NASIONAL
BEM FH Unpad Waspada Usai Penggugat UU TNI Diintimidasi, Ada yang Terusik?
"Pemerintah dan aparat mesti sadar, bahwa ..."

KBR, Jakarta- Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), Moch Rasyid Gumilar mewaspadai potensi intimidasi yang muncul, setelah mereka menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Rasyid mengaku telah menerima sejumlah panggilan telepon mencurigakan dari nomor tidak dikenal, tanpa identitas, dan secara berulang, tepat setelah mengajukan permohonan uji formil UU TNI.
"Ini tentunya akan membuat kami tetap waspada. Dalam medan seperti ini, kita tidak boleh naif dan kami tahu, bukan tidak mungkin apa yang terjadi pada mahasiswa UII bisa juga menimpa kami atau mahasiswa lainnya. Tetapi, rasa takut tak boleh jadi alasan untuk mundur," tegasnya.
Rasyid juga menanggapi dugaan intimidasi terhadap sejumlah penggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Fakta bahwa intimidasi ini muncul justru menegaskan satu hal penting, ada pihak-pihak yang terusik. Ada kekuasaan yang gelisah," katanya kepada KBR, Rabu, (28/05/2025).
Rasyid yang juga salah satu pihak pemohon uji formal UU TNI, menyebut, intimidasi terhadap proses hukum yang sah merupakan bentuk perlawanan terhadap demokrasi.
"Ada ketakutan dari mereka yang selama ini nyaman duduk di balik pasal-pasal yang cacat prosedur dan ketika kekuasaan mulai takut pada suara mahasiswa, itu artinya gerakan ini benar-benar sedang mengganggu kenyamanan sistem yang bobrok," katanya.
Tetap Lanjut
Rasyid menegaskan, komitmen mereka untuk terus melanjutkan perjuangan meski menghadapi tekanan.
"Praktik intimidasi semacam ini adalah bentuk pengejawantahan mental tirani. Ini bukan watak negara hukum dan jika kita diam, maka keheningan kita akan melegitimasi teror sebagai metode pengendalian sosial," katanya.
Menurutnya, keberanian adalah sikap yang harus dipegang teguh di tengah tekanan seperti ini.
"Keberanian adalah harta terakhir yang kita miliki, kalau pun taruhannya adalah nyawa, memilih berani atau tidak toh kita akan mati juga pada waktunya, maka memilih menjadi berani bersuara untuk memastikan kehidupan berdemokrasi yang lebih baik di masa yang akan datang tentu harusnya menjadi pilihan," tuturnya.
Sebagai bentuk antisipasi, Rasyid telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan keamanan dan mengantisipasi kemungkinan mendapat intimidasi dari pihak manapun. Rasyid juga berharap, negara menjalankan fungsinya menjamin hak konstitusional setiap warga.
"Pemerintah dan aparat mesti sadar, bahwa membiarkan intimidasi terhadap mahasiswa, berarti membuka jalan pada iklim ketakutan, yang akan menggerus demokrasi dari dalam," tutupnya.
"Maka harapan kami sederhana, bertindak sebagaimana mestinya. Jangan bungkam suara. Jangan tutup mata. Jangan diam saat hak warga negaranya terancam oleh praktik intimidasi," ujarnya.

