NASIONAL

Daftar Calon Sementara Sepi Masukan dan Tanggapan, Mengapa?

LSM pemantau korupsi Indonesia (ICW) menemukan belasan nama bakal calon anggota legislatif bekas terpidana kasus korupsi dalam DCS.

AUTHOR / Heru Haetami, Hermawan

Daftar Calon Sementara Sepi Masukan dan Tanggapan, Mengapa?
Ilustrasi: Warga melintas di depan alat peraga atribut partai peserta pemilu 2024 di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/8/2023). (Foto: ANTARA/Yulius Satria

KBR, Jakarta- Penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) DPR, DPD, dan DPRD Pemilu 2024 sepi dari tanggapan masyarakat. 

Di Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya, berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat, hingga hari terakhir masa tanggapan DCS, yakni Senin, (28/8/2023), tidak ada tanggapan dari masyarakat yang masuk.

Anggota KPU Banyuwangi Ari Mustofa mengatakan, telah mengecek baik melalui email maupun secara tertulis tidak ada tanggapan DCS yang masuk ke KPU.

"Kalau disimpulkan begitu kami meskipun ada atau tidak ada tanggapan masyarakat kerja kami sudah optimal. Terlepas dari ternyata ada yang menanggapi itu kan di sisi lain yang memang tidak kami lakukan verifikasi, mungkin kita tidak tahu latar belakang satu-per satu bakal calon anggota legislatif, kita juga tidak tahu proses-proses yang dialami oleh satu-per satu bakal calon anggota legislatif,” ujar Ari Mustofa, Senin (28/8/2023) di Banyuwangi.

Menanggapi itu, KPU RI mengaku masih akan melakukan rekapitulasi tanggapan yang telah masuk dalam DCS.

Menurut Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik, sedikitnya masukan atau tanggapan dari masyarakat lantaran kepercayaan publik terhadap KPU tinggi.

Dia juga mengeklaim hal itu disebabkan proses verifikasi bacaleg yang dilakukan KPU berhasil.

"Masyarakat memberikan kepercayaan kepada KPU yang cukup tinggi dan itu dibuktikan dengan hasil survei dari sebuah litbang dari surat kabar nasional dalam hal ini surat kabar Kompas. Yang di mana kepercayaan publik terhadap KPU tinggi. Yang kedua bisa jadi caleg yang daftarkan dalam DCS ini itu memang menurut pengetahuan publik secara administrasi baik," kata Idham kepada KBR, Senin, (28/8/2023).

Bacaleg Eks Koruptor

Di sisi lain, LSM pemantau korupsi Indonesia (ICW) menemukan belasan nama bakal calon anggota legislatif (caleg) DPR-DPD RI serta puluhan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, bekas terpidana kasus korupsi dalam DCS Pemilu 2024.

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, kondisi ini menunjukkan bahwa KPU gagal menyaring caleg yang memiliki riwayat tindak pidana korupsi.

"Ini mengartikan apa mengartikan bahwa masyarakat jauh lebih cepat tanggap terkait dengan mantan terpidana korupsi yang maju sebagai calon anggota legislatif ketimbang penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum," kata Kurnia kepada KBR, Senin, (28/8/2023).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut, KPU juga belum memenuhi kewajiban atas keterbukaan informasi terkait riwayat hidup para caleg.

Itu sebab, Kurnia mendorong KPU segera membuka berkas dan mengumumkan kepada masyarakat caleg yang pernah menjadi terpidana korupsi.

"Akan jauh lebih baik jika itu diinformasikan kepada pemilih. Karena pada dasarnya pemilih memiliki hak untuk mengetahui rekam jejak para bakal calon anggota legislatif. Sehingga hal itu akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat apakah akan memilih mereka atau tidak," katanya.

Transparansi

Sebelum polemik DCS muncul, termasuk soal temuan bacaleg eks koruptor mencuat, Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini telah memberikan catatan atas daftar tersebut. 

Kata dia, pada Pemilu 2014 dan 2019 ada komitmen atau ikhtiar yang sangat baik dari penyelenggara pemilu, untuk memberikan akses kepada pemilih terkait dengan riwayat hidup, bahkan itu sudah mulai dilakukan ketika pengumuman DCS.

Menurutnya, digitalisasi atau elektronisasi di era sekarang, seharusnya berkontribusi pada peningkatan kualitas transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas pencalonan, bukan sebaliknya.

"Meskipun pada saat itu juga ada kontroversi, ya, ketika KPU memberikan pilihan kepada caleg, apakah bersedia daftar riwayat hidupnya diumumkan atau tidak. Hasilnya memang sekitar 50 persen-an saja yang bersedia. Tetapi, justru karena publik bisa mengakses daftar riwayat hidup caleg dan bisa tahu ada caleg yang mau, ada caleg yang tidak, publik menjadi ikut peduli, menjadi kritis. Akhirnya ada sorotan dan kemudian kritik kepada partai yang membiarkan calegnya untuk tidak membuka daftar riwayat hidup," kata Titi kepada KBR, Rabu, (23/8/2023).

Titi menambahkan, secara regulasi, KPU sebagai penyelenggara pemilu  berpedoman kepada 11 prinsip. Di antara 11 prinsip itu harus jujur, ada keterbukaan dan ada akuntabel.

"Padahal dengan pengaturan yang sudah ada saja, kalau paradigmanya itu betul-betul demokrasi, paradigma yang progresif, paradigma yang menempatkan pelayanan itu bukan hanya melayani partai politik, tetapi yang utama itu melayani pemilih loh. Walaupun ada peserta, ada penyelenggara, tetapi kalau pemilihnya tidak ada, atau pemilihnya bukan pemilih yang berdaya, pemilu itu akan kehilangan makna," katanya.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!