NASIONAL

Biaya Sekolah Picu Inflasi, JPPI: Anggaran Pendidikan Jangan Salah Sasaran

Banyak lembaga pendidikan, khususnya sekolah dasar di daerah ini menaikkan iuran sekolah sehingga memicu inflasi pada Agustus 2024.

AUTHOR / Astri Septiani

EDITOR / R. Fadli

Anggaran Pendidikan
Hari pertama masuk sekolah di Aceh Barat, Aceh (15/7/2024). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merespons laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang kemarin (2/9/2024) menyebutkan, biaya pendidikan menjadi penyumbang utama inflasi pada Agustus 2024.

Tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya sekolah dasar yang sebesar 1,59 persen, diikuti oleh biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78 persen, biaya akademi/perguruan tinggi 0,46 persen, serta biaya sekolah menengah atas 0,36 persen.

Kasus di Jakarta misalnya menunjukkan, ternyata banyak lembaga pendidikan, khususnya sekolah dasar di daerah ini menaikkan iuran sekolah sehingga memicu inflasi pada Agustus 2024.

Dilihat dari kelompok pendidikan, komoditas utama penyebab inflasi pada Agustus 2024 adalah biaya iuran SD dan SMP.

Hal senada juga terjadi di Jawa Timur. Pada Juli 2024 inflasi mencapai 2,13 persen, dengan penghitungan pengeluaran terbesar di biaya pendidikan.

“Ini kenyataan aneh. Bagaimana bisa, pendidikan dasar yang mestinya wajib dibiayai dan ditanggung oleh pemerintah kok malah jadi penyumbang inflasi terbesar. Tarif biaya sekolah yang terus meroket ini menunjukkan bahwa pemerintah belum melaksanakan amanah konstitusional pasal 31 UUD 1945 soal kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan bagi setiap warga negara,” kata Ubaid Matraji Kornas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melalui rilis tertulis yang dikirimkan ke KBR Media (3/9/2024).

Pendidikan di Indonesia ternyata masih saja jadi barang mewah yang mahal. Berdasarkan data survei HSBC pada 2018, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia.

Rata-rata nasional, dari jenjang SD sampai Sarjana, membutuhkan biaya sejumlah US$18.422 atau sekitar Rp287 juta. Jumlah biaya ini tergolong lebih tinggi dari negara Perancis yang mencapai 17.708 atau sekitar Rp260 juta.

“Karena biaya pendidikan dasar yang masih tinggi, maka masih ditemukan jutaan anak-anak tidak bisa sekolah. Hal ini jelas berdampak pada keberlanjutan anak untuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi. Puncak kesenjangan dan ketimpangan akan kian terlihat nyata di jenjang pendidikan tinggi,” kata Ubaid.

Berdasarkan hasil Survei Sosiekonomi Nasional (Susenas) 2023 oleh BPS menunjukkan bahwa, hanya 10,15 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengenyam pendidikan tinggi.

Menurut Ubaid, hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh tiga faktor utama.

Pertama, lemahnya political will dari pemerintah. Dalam mengurusi pendidikan, hingga kini pemerintah tidak punya peta jalan yang jelas mau dibawa kemana pendidikan kita ini. Tiap presiden punya agenda baru, pun menteri pendidikan baru punya program prioritas baru. Ini menyebabkan problem utama soal ketimpangan akses dan kesenjangan kualitas pendidikan menjadi problem warisan turun-temurun yang tak terselesaikan. Bahkan, pemerintah juga belum bisa mengelola dana pendidikan dengan baik.

“Jangankan sesuai sasaran dan tujuan, menyerap saja pemerintah masih kewalahan. Tahun 2023, ditemukan Rp 111 trilliun anggaran pendidikan tak terserap. Hingga kini masih belum jelas, apa saja dan mengapa bisa terjadi,” kata Ubaid.

Kedua, alokasi anggaran pendidikan yang salah sasaran. Anggaran pendidikan tiap tahun selalu naik, tapi dampaknya apa? Belum juga menyelesaikan masalah dasar pendidikan soal kemudahan akses sekolah bagi semua anak, tanpa terkecuali.

“Anggaran pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi untuk pelaksanaan program wajib belajar dengan bebas biaya saja, tidak mampu dipenuhi. Yang ada malah sebagian besar anggaran pendidikan disunat oleh belanja pegawai dan juga belanja kementerian dan lembaga lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Tahun depan, anggaran pendidikan juga kembali akan disunat oleh agenda makan bergizi gratis. Sampai kapan penganggaran yang salah sasaran ini akan diteruskan?” kata Ubaid.

Ketiga, kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Agenda komersialisasi dan privatisasi pendidikan ini begitu nyata dirasakan oleh masyarakat. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka peran pemerintah semakin kecil sementara peran swasta kian besar. Peran pemerintah semakin hari semakin menciut, sementara peran swasta dalam pendidikan kian dominan.

Hal ini bisa dilihat secara sederhana dari sisi jumlah lembaga pendidikan. Di jenjang pendidikan dasar jumlah SDN mencapai 75 persen, SMPN 42 persen, SMAN/SMKN 33 persen, dan PTN hanya 9 persen (BPS 2023).

“Tentu ini sangat merepotkan masyarakat golongan kelas menengah dan bawah. Mereka akan kesulitas akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena harus memenuhi tarif biaya pendidikan yang tambah mahal,” pungkas Ubaid.

Baca juga:

Biaya Sekolah Kembali Jadi Penyumbang Utama Inflasi Agustus 2024

Korupsi di Sektor Pendidikan, Kerugian Negara Rp916 Miliar

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!