Mahasiswa UII Diintimidasi Orang Tak Dikenal
Belum lama ini, tiga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) yang menjadi pemohon uji formil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku diintimidasi orang tak dikenal (OTK) yang mengatasnamakan MK.
Dilansir dari Tempo.co, intimidasi mulanya dialami Handika yang tinggal di Penawangan, Grobogan, Jawa Tengah. Pada Ahad, 18 Mei 2025, dua orang tak dikenal mengaku sebagai utusan MK mendatangi ketua RT setempat.
Orang tak dikenal itu mengaku sedang memverifikasi faktual terkait permohonan uji materi yang diajukan Handika dan meminta informasi keseharian serta salinan Kartu Keluarga Handika. Ketua RT lantas menyerahkan dokumen tersebut, yang kemudian difoto kedua OTK.
Selain itu, Irsyad, yang berdomisili di Marga Tiga, Lampung Timur, juga mengalami hal serupa. Ada seorang pria mengaku berasal dari MK dan mendatangi rumah ketua RT Irsyad. Sebelum itu, ketua RT sudah menerima telepon dari seseorang yang mengaku sebagai Babinsa dan menyatakan Irsyad sedang dicari.
OTK itu membawa surat tugas dari MK, meski tak sempat didokumentasikan oleh RT, dan menggali data pribadi serta ciri fisik Irsyad. Ia bahkan sempat meminta nomor kontak pribadi Irsyad, namun ditolak ketua RT.
Babinsa Minta Data
Arung, mahasiswa asal Kutorejo, Mojokerto, Jawa Timur, juga mengaku diminta datanya. Permintaan ini dilakukan Bintara Pembina Desa (Babinsa), atas perintah Kodim 0815 Mojokerto.
Informasi ini didapat dari ayah Arung, yang menjabat sebagai kepala desa setempat. Ia menaruh curiga setelah mengetahui adanya pengambilan data dari kantor desa pada 19-20 Mei 2025.
Respons Istana
Dilansir dari kompas.id, menanggapi dugaan intimidasi terhadap mahasiswa UII, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan, para mahasiswa itu menjalankan tindakan-tindakan sesuai koridor hukum dan dilindungi konstitusi. Ia menegaskan, pemerintah tidak mempermasalahkan upaya gugatan yang ditempuh para mahasiswa.
”Jadi, pemerintah merasa sama sekali tidak terganggu dengan masyarakat, kelompok masyarakat, akademisi, mahasiswa yang sedang menjalankan tugas konstitusional mereka. Apalagi mereka menempuh jalur yang juga konstitusional. Kami tidak punya keberatan sama sekali,” jelas Hasan, dikutip dari Kompas.id.
Hanya saja, kata Hasan, segala dugaan perbuatan yang mengarah ke pelanggaran hukum hendaknya dilaporkan ke aparat penegak hukum. Hasan menginginkan persoalan-persoalan itu tidak lagi menjadi pertanyaan bagi publik. Lewat proses itu, peristiwa yang mereka alami bisa dijelaskan secara rinci.
”Untuk dugaan-dugaan yang beredar, sebaiknya dilaporkan kepada pihak yang berwajib supaya terang benderang siapa melakukan apa, kejadiannya seperti apa, dilakukan oleh siapa, apakah benar terkait aktivitas mereka, atau terkait dengan hal yang lain,” kata Hasan.
Puan Minta Polisi Mengusut
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani meminta, kepolisian mengusut dugaan intimidasi terhadap mahasiswa yang menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi. Puan mengatakan, intimidasi itu tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja.
"Kita akan pertanyakan kepada aparat penegak hukum siapa yang kemudian mengintimidasi, atas dasar apa diintimidasi, dan kenapa terjadi hal tersebut," ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Ahad, 25 Mei 2025, dikutip dari Tempo.
Puan tidak banyak komentar. Alasannya, karena baru mendengar kasus tersebut. Kendati begitu, Puan mengklaim akan memerhatikan perkembangan kasusnya.
"Ini saya baru juga mengetahuinya dari media, namun jika memang seperti itu kita akan lihat," tuturnya.
Penjelasan Ketua MKMK dan Hakim MK
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna meyakini, orang tak dikenal yang mengintimidasi tiga pemohon uji materi UU TNI bukan dari MK.
"Saya yakin MK tidak mungkin melakukan tindakan seperti itu," kata Palguna saat dihubungi pada Jumat, 23 Mei 2025, dikutip dari Tempo.co.
Menurut dia, MK justru selalu memudahkan akses orang yang mencari keadilan. Kemudahan akses itu, juga telah diatur di dalam lingkungan MK. "Semuanya memudahkan access to justice," ucapnya.
Sementara itu, Hakim MK Arief Hidayat juga membantah tudingan yang menyebut lembaganya mengirimkan staf verifikator untuk memverifikasi ke kediaman para pemohon uji materi UU TNI.
“Enggak pernah ada itu. Minta verifikasi virtual, itu verifikasi gimana? Dari MK enggak ada,” kata dia dalam sidang Perbaikan Permohonan Uji Formil UU Nomor 3 Tahun 2025 Perubahan Atas UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, di Gedung MK, Kamis, 22 Mei 2025.
KBR Media berupaya menghubungi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Kristomei Sianturi untuk mengonfirmasi dugaaan intimidasi tersebut. Hingga berita ini dipublikasikan belum ada tanggapan dari yang bersangkutan.

