Article Image

NASIONAL

Catatan 2023: Perempuan ODHIV Didera Kekerasan Berlapis

"IPPI mencatat ada peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan ODHIV pada 2023. Ada kasus yang berujung kematian."

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) bersama para mitra saat acara peluncuran Catahu Delila di Jakarta, Rabu (7/2/2024). (Foto: dok IPPI)

KBR, Jakarta - Silvi bercerita tentang pengalamannya menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV (ODHIV).

“Korban mengalami ancaman, dia mengeluh 'Kak, Aku takut, Aku takut,'. Akhirnya aku tanya-tanya sambil nenangin dia. Si cewek (korban) ini mau putus, tapi cowoknya nggak mau. Dia takut status (HIV) nya tersebar,” kisah Silvi saat peluncuran catatan akhir tahun (Catahu) Delila periode 2023, di Jakarta, yang diakses secara daring, Rabu (7/2/2024).

Silvi adalah staf di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) wilayah Jakarta, yang menerima pengaduan korban kekerasan.

Sungguh peran yang tak mudah. Para korban yang ditanganinya punya kerentanan berlapis karena berstatus HIV-positif.

“Dia (korban) dari Majalengka, mendapat kekerasan, pindah ke Jakarta. Dia bermasalah sama BPJS-nya, koordinasi dengan dinas sosial, akhirnya BPJS-nya dibayarin. Ternyata untuk pengobatan HIV-nya tidak bisa, karena dia ada TB (tuberculosis), jadi harus ke RS. Dia bermasalah lagi, karena BPJS-nya di Majalengka,” kisahnya lagi.

Selain Silvi, ada 21 staf pengaduan IPPI yang tersebar di 10 provinsi.

Menurut Koordinator Nasional IPPI, Ayu Oktariani, sepanjang 2023, mereka menerima total 54 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan ODHIV.

NTT menjadi wilayah dengan aduan kasus terbanyak, dengan 21 kasus, disusul Jakarta (10), Lampung (5), Jateng (5), Bali (4), Jabar (3), Kalbar (2), DIY (2), Sumut (1), dan Sulut (1).

“Banyak sedikitnya kasus itu bukan berarti kasusnya nggak ada. Bisa jadi memang tidak tersampaikan atau korban tidak berani melapor atau memang korban memutuskan untuk memendam ini sendiri,” kata Ayu saat memaparkan catahu Delila 2023.

Sudah dua kali ini IPPI mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan ODHIV. Yang pertama dilakukan pada 2022, memuat hasil pelaporan selama dua tahun, sejak 2021. Angkanya mencapai 73 kasus.

“Peningkatannya cukup signifikan dari 73 di 2 tahun, (2023) hanya satu tahun saja 54,” tutur Ayu.

Temuan-temuan

Catatan IPPI menunjukkan sebagian besar korban berstatus ibu rumah tangga dengan latar belakang pendidikan paling banyak SMA.

“Tidak sampai 50 persen pelaku berstatus HIV, jadi banyak (pelaku) yang bukan orang dengan HIV. Hubungan pelaku dengan korban, paling tinggi itu di suami,” lanjutnya.

Rata-rata korban menerima kekerasan berlapis atau lebih dari satu, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.

“Mulai dari luka-luka fisik, sampai kemudian terhambatnya pemulihan kesehatan. Ada juga yang dia mendapatkan HIV dan TB (tuberculosis) setelah mendapatkan kekerasan. Lalu dampak secara seksual, ada kehamilan tidak diinginkan, ada yang dipaksa menggugurkan kandungan, ada yang terkena IMS (Infeksi Menular Seksual),” jelas Ayu.

Secara mental, para korban tertekan karena stigma dan diskriminasi.

“Malu, tertekan, depresi, takut, shock karena status HIV dibuka, bahkan ada yang takut di rumah sendirian, dia akhirnya tidak melakukan apa-apa, nggak mau keluar, nggak mau bicara. Ada yang jadi minder, ada yang takut bertemu pelaku, trauma bertemu dengan laki-laki in general, ada yang mengalami gangguan kejiwaan, kehilangan semangat hidup, bahkan sampai kehilangan hak asuh anaknya,” tutur Ayu.

Ada satu kasus yang memilukan karena berujung kematian. IPPI sangat menyayangkan peristiwa ini.

“Dia mendapatkan kekerasan dari pasangannya, lalu saat kekerasan terjadi, dia sampai pingsan, tapi tidak ada satupun keluarga yang menolong. Baru dibawa ke RS tiga hari kemudian dan meninggal dunia,” Ayu menceritakan.

IPPI juga menyoroti adanya enam korban yang masih remaja, tiga di antaranya adalah pekerja seks.

“Dua di antara tiga (pekerja seks) itu mendapatkan kekerasan dari mucikarinya. Kasus HIV-nya diketahui, nggak boleh ke RS, nggak boleh akses pengobatan. Sedangkan yang satu (pekerja seks) mendapatkan kekerasannya dari pelanggan,” ungkap Ayu.

Sedangkan tiga remaja ODHIV lain, dua di antaranya dilarang sekolah.

