NUSANTARA

Berharap Solusi pada Ranperpres Pendirian Rumah Ibadah

Pembahasan Ranperpres PKUB cukup alot, terutama saat menyentuh syarat-syarat pendirian rumah ibadah. Saat ini pembahasan dihentikan sementara sampai berakhirnya Pemilu 2024.

AUTHOR / Yudha Satriawan, Hoirunnisa, Ardhi Ridwansyah

rumah ibadah
Spanduk penolakan alih fungsi bangunan untuk sekolah minggu di Banyuanyar, Solo, Jawa Tengah. (Foto: Istimewa/Yudha)

KBR, Jakarta - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tak bicara banyak ketika ditanya mengenai rencana pembuatan aturan baru mengenai pendirian rumah ibadah. Rencananya, aturan itu akan dimuat dalam Peraturan Presiden mengenai Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB).

Menurut Yaqut, Rancangan Perpres PKUB itu masih di tangan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamaan Mahfud MD.

"Kita masih nunggu Menkopolhukam Pak Mahfud, nanti Raperpres PKUB terkait Pendirian tenpat ibadah itu biar diorkestrasi, disinkronkan secara hukum. Regulasi itu akan naik terus. Penerapannya ya tunggu saja", ujar Yaqut saat menjawab pertanyaan jurnalis KBR di Solo, Jumat (29/9/2023).

Rancangan Perpres PKUB rencananya akan menggantikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah. Aturan ini kerap disebut dengan istilah SKB 2 Menteri.

Yaqut Cholil Qoumas tak menjelaskan mengenai bagaimana nanti penerapan rancangan regulasi baru itu di daerah. Ia hanya mengatakan Raperpres PKUB akan terus didorong agar segera disahkan Presiden.

Baca juga:


***

Kesulitan mendirikan rumah ibadah itu juga dialami jemaat umat Kristiani di Banyuanyar, Solo. Bahkan, bangunan tempat sekolah Minggu yang dikelola GKJ Nusukan Solo ikut disegel.

Perwakilan GKJ Nusukan, Pendeta Eko Prasetyo mengatakan aktivitas sekolah Minggu di lokasi itu sudah digelar sejak 1990-an. Ada sekitar 15-an anak yang mengikuti kegiatan di situ. Namun ia enggan bicara banyak mengenai penyegelan dan pemasangan spanduk yang dilakukan kelompok warga. Ia hanya menyebut 'ormas' saja.

"Ada ormas yang ikut mendampingi, sehingga yang menurunkan spanduk mereka sendiri. Itu memang kesalahpahaman. Memang ada pembangunan gereja, tapi tidak seperti itu," kata Pendeta Eko.

Di lain pihak, Koordinator Umat Islam Banyuanyar, Jawari mengatakan pihaknya akan menerima pendirian rumah ibadah asal pihak gereja memenuhi regulasi yang ada. Jawari menegaskan perizinan mutlak harus dipenuhi apapun agamanya termasuk saat pendirian masjid bagi unat Islam.

"Kami sudah sepakat akan menerima asal semua sesuai dengan regulasi yang ada. Kami serahkan pada pihak berwenang dalam hal ini Kemenag dan dipantau FKUB," kata Jawari.

red

Mengenai penyegelan sekolah Minggu, Ketua FKUB Kota Solo, Mashuri mengatakan masalah itu muncul karena alih fungsi rumah tinggal menjadi sekolah Minggu.

"Pertama kali kita dengar kabar ini langsung kami berinisiatif untuk audiensi dari pihak Koordinator Umat Islam Banyuanyar dan pihak Gereja. Itu rumah yang dialihfungsikan untuk sekolah minggu. Ini yang membuat lingkungan tidak nyaman karena belum punya izin tentang itu. Makanya kita serahkan ke Kemenag yang berhak mengeluarkan izin tentang sekolah minggu ataupun masalah peribadatan di masyakarat," kata Mashuri.

