NASIONAL
Bagaimana Memperkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak?
"Masyarakat adat kita hari ini perlu resiliensi. Jadi saya pikir penting resiliensi atau daya tangguh itu, tapi yang jauh lebih penting adalah resistensi masyarakat adat itu jauh lebih penting."

KBR, Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang sejauh ini belum disahkan sebagai proyek mangkrak di DPR RI.
Menurut Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, keputusan yang belakangan lahir malah justru berbagai kebijakan yang selalu digunakan untuk merampas wilayah adat.
“Harus kita ingat, masa Presiden Jokowi jugalah kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) yang selama ini menjadi tumpuan harapan kita, yang mengatakan ‘hutan adat bukan hutan negara’ itu kemudian juga dilemahkan,” ujar Rukka dalam Dialog Publik Rakernas AMAN VIII: Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak yang diselenggarakan di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/4/2025).
AMAN menggelar Rapat Kerja Nasional VIII di Desa Kedang Ipil, wilayah adat Kurai Adat Lawas Sumping Layang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada 14-16 April 2025. Rakernas tahun ini mengusung tema “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak”.
Rukka mengatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga dianggap bertentangan dengan hak konstitusional masyarakat adat.
“Tidak pernah dibicarakan dengan kita masyarakat adat, khususnya dengan AMAN, dan saat ini kita sudah menggugat uji formil undang-undang tersebut di MK. Sampai hari ini, belum ada jawabannya,” tuturnya.
AMAN, lanjut Rukka, juga mencatat dalam dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo pula, ada sekitar 11,7 juta hektar wilayah adat yang hilang. Selain itu, kasus kriminalisasi juga masih tinggi yang menandakan pemburukan situasi yang dialami masyarakat adat.
“Kriminalisasi tahun 2024 saja angkanya 121 kasus. Kita di AMAN menyebutnya situasi memburuk karena penanda-penanda ini juga memburuk. Sampai bulan Maret 2025 itu terjadi 113 kasus dari kasus kriminalisasi. Jadi baru tiga bulan sudah hampir menyamai kasus sepanjang tahun sebelumnya,” prihatin Rukka.
Dilanjutkannya, saat ini target kriminalisasi juga menyasar bukan hanya di individu masyarakat adat, tetapi juga di level organisasi.
“Sekarang ini, ketika kita sedang berada di sini, ada dua dewan AMAN nasional yang sedang menjadi korban target kriminalisasi. Seperti yang saya sebutkan tadi, kriminalisasi ini memang selalu menyasar pucuk-pucuk pimpinan dan tujuannya adalah pastinya melemahkan perjuangan,” tuturnya.
Potret ‘Dirampasnya’ Lahan Masyarakat Adat di IKN
Dari beberapa wilayah di tanah air, masyarakat adat yang tinggal di wilayah Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi salah satu contoh tersisihnya mereka karena pembangunan.
Perwakilan Komunitas Masyarakat Adat Terdampak IKN dari Komunitas Suku Balik di Sepaku, Yanti Dahlia menceritakan kerasnya hantaman mental yang dialami penduduk.
Pembangunan yang dinilai kontroversial ini hanya menyisakan luka mendalam bagi masyarakat adat yang tinggal di wilayah IKN hingga sampai terusir dari tanah leluhurnya.
“Mengubah segala sesuatunya lahan yang tadinya ada, sudah tidak ada. Untuk kita memperbaiki ekonomi rumah pun kami sudah hampir tidak memiliki karena diambil untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara,” ujar Dahlia dalam Dialog Publik Rakernas AMAN VIII: Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak yang diselenggarakan di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/4/2025).
Menurutnya, perubahan lanskap dan ruang telah memaksa masyarakat adat mengubah cara hidup mereka dalam waktu singkat. Perempuan adat misalnya, kini kehilangan lahan untuk berkebun dan terpaksa beralih profesi ke sektor-sektor yang asing bagi mereka.
“Saat ini yang kami perjuangkan adalah para wanita-wanita itu yang tadinya bisa berkebun untuk membagi membantu perekonomian para bapak-bapaknya, sekarang harus beralih profesi yang cukup sulit. Harus menjadi office boy bahkan berdagang yang mungkin mereka tidak memiliki ilmu itu untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya,” imbuhnya.

Tak hanya itu, kerusakan lingkungan di Penajam Paser Utara turut memicu berbagai bencana turunan.
Dahlia mengatakan, pemerintah menanggul sungai dan membangun bendungan Intake Sepaku untuk memasok air ke IKN. Di saat yang sama, pembangunan tersebut justru menyebabkan masyarakat adat kebanjiran sekaligus kehilangan akses terhadap sungai yang selama ini menjadi sumber air utama mereka.
“Mereka mau buat sumur enggak bisa, airnya kotor. Jadi memang lahan-lahan kami yang diambil adalah susunan yang pertama,” tambahnya.
Baca juga:
Proyek Geothermal Melanggar HAM, Koalisi Sipil Desak Hentikan
“Kami minta solusi, kami mau ke mana lagi minta solusinya apalagi kayak masyarakat-masyarakat adat yang masih bertahan seperti ini Kelurahan Sepaku bertahan di tempat yang memang menurut saya dari kecil itu langganan banjir, apalagi ada tanggul sekarang, pasti kalau banjir mau kemana air-airnya itu,” keluh Dahlia.
Apa Respons Otorita IKN?
Deputi Otorita IKN Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan masyarakat, Alimudin mengeklaim, ruh dari pembangunan IKN adalah budaya.
Dia menjamin kewajiban otoritas kepada masyarakat adat bakal ditunaikan setelah seluruh kewenangan rampung diatur lewat aturan resmi.
“Jadi teman-teman tidak usah khawatir, bahwa hari ini IKN belum melaksanakan (kewajiban, red) seluruhnya karena memang kewenangannya belum secara penuh,” ucap Alimudin dalam Dialog Publik Rakernas AMAN VIII: Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak yang diselenggarakan di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/4/2025).
Menurutnya lagi, ada empat tugas IKN. "Pertama, persiapan yang sudah dilakukan sejak 2022. Kedua, pembangunan dan kini IKN memang sedang melakukan pembangunan. Jangan khawatir ini tetap akan jalan karena kita sedang lelang pekerjaan. Yang ketiga, pemindahan-pemindahan ASN, pemilihan status ini masih menunggu Keppres. Dan keempat, pelaksanaan fungsi pemerintah daerah,” imbuhnya.

