NASIONAL

21 Tahun Catahu Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual Dominasi

Mendorong Keberanian Korban Laporkan Kasus Kekerasan Seksual

AUTHOR / Lea Citra

Podcast What's Trending

KBR, Jakarta- Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengatakan, selama 21 tahun terakhir ada peningkatan kekerasan berbasis gender di ruang publik dan personal.

"Itu lebih dari 2,5 juta KBG di ranah personal dengan angka tertinggi adalah kekerasan terhadap istri, ini paling banyak. Kemudian juga ada kekerasan dalam pacaran, itu menempati posisi kedua terbanyak dalam ranah personal. Kemudian juga kalau kita lihat jumlah paling tinggi, tercatat di ranah personal ini adalah di tahun 2015," ungkap Alimatul pada Peluncuran Hasil Kajian 21 Tahun CATAHU Komnas Perempuan, 20 Juni 2023.

Alimatul merinci, ada lebih dari 87.000 kekerasan berbasis gender di ranah publik. Yang tertinggi, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, ada di tahun 2009. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pemerkosaa

"Pada jumlah kekerasan gender di ranah publik itu, mengalami naik turun juga. Nah kekerasan gender di ranah publik pada 2009 itu merupakan yang tetinggi. Dan kalau kita lihat di situ juga ada data-data terkait pekerja migran, TPPO itu pun juga tinggi. Kekerasan seksual paling dominan ya. Kekerasan seksual itu paling dominan, dan perkosaan adalah kasus yang paling banyak dilaporkan di lembaga mitra dan Komnas Perempuan. Nah bangunan pengetahuan terkait ragam kekerasan seksual semakin jelas sejak 2014. Hal ini sejalan dengan semakin menguatnya advokasi soal UU TPKS," pungkasnya.

Baca juga:

Liga 1 Harus Profesional, Jangan Cuma di Awal

Dugaan Serangan Siber Perbankan, Berikut Kiat buat Nasabah Hindari Risiko

Viral Istilah Childfree dan Bagaimana Menyikapi Pilihan Seseorang?

Soal ini, Ketua Yayasan Sekretariat untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (SUKMA) Sri Nurherwati menilai, peningkatan pelaporan kasus kekerasan seksual, khususnya di ranah personal sebagai tanda positif.

Lantaran ini mengindikasikan meningkatnya keberanian korban mencari keadilan atas kasus-kasus kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

"Saya kira ini justru bagus ya. Karena selama ini kekerasan seksual di ranah personal itu sangat tertutup, sangat tertutup. Nah sekarang dengan pengetahuan, basis perkembangan layanan. Artinya perempuan menjadi berani untuk melaporkan, yang saat ini masih menjadi masalah perseorangan, yang dirahasiakan, yang harus ditutupi. Nah sekarang kalau dia berani untuk bicara. Artinya mereka sudah mulai berani. Bagaimana meminta dukungan semua pihak, termasuk negara. Artinya itu harus diikuti dengan peningkatan layanan negara," ungkap Sri.

Sementara itu, dari sisi penegakan hukumnya, Ketua Yayasan SUKMA, Sri Nurherwati menilai penegak hukum di Indonesia masih kurang berpihak dan berprespektif korban. Kata dia, pendidikan dan edukasi lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

"Yang saat ini kan memang belum semua penegak hukum itu dilatih ya untuk berpihak pada perempuan korban. Sehingga memang membutuhkan pendidikan dan pelatihan. Saya kira di dalam undang-undang TPKS itu memadatkan untuk membangun mekanisme diklat terpadu, terkait dengan penanganan korban TPKS. Yang tentunya di situ kan ada persyaratan ya, terkait dengan penegak hukum dan juga pendamping. Dia harus punya kapasitas, punya kompetensi. Dia juga harus punya perspektif dan pernah mengikuti pelatihan. Nah ini syarat yang saya kira menjadi mandat untuk Perpres diklat terpadu ini untuk penanganan kekerasan seksual," pungkasnya.

Lebih lanjut soal ini, simak di podcast What's Tending di link berikut ini:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!