“Dua orang mendapatkan diskriminasi dari keluarga, karena dia HIV, nggak boleh keluar rumah, nggak boleh bergaul, nggak boleh sekolah. Terakhir, dia mendapatkan pelecehan dari pacarnya,” lanjut dia.

Ayu bilang, ada kemajuan dalam penanganan kasus, misalnya kian luasnya jaringan untuk membantu para korban. Namun, kendalanya pun masih banyak.

“Hambatannya justru masih di situ-situ saja. Mulai dari posisi tawar, tentunya tidak pnya kemampuan untuk bernegosiasi, say no, untuk menolak, memproses kalau dia mendapatkan kekerasan. Atau mereka nggak paham apa itu kekerasan. Jadi banyak yang akhirnya memutuskan untuk cerita aja tapi nggak mau menindaklanjuti,” jelas Ayu.

Baca juga: Orang dengan HIV (ODHIV) Bisa Menikah dan Punya Anak

Koordinator Nasional IPPI Ayu Oktariani (paling kiri) bersama dua petugas penerima pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan ODHIV. Mereka menerima 54 aduan sepanjang 2023, NTT menjadi wilayah dengan kasus terbanyak. (Foto: dok IPPI)

Fenomena gunung es

Temuan IPPI mengkonfirmasi sekaligus melengkapi data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). 

Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan (SPHP) KemenPPA menunjukkan kekerasan terhadap istri mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan pelaku terbanyak adalah suami.

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti mengatakan, saban tahun diperkirakan 8,2 juta perempuan menjadi korban kekerasan. Namun, yang berani melapor hanya belasan ribu.

“Yang melapor sekitar 11 ribuan artinya baru 0,1 persen saja korban kekerasan yang berani melaporkan (pada 2022),” kata Eni saat peluncuran catahu Delila 2023.

Kata Eni, terkadang pemda malah berperan melanggengkan fenomena gunung es dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Daerah berusaha menutup-nutupi laporan yang ada, supaya kemudian restorative justice, dengan damai, supaya tidak tercatat, tidak terlapor, supaya kelihatan daerahnya berprestasi karena laporan dari kekerasan itu menurun. Bahkan ada yang dipaksa laporannya adalah nol,” ungkap Eni.

Eni menekankan jumlah laporan meningkat justru bentuk prestasi. Artinya, makin banyak perempuan berani melapor, termasuk mereka yang HIV-positif. Karenanya, perlu dibangun sistem layanan terpadu, sehingga korban bisa mendapatkan penanganan dan pemulihan.

“Ketika perempuan yang menjadi korban kekerasan berani melapor, dia akan mendapatkan penanganan yang komprehensif dan tuntas, sehingga trauma-traumanya, dapat teratasi dengan tuntas. Kemudian, bagi pelaku juga sudah mendapatkan efek jera. Itu tujuan kita,” tutur dia.

Layanan terintegrasi

Pada 2021 lalu, KemenPPPA meluncurkan Ruang Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129, layanan terintegrasi yang bisa diakses perempuan dan anak korban kekerasan. Ke depan, Enny berharap layanan ini juga bermanfaat bagi perempuan dengan HIV.

“Perempuan dengan HIV/AIDS, membutuhkan pendekatan untuk pelayanan ketika dia mendapatkan kekerasan dengan pendekatan yang berbeda. Kami, karena minim informasi sehingga sampai saat ini belum ada panduan khusus bagaimana layanan rujukan akhir di Kemenpppa, melayani perempuan dengan HIV. Harapan kami, dengan data-data ini (Catahu IPPI) kita bisa tindak lanjuti,” ujar Eni.

Keberadaan layanan terpadu ditekankan pula oleh Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini. Ia mengakui akses kesehatan dan pengobatan bagi ODHIV memang membaik. Namun, layanan tersebut belum terintegrasi dengan sistem penanganan kasus kekerasan.

“Kemenkes sudah mengeluarkan semacam tata laksana untuk pedoman penanganan kekerasan terhadap perempuan di RS. Kami berharap Kemkes dan juga pemda mendorong banyak RS untuk menerapkan tata laksana ini supaya integrasi. Kalau ada urusan HIV/AIDS, masuk ruang sini, urusin dulu, lalu kalau ada kekerasan terhadap perempuan, ‘oh dia jauh ke sana tuh, untuk pemeriksaan’, harusnya dia bisa langsung integratif,” kata Theresia.

Menurut, Koordinator Nasional IPPI, Ayu Oktariani, sudah ada rumah sakit pemerintah yang menjadi proyek percontohan integrasi layanan HIV dengan penanganan kasus kekerasan. Yakni di RSUD Adhyatma, Semarang, Jawa Tengah, yang aktif sejak Desember 2023 lalu. Ayu berharap inisiatif ini bakal diperluas.

“Ada beberapa rumah sakit yang memang on process yang juga bicara tentang integrasi layanan yakni, RS Sanglah (Bali) dan RSUD Tarakan (Jakarta). Jadi mudah-mudahan dengan adanya RS yang sudah terintegrasi, otomatis di dua isu, kekerasan maupun HIV-nya bisa connected, karena sistemnya sudah terbangun,” ujar Ayu.

Penulis: Ninik Yuniati