Alimudin juga menyinggung terkait perlindungan masyarakat terkait hak-hak masyarakat adat di IKN yang perlu diperhatikan.
“Saya ingin mengatakan perlu kekuatan kita bersama didalam mendorong bagaimana secepatnya dilakukan atau disetujui pengakuan status masyarakat adat. Kita malah, kalau saya pribadi, semakin banyak kegiatan-kegiatan diskusi semakin senang,” tuturnya.
“Konflik yang terjadi kebanyakan antara masyarakat adat dan perusahaan, bukan dengan kami (IKN),” sanggahnya.
Alimuddin juga mengeklaim perlindungan masyarakat adat adalah prioritas dalam pembangunan IKN.
Ia juga berjanji akan menyelesaikan persoalan akses air bersih. “Bu Dahlia jangan khawatir soal air bersih. Ibu bisa tuntut saya,” ujarnya.
Pakar Ingatkan Soal “Perampasan” Lahan Masyarakat Adat
Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona menilai, potret peristiwa penggusuran lahan di kawasan IKN, merupakan contoh perencanaan yang dilakukan tanpa koordinasi melainkan kontestasi.
“Yang terjadi adalah kontestasi. Selama ini, saya pikir masyarakat adat di berbagai tempat menghadapi kontestasi itu karena tanah masyarakat adat, hutan adat yang mau diakui yang mengakui adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang punya tanggung jawab untuk mengakui hak masyarakat adat tetapi juga punya kewenangan untuk melakukan, memberikan izin untuk merampas tanah masyarakat adat,” ujar Yance dalam Dialog Publik Rakernas AMAN VIII: Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak yang diselenggarakan di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/4/2025).
“Jadi berkontestasi dengan berbagai kepentingan yang ada di beberapa Kementerian itu dan konteks IKN, saya rasa aktornya bertambah dengan adanya Otorita IKN yang juga punya kepentingan punya instrumen hukum,” tambahnya.
Menurut Yance, pengalaman di banyak tempat menunjukkan jika suatu kawasan masuk Proyek Strategis Nasional (PSN), maka Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan “dikorbankan” untuk mengalah.
“Misalnya kalau PSN-nya berbeda dengan RTRW bukan PSN-nya yang disesuaikan dengan RTRW tapi sebaliknya, RTRW yang sesuai dengan PSN. Nah praktik itu sudah menjalar dan itu juga sedikit banyak, saya pikir juga ada dalam konteks IKN,” jelasnya.

Yance juga mengingatkan semangat reformasi yang membawa era desentralisasi perlahan mulai memudar.
“Sekarang adalah era sentralisasi itu yang kita hadapi. Jadi kalau misalkan tantangan masyarakat adat tapi kita hari ini perlu ada resiliensi. Jadi saya pikir penting resiliensi atau daya tangguh, tapi yang jauh lebih penting adalah resistensi masyarakat adat itu jauh lebih penting,” tuturnya.
Yance meyakini masyarakat adat tidak akan menolak suatu proyek yang dijalankan pemerintah jika tanah atau lahan mereka tidak dihilangkan.
“Jadi tentu masyarakat adat ingin perubahan yang baik, yang tidak mengganggu identitas-identitas, tidak hanya melekat pada orang di komunitas, pada namanya marga ataupun ‘klan’ tetapi juga ada tapi juga melekat pada tanahnya. Jadi kalau tanah sudah diganggu itu nanti ada identitas yang sedang hendak dihapus, itu yang dikatakan oleh masyarakat adat,” tegasnya.
Mimpi RUU Masyarakat Adat jadi Solusi
Yance, yang juga pengajar Hukum Tata Negara UGM, menjelaskan perannya dalam membantu penyusunan naskah akademik bersama AMAN untuk RUU Masyarakat Adat sekitar satu dekade silam.
“Sudah kepada DPR berarti sekarang sudah 15 tahun kurang lebih masih belum jadi dan selama ini proses legislasi itu didorong di DPR, nah ini juga catatan penting kita mesti menyikapi kondisi politik segala nasional juga ini strategis enggak sih kalau kita masuk lewat pintu DPR,” jelas Yance.
“Kita mengamati bahwa DPR sekarang sedang mengalami disfungsi, enggak berfungsi karena RUU yang membawa aspirasi masyarakat enggak jadi. Tetapi kalau undang-undangnya itu ada kepentingan dari eksekutif, langsung atau tidak langsung itu dua minggu jadi,” tambahnya.
Yance bahkan menyarankan, agar RUU Masyarakat Adat diajukan lewat eksekutif atau pemerintah melalui Kementerian daripada via DPR RI.
“Saya pikir dengan DPR sudah cukup sehingga perlu didorong supaya ini menjadi inisiatif di Kementerian. Kalau Kementerian tertentu sudah membawa agenda undang-undang masyarakat adat, itu mungkin akan lebih mudah untuk jadi undang-undang daripada lewat DPR,” pungkasnya.
Baca juga:
Temui Baleg DPR, AMAN: Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!