Dari hasil mediasi, dicapai kesepakatan bahwa jemaat di dua lokasi yang akan dibangun gereja itu untuk sementara bergabung dengan jemaat gereja di wilayah terdekat. Sambil menunggu terbitnya surat resmi izin mendirikan tempat ibadah sesuai regulasi.

Baca juga:

***

Penyusunan dan pembahasan Ranperpres PKUB ternyata cukup alot, terutama saat menyentuh syarat-syarat pendirian rumah ibadah.

Sejumlah pihak ingin menghapus syarat 90-60 yang termuat dalam Pasal 23 ayat (2) Ranperpres PKUB. Syarat itu adalah ada tanda tangan dan KTP dari 90 jemaat yang ingin mendirikan tempat ibadah di suatu wilayah dan mendapat dukungan 60 orang warga di wilayah itu. Namun, ada pihak yang tetap ingin mempertahankan syarat tersebut.

Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) termasuk yang ingin menghapus syarat tersebut.

Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra mengatakan syarat itu kerap kali justru mempersulit pendirian rumah ibadah. Padahal, gagasan penyusunan Ranperpres PKUB adalah untuk memudahkan umat beragama mendirikan rumah ibadah.

"Sebagian besar sudah tapi prasyarat 90-60 itu kan ada sebagian besar menghendaki aspirasi publik. Supaya kalau bisa dihapus saja, Tapi tidak mudah menghapus itu. Jadi kami main kami baik dari PGI kali dan beberapa majelis agama itu coba untuk negosiasi itu menjadi 60-40. Itu cuma sebagai usulan. Itu cuma prosesnya di draft yang terakhir yang hasil pertemuan kami itu dengan Wamenkumham sepertinya belum," kata Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra kepada KBR, Selasa (19/9/2023).

Saat ini pembahasan Ranperpres PKUB dihentikan sementara sampai berakhirnya Pemilu 2024. Henrek Lokra mengatakan dengan jeda itu, otomatis proses sampai ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden juga terhenti.

Henrek Lokra mengakui Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama merupakan suatu kemajuan dalam mengakomodasi umat beragama.

Henrek Lokra mengaku sambil menunggu pembahasan dilanjutkan, PGI akan melakukan kajian internal dengan masyarakat sipil lintas agama guna mematangkan pembahasan Raperpres.

Aturan 90-60 dalam Ranperpres PKUB juga mendapat sorotan dari LSM Setara Institute.

Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan persyaratan tersebut berpotensi membatasi kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2).

"Formula 90,60 sebagai syarat administratif untuk pengajuan pendirian rumah ibadah itu mesti disoal, kenapa? Karena sesungguhnya kalau kita mengacu pada konstitusi, jaminan itu kepada perseorangan, hak itu melekat pada perorangan pada pemeluk agama berapa pun jumlah mereka dalam kelompok,” kata Halili kepada KBR, Selasa (19/9/2023).

Halili menyebut syarat 90 orang pengguna rumah ibadah terlalu banyak sehingga bisa dikurangi. Sementara syarat persetujuan kepada 60 orang pendukung tidak relevan dan tidak perlu ada.

“Kalau 60 dukungan dari luar calon pengguna (rumah ibadah) itu sama sekali tidak relevan karena ketika kita memberikan ruang kepada yang berbeda untuk memberikan dukungan, itu potensial untuk memberikan ruang intervensi dari agama yang berbeda terhadap mereka yang mengajukan pendirian rumah ibadah,” kata Halili.

Kendati demikian dalam Pasal 23 ayat (3) Rancangan Peraturan Presiden Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, jika syarat mendapat persetujuan dari 60 orang pendukung tak terpenuhi, bupati/wali kota memfasilitasi lokasi pendirian rumah ibadah.

Baca juga: Ketika Izin Pendirian Gereja Ditolak Warga di Kota Toleran

Editor: Agus Luqman

Laporan ini merupakan liputan kolaborasi dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) 2023.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!