NASIONAL

17 Tahun Aksi Kamisan dan Harapan Keluarga Korban Pelanggaran HAM

"Aksi kamisan adalah cara kami bertahan untuk membongkar kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa dan melawan impunitas"

AUTHOR / Heru Haetami, Hoirunnisa, Shafira Aurel

17 Tahun Aksi Kamisan dan Harapan Keluarga Korban Pelanggaran HAM
Sejumlah aktivis menutup mata saat 17 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/1/2024). (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

KBR, Jakarta - Ratusan orang berkumpul di sekitar Monas, dekat Istana Merdeka Jakarta. Sebagian besar berpakaian hitam-hitam dan membawa payung hitam. Mereka mengikuti Aksi Kamisan, menuntut negara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ini merupakan Aksi Kamisan ke-802, dan kini sudah genap berusia 17 tahun sejak aksi pertama digelar Kamis 18 Januari 2007.

Maria Sumarsih merupakan salah satu pelopor Aksi kamisan. Ia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, korban tragedi Semanggi 1998.

"Aksi kamisan adalah cara kami bertahan untuk membongkar kebenaran mencari keadilan melawan lupa dan melawan impunitas harapan saya aksi kamisan ini menjadi alat untuk mewartakan kebenaran dan keadilan dan semoga bermanfaat untuk masyarakat Jadi saya sebagai ibunya Wawan yang tahu tentang agenda reformasi Saya mencintai Wawan Saya akan berusaha dan berjuang untuk melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawannya yang belum selesai yaitu untuk mewujudkan agenda reformasi yang ketiga yaitu menegakkan supremasi hukum barometernya apabila tragedi penembakan para mahasiswa baik dalam tragedi Semanggi 1 2 dan Trisakti diselesaikan atau dipertanggungjawabkan di meja Pengadilan HAM ad hoc," ujar Sumarsih kepada KBR, Kamis (18/1/2023).

Sumarsih mengatakan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu merupakan tanggung jawab pemerintah. Ia menyesalkan sikap pemerintah yang lebih memprioritaskan penyelesaian kasus HAM berat secara nonyudisial atau di luar jalur hukum.

Hal senada disampaikan Suciwati. Ia istri Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang dibunuh dengan racun arsenik. Suciwati menilai, pemerintah belum memiliki komitmen bertanggung jawab menuntaskan kasus HAM berat masa lalu. Pemerintah justru membiarkan para pelaku kejahatan HAM masa lalu bebas tanpa hukuman.

"Kita bisa melihat ada pengakuan, ada orang: iya loh saya dulu menculik. Tapi kemudian Apakah bertanggung jawab. Apakah pernah dibawa ke pengadilan, tidak. Semuanya seolah-olah menormalisasi. Oh iya tidak apa-apa itu kan kejahatan masa lalu, tidak ada yang namanya kejahatan masa lalu, kalau yang tidak pernah dibawa ke pengadilan itu. Terus dibawa ke pengadilan bahwa kamu dinyatakan tidak bersalah, baru itu kemudian kita tahu, Oh iya masa lalumu kelam tapi kemudian sudah dibuktikan tidak bersalah. Apakah itu pernah ada tidak pernah ada, kalaupun ada kemudian dalam kasus-kasus pengadilan HAM ada banyak jaksanya justru dipakai untuk melemahkan dakwaannya, hakimnya dipakai yang tidak mengerti hak asasi manusia. Sehingga yang kemudian terjadi adalah kemudian terus-menerus tidak mendapatkan keadilan Jadi apa yang terjadi pelaku bebas," kata Suci Wati dalam Diskusi Pemilu dan Hak Asasi Manusia - Kemunduran Demokrasi dan Matinya Hak Asasi Manusia Selasa, (16/1/2024).

red

Baca juga:

Kemauan Politik

Rasa geram juga dilontarkan Paian Siahaan, orangtua dari Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa dan penculikan aktivis pada 1998.

"Meskipun telah kami berjuang selama hampir 25 tahun, tetapi sampai saat ini hasilnya belum ada titik terang atas keberadaan daripada anak kami. Dan kasus itu sampai sekarang masih masih ngambang dan belum ada penyelesaian. Di lihat daripada perjalanan ini kemudian kami mengatakan bahwa saya sangat setuju bahwa demokrasi kita saat ini sangat mundur karena berulang kali berganti tetapi kasus ini tidak ujungnya diselesaikan," kata Paian dalam Diskusi Pemilu dan Hak Asasi Manusia - Kemunduran Demokrasi dan Matinya Hak Asasi Manusia Selasa, (16/1/2024).

Terdapat 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya 11 Januari 2023 lalu. Diantaranya; Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989.

Kemudian Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999. Lalu ada Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Namun, dari 12 kasus tersebut, hanya ada empat kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah diadili. Empat kasus itu terjadi setelah tahun 2000. Ironisnya, semua terdakwa dalam kasus itu dibebaskan karena tidak ada bukti cukup soal pelanggaran HAM berat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap Aksi Kamisan yang sudah ratusan kali digelar bisa mendorong munculnya kemauan politik pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Selama ini berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM macet tak bergerak di Kejaksaan Agung.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengklaim terus berkomitmen untuk menyamakan persepsi dengan Kejaksaan Agung dalam upaya penuntasan kasus HAM berat masa lalu.

"Kami mencoba menjembatani komunikasi yang selama ini mungkin banyak tantangan. Sehingga kami menginisiasi pertemuan dengan Kejaksaan Agung mencoba membangun MOU yang sedang berjalan dan terus dikomunikasikan dengan direktur HAM dari kejagung. Mudah-mudahan tahun ini langkah konkritnya bisa makin jelas karena Komnas HAM juga terus melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus-kasus yang diduga pelanggaran HAM berat," kata Anis kepada KBR, Kamis (18/1/2024).

LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras menyesalkan respon pemerintah yang buruk dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM, meski Aksi Kamisan sudah digelar 17 tahun.

Kepala Divisi Impunitas Kontras, Jane Rosalina menilai masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masih diselimuti adanya impunitas.

"Kita menilai bahwa negara masih gagal untuk membuktikan bahwa tuntutan keluarga korban untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu belum dilakukan secara berkeadilan belum ada proses pengadilan yang efektif independen dan menyuruh untuk menghukum para pelaku dan memberikan ungkapan kebenaran termasuk untuk memberikan pemulihan secara menyeluruh dan menunaikan jaminan ketidakberulangan atas peristiwa," kata Jane kepada KBR, Kamis (18/1/2024).

Jane Rosalina menyebut, jalur penyelesaian nonyudisial yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya sekadar memberikan bantuan sosial kepada korban. Sedangkan, hak korban untuk memperoleh keadilan dan kebenaran lewat proses hukum belum dipenuhi.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!