indeks
Deflasi Beruntun, Ini Saran Ekonom untuk Prabowo Cegah Krisis 99 Terulang

"Di kuartal awal pemerintahan baru harus ada terobosan program-program yang sifatnya short term untuk penyerapan lapangan kerja, ataupun memang bantuan sosial terutama bansos di kelompok bawah,"

Penulis: Astri Septiani, Muthia Kusuma

Editor: Muthia Kusuma Wardani

Google News
Deflasi
Daging ayam ras menjadi salah satu pemicu deflasi September 2024. (FOTO: ANTARA/Raisan Al Farisi)

KBR, Jakarta- Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF) menilai deflasi lima bulan berturut-turut merupakan indikasi pelemahan ekonomi.

Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad mengatakan, meski terjadi fenomena penurunan harga secara umum, namun kondisi ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1999.

"Saya yakin ini situasi deflasi ini memang persoalan pelemahan ekonomi. Kalau lihat krisis sepertinya enggak. Kalau krisis harus negatif kan. Berarti harus benar-benar ada yang menyebabkan konsumsi kita drop banget gitu," ucap Tauhid kepada KBR, Rabu, (2/10/2024).

Menurut Tauhid, penurunan daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor utama penyebab deflasi. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator ekonomi seperti Purchasing Manager Index (PMI) yang berada di bawah 50, stagnasi penjualan kendaraan roda dua, dan melambatnya sektor konstruksi.

"Saya kira kalau kita lihat beberapa indikasi misalnya purchasing manager index di bawah 50 barang, output-nya lebih sedikit daripada inputnya, kemudian penjualan roda dua stagnan. Kemudian tren sektor konstruksi pembelian semen itu stagnan. Berarti ada masalah di daya beli kita bukan soal harga," jelasnya.

Baca juga:

Saran untuk Pemerintahan Baru

Menyikapi situasi ini, Tauhid menyarankan beberapa langkah konkret yang perlu diambil pemerintah untuk mencegah deflasi berlanjut dan meningkatkan daya beli masyarakat.

"Saya kira mau tidak mau sektor moneter BI Bank Indonesia jangan ragu-ragu menurunkan 50 basis poin kemarin kan baru 25. Perlu sektor moneter melonggarkan dengan menurunkan suku bunga lagi," sarannya.

Selain itu, Tauhid juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam merancang kebijakan fiskal yang lebih stimulatif.

"Fiskal terutama ada problem di masa transisi banyak project-project program yang terlalu singkat selesai, katakanlah Oktober harus selesai. Nah di masa transisi ini mestinya apalagi di kuartal awal pemerintahan baru harus ada terobosan program-program yang sifatnya short term untuk penyerapan lapangan kerja, ataupun memang bantuan sosial terutama bansos di kelompok bawah," tambahnya.

Tauhid juga menyarankan agar pemerintah menunda atau bahkan membatalkan beberapa kebijakan yang berpotensi menekan daya beli masyarakat, seperti kenaikan PPN dan cukai rokok.

"Jadi saya kira penting. Bagi kelas menengah, Saya kira ditunda dulu bahkan dibatalkan beberapa kebijakan yang menekan konsumsi. Contohnya kebijakan PPN, kenaikan cukai rokok, dan lain-lain sehingga ada daya beli di kelompok tersebut," tutupnya.

Baca juga:

Deflasi terparah usai 1999

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada September 2024 sebesar 0,12 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Dengan demikian, deflasi itu telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut.

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, deflasi September juga merupakan yang terparah usai deflasi panjang 7 bulan beruntun pada krisis 1999 silam.

"Secara historis deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam 5 tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12 persen. Dalam 5 bulan terakhir komoditas daging ayam ras masuk dalam 5 besar Komoditas utama, yang menyumbang andil deflasi dengan andil deflasi September 2024 sebesar 0,02 persen,” ucap Amalia dalam konferensi pers, Selasa, (1/10/2024).

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, biang kerok penyebab deflasi adalah penurunan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Komoditas seperti daging ayam ras, misalnya, memberikan kontribusi signifikan terhadap deflasi.

Amalia mengatakan, deflasi terjadi karena pasokan komoditas pangan berlimpah yang tidak diiringi dengan tingkat permintaan dari konsumen.

Meski begitu, dia enggan menyebut dengan gamblang faktor penurunan daya beli masyarakat menjadi pemicu deflasi beruntun tersebut. Termasuk mengaitkannya dengan pelemahan daya beli akibat hampir 10 juta rakyat Indonesia yang turun dari kelas menengah.

Kondisi deflasi beruntun dan terparah usai deflasi 1999 itu juga enggan disikapi sebagai alarm serius bagi pelemahan ekonomi.

Di lain pihak, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung, menilai kondisi ini belum menunjukkan adanya risiko pelemahan ekonomi yang signifikan. Menurutnya, inflasi Indonesia secara umum masih berada dalam batas yang sehat dan sesuai dengan target yang ditetapkan.

Ke depan, BI meyakini inflasi akan tetap terkendali dengan upaya konsistensi kebijakan moneter, serta sinergi pengendalian inflasi antara BI dan pemerintah. Salah satunya kerja sama dalam pengendalian harga pangan di berbagai daerah.

pelemahan ekonomi
BPS
INDEF

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...