NASIONAL
Beban Ganda Perempuan, Negara dan Laki-Laki Turut Melanggengkan
Ia mengaku lelah harus bertugas jadi ibu rumah tangga sekaligus bekerja. Waktu istirahatnya terkuras habis.

KBR, Jakarta- Natalia harus menjalani beban ganda setiap hari, sebagai pengemudi ojek online di Jakarta, seorang istri, dan juga ibu kedua anaknya. Ia mengaku lelah harus bertugas jadi ibu rumah tangga sekaligus bekerja. Waktu istirahatnya terkuras habis.
Natalia bahkan melewatkan waktu menemani tumbuh kembang anaknya. Tetapi, ia tak punya pilihan lain, demi keberlangsungan keluarganya. Ia menyadari, tak semua perempuan memiliki hak dan kesetaraan yang sama dalam segala aspek, termasuk di ranah domestik.
“Waktu (istirahat nya) kurang. Kayanya dalam 24 jam, ya, 35 jamnya (bekerja terus). Terus buat para ibu-ibu dijamin deh gonjreng kerjaan rumah semuanya enggak ada yang kelewat. Mumet sih, cuman kita,kan. enggak bisa memilih. Sudah jadi (tugas) cewek aja. Karena kan budaya kita juga beda. Dari kecil kan cewek dan cowok (tugasnya) itu sudah dibedakan,” ujar Natalia kepada KBR, Jumat, (7/3/2025).
Mengenalkan Kesetaraan ke Anak
Natalia mulai mencoba menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam menjalankan tugas rumah tangga dengan suaminya, tetapi sebagian besar tetap ia yang menangani. Padahal, istri dan suami punya hak kewajiban sama dalam mengelola rumah tangga.
Ia menyebut, ketimpangan antara tugas istri dan suami terjadi lantaran budaya patriarki di Indonesia. Natalia berharap, pemerintah bisa memberikan edukasi sejak dini terkait pemahaman kesetaraan gender, seperti yang ia mulai lakukan kepada kedua anaknya.
"Ini saya mulai membedakan, ya, karena ada anak cowok dan anak cewek. Jadi, mulai lagi dari awal, saya juga mulai belajar dari awal dulu deh dari rumah, dari diri sendiri. Jadi cewek dan cowok itu kewajibannya harus sama. Enggak ada pembagian tugas. Cuma kalau dilihat saya enggak sempat (ngerjain kerjaan rumah), ya, otomatis dia (suami, red) yang harus mau ngerjain,” katanya.
Peran Laki-Laki
Kelompok laki-laki menyadari, selama ini kaum merekalah yang kerap jadi bagian dari masalah beban ganda perempuan.
Koordinator Kolektif Nasional Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), Syaldi Sahude menilai, laki-lakilah yang melanggengkan dan melestarikan beban ganda perempuan. Sehingga menjadi tanggung jawab juga laki-laki untuk menghilangkan beban ganda di perempuan.
"Karena, most, sebagian besar perempuan-perempuan bekerja yang saya temui, yang mengalami pasti beban ganda, itu bekerja karena memang ada kebutuhan ekonomi di situ. Dan selama ini problemnya dilihat perempuan ini juga tetap harus menjalankan peran-peran tradisional sebagai ibu rumah tangga yang mengurus masalah-masalah domestik mulai dari pengasuhan, bersih-bersih, dan seterusnya," tuturnya kepada KBR, Jumat, 07 Maret 2025.
Andil Negara
Menurut Syaldi, selain budaya dan agama, negara turut andil melanggengkan beban ganda perempuan. Misal dalam melahirkan kebijakan dan undang-undang. Itu terlihat salah satunya dalam UU tentang Perkawinan.
"Sehingga hal yang paling terlihat sebenarnya, paling gampang kita lihat itu di Undang-Undang Perkawinan. Ada kepala rumah tangga, ada ibu rumah tangga. Kenapa enggak bapak rumah tangga saja misalnya gitu, ya. Nah, pembagian peran itu yang membuat garis lebih jelas dalam peran negara melihat bahwa laki-laki di publik, sementara perempuan di domestik," kata Syaldi kepada KBR, Jumat, (7/3/2025).
Syaldi menyebut, di zaman sekarang pembagian peran menjadi sumir, terutama di kelompok masyarakat urban. Tetapi, semua itu bisa diubah, meski tak mudah.
"Banyak sekali langkah-langkahnya. Pertama tentu saja langkah kecil, ya, kita enggak bisa langsung membalik telapak tangan untuk membuat perubahan yang drastis. Tapi, misalnya mulai berbagi peran dengan pasangan di rumah gitu, ya. Misalnya kita sama-sama bekerja maka sepulang kerja ada yang memasak, ada yang membersihkan rumah, ada yang mencuci. Tidak semua kemudian dibebankan kepada perempuan saja. Jadi, itu langkah kecil yang paling bisa kita lakukan," ucapnya.