11 Pengujian Formil UU TNI
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang 11 perkara pengujian formil dan materiil UU TNI, Jumat 9 Mei 2025. Sidang terbagi dalam tiga panel.
Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani menyidangkan Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 55/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025, dan Perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025.
"Jadi, ini baru untuk pertama, ya, dalam sejarah Mahkamah Konstitusi, isu yang sama itu disidangkan serentak dalam tiga panel yang berbeda. Nah, ini pertama baru, nih, dalam sejarah Mahkamah Konstitusi, karena banyak sekali permohonan. Jadi, memang antusiasme untuk mengajukan permohonan tinggi," kata Saldi dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat, (9/5/2025).
Perkara Nomor 45 dimohonkan tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siahaan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.
Perkara Nomor 55 diajukan karyawan swasta Christian Adrianus Sihite dan Noverianus Samosir.
Perkara Nomor 69 dimohonkan lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.
Perkara Nomor 79 tercatat dengan pemohon yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yaitu Endrianto Bayu Setiawan, Raditya Nur Sya’bani, Felix Rafiansyah Affandi, Dinda Rahmalia, Muhamad Teguh Pebrian, dan Andrean Agus Budiyanto.

Cacat Formil
Penggugat pertama dari mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 dengan kuasa hukum Abu Rizal Biladina menilai, terjadi cacat formil dalam proses pembentukan UU TNI.
Menurutnya, proses pembahasan UU TNI melanggar ketentuan Pasal 22A UUD 1945 mengatur mengenai perubahan UUD, sedangkan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum.
Uji pendahuluan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, Rabu (14/05) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mengatur tata cara pembentukan undang-undang telah dilanggar sehingga proses penyusunan RUU TNI tidak sah secara formil.
"Kecacatan formil dalam proses penyusunan RUU TNI menyebabkan ketidakpastian hukum terutama bagi para pemohon yang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan proses legislasi sesuai dengan ketentuan undang-undang P3 tidak terpenuhi," katanya dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat, (9/5/2025).
Berdasarkan uraian tersebut, para pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk, pertama, meminta MK mengabulkan seluruh permohonan. Kedua, menyatakan UU TNI yang baru disahkan tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan undang-undang.
"Ketiga UU TNI bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," tambahnya.
Keempat, menyatakan ketentuan norma dalam UU TNI sebelumnya yang telah dihapus atau diubah berlaku kembali. Kelima, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Prajurit TNI Menduduki Jabatan Pemerintahan
Para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Riyan Fernando, pemohon 5 Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menyebut setidaknya ada tiga asas yang dilanggar dalam pembentukan UU TNI 2025, yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasil gunaan, serta asas keterbukaan.
Riyan menyebutkan, adanya perluasan peran prajurit aktif TNI pada kementerian/lembaga negara bertujuan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan sumber daya manusia. Namun, menurutnya perluasan peran prajurit aktif TNI pada kementerian/lembaga tidak memiliki kejelasan tujuan yang sejalan dengan reformasi dan justru berisiko menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI.
"Penempatan prajurit TNI di jabatan sipil dapat mengikis prinsip meritokrasi menciptakan benturan antarbudaya militer dengan sistem tata kelola sipil yang demokratis sehingga tidak terjaminnya penyelenggaraan pemerintah yang baik," katanya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Jumat, (9/5/2025).

Tidak Transparan
Selain itu, pemohon mengkritisi proses legislasi yang dianggap tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Ia menilai, RUU TNI ini tidak didasarkan pada kebutuhan mendesak dan tidak menunjukan manfaat nyata bagi masyarakat luas.
"Dalam konteks ketenagakerjaan, penempatan prajurit TNI di jabatan sipil juga berpotensi mengurangi kesempatan kerja bagi warga sipil. Di tengah tingginya angka pengangguran di Indonesia," ujarnya.
Karena itu, selain mengajukan pengujian formil, Perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025 juga mengajukan pengujian materiil pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 yang berbunyi, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat, kecuali jika dimaknai keterlibatan TNi dalam membantu tugas pemerintah di daerah harus berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 15 yang berbunyi, "bantuan TNI dalam menanggulangi serangan siber yang mengancam system pertahanan nassional dilakukan dalam kerangka hukum yang sah.
"Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi “Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10,” kata Endrianto Bayu Setiawan dikutip dari Youtube MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumat (9/5/2025).
Pasal 47 ayat (1) juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali jika dimaknai prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian, Lembaga yang membidangi kesekretariatan dan militer presiden kejaksaan Republik Indonesia, dan mahkamah Agung.
Serta Pasal 47 ayat (3) yang berbunyi “Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga.”
"Tujuh memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila ia majelis hakim konstitusi berpendapat lain, mohon ditetapkan putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono," tutupnya.
DPR menyetujui pengesahan Revisi Undang-Undang TNI menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis, (20/3/2025). Pengesahan dilakukan di tengah gelombang protes dan penolakan dari masyarakat sipil, salah satunya demo di depan Gedung DPR RI.
Baca juga:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!