi. Contohnya kebijakan PPN, kenaikan cukai rokok, dan lain-lain sehingga ada daya beli di kelompok tersebut," tambahnya.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!