Syaldi bilang, pemerintah sebetulnya telah berkomitmen turut menekan peran ganda perempuan. Lewat Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Namun, penerapannya masih jauh dari harapan.
"Kalau pemerintah mau mulai, bisa mulai dari kebijakannya yang menurut saya justru itu yang melestarikan beban ganda untuk perempuan dan peminggiran perempuan. Baru kemudian implementasi pengarusutamaan gender. Saya pikir itu dari tahun 2000 kalau enggak salah, Inpres Nomor 9. Itu dilaksanakan betul-betul, diawasi, dimonitoring, dan kemudian dievaluasi setiap tahunnya," pungkas Syaldi.
Dimulai dari Pemerintah
KBR telah berupaya menghubungi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk menanyakan peran negara mengurangi beban ganda perempuan. Namun, belum ada jawaban hingga berita ini diterbitkan.
Tetapi sebelumnya, Staf Ahli Menteri PPPA bidang Hubungan Kelembagaan, Indra Gunawan menyebut, salah satu tantangan pengarusutamaan gender adalah mengubah paradigma atau persepsi dari masyarakat. Kata dia, pengarusutamaan gender harus dimulai dari pemerintah.
"Dan sampai sekarang ini menjadi salah satu ruh bagi rencana pembangunan terutama RPJMN, RPJP, itu pasti ada memasukkan isu gender di dalamnya. Jadi gender mainstreaming pengarusutamaan gender itu menjadi salah satu bagian dari mainstreaming di dalam pembangunan," kata Indra dikutip dari YouTube UN Indonesia, Kamis, (6/3/2025).
Indra menyebut, strategi pengarusutamaan gender untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Salah satu strateginya adalah dengan memberdayakan perempuan secara ekonomi, misalnya para pelaku UMKM yang mayoritas adalah perempuan.
Berlipat Ganda
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai beban ganda perempuan harus segera ditekan. Negara dinilai bertanggung jawab dalam melahirkan regulasi dan kebijakan tentang pengarusutamaan gender.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei, beban perempuan bukan lagi ganda melainkan berlipat ganda.
“Kalau sekarang saya melihat, Komnas Perempuan melihat bahwa sekarang bukan hanya peran ganda, tapi peran yang bertumpuk-tumpuk itu. Dulu sebelum perempuan terlibat secara aktif di ruang-ruang publik, bekerja juga pencari nafkah utama bahkan, itu sebelum perempuan masuk di wilayah-wilayah itu, itu perempuan sudah mengalami ketidakadilan berupa beban ganda itu," katanya.
Iman Nahei menyebut, setidaknya ada du aspek yang harus dilakukan untuk mengurangi beban ganda perempuan.
“Pertama aspek budaya. Yang aspek budaya ini kadang-kadang didukung oleh tafsir-tafsir agama, bahwa tugas perempuan itu di rumah, tugas perempuan itu merawat anak, mendidik anak, dsb. Itu dogma-dogma agama itu masuk ke ruang budaya itu. Maka harus ditata juga tafsir agamanya dan juga untuk menyuplai bagaimana percepatan perubahan budaya,” ujarnya, Jumat, (07/03/2025).
Negara Turut Mengabadikan Beban Ganda
Lalu, ada juga aspek kebijakan negara. Dari sisi aspek ini, menurut Imam, negara perlu terlibat serius dalam mengurangi beban ganda perempuan. Sebab, selama ini negara masih terlibat dalam mengabadikan beban ganda itu.
"Misalnya jabatan-jabatan sekretaris, jabatan-jabatan bendahara, jabatan-jabatan tertentu itu masih dilekatkan pada jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan. Negara penting untuk membuat kebijakan-kebijakan yang menghapus pembakuan peran-peran gender itu. Tidak ada lagi misalnya pekerjaan, ini pekerjaan perempuan, ini pekerjaan laki-laki, yang dalam banyak hal justru pekerjaan yang perempuan ini, pekerjaan-pekerjaan yang dalam tanda petik itu kadang-kadang gajinya jauh lebih rendah daripada pekerjaan-pekerjaan yang dibakukan pada laki-laki."
Menurutnya, pembakuan peran-peran gender di ruang publik, di ruang negara, turut melahirkan pemiskinan terhadap perempuan.
"Jadi, negara penting untuk segera menyisir bagaimana kebijakan-kebijakan yang membakukan peran laki-laki dan perempuan, dan itu masih banyak di tubuh negara, itu segera dihapuskan, segera diakhiri. Itu kalau perempuan menganggap sebagai kebijakan-kebijakan yang diskriminatif,” pungkasnya.
Hari ini, Sabtu, 8 Maret 2025, dunia memperingati Hari Perempuan. Tujuan peringatan ini adalah untuk memperoleh kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan.
Namun, meski sudah diperingati tiap tahun, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki masih terjadi di berbagai bidang.
Baca juga:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!