NASIONAL
Hardiknas 2024: YLBHI Kritisi Tujuh Hal Krusial Pendidikan Nasional
Kualitas pendidikan Indonesia masih buruk.
AUTHOR / Ardhi Ridwansyah, Muthia Kusuma Wardani
KBR, Jakarta - Gelar upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sudah diatur dalam pedoman yang sebelumnya diumumkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pelaksanaan upacara digelar oleh lembaga masing-masing pada Kamis, 2 Mei 2024 dimulai pukul 07.30 waktu setempat.
Mengusung tema "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar", Hardiknas 2024 merupakan momen tahun kelima bagi Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim mengawal pendidikan di Indonesia.
Sosok yang biasa disapa "Mas Menteri" ini dilantik sebagai menteri pendidikan pada 23 Oktober 2019, dan akan menyelesaikan masa jabatannya pada tahun ini.
Ia mencanangkan kebijakan "Merdeka Belajar", dan mencoba mendobrak keterbatasan yang dialami seluruh pelajar Indonesia.
Dalam amanat sebagai pembina upacara Hardiknas 2024, Nadiem mengenang perjalanan Merdeka Belajar selama lima tahun lamanya.
"Lima tahun terakhir ini adalah waktu yang sangat mengesankan dalam perjalanan kami di Kemendikbudristek. Menjadi pemimpin dari gerakan Merdeka Belajar semakin menyadarkan kami tentang tantangan dan kesempatan yang kita miliki untuk memajukan pendidikan Indonesia," tuturnya.
Nadiem melanjutkan, mengubah sistem yang sangat besar bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan dan perjuangan yang harus dihadapi.
"Bukan tugas yang sederhana untuk mengubah perspektif tentang proses pembelajaran. Pada awal perjalanan, kita sadar bahwa membuat perubahan butuh perjuangan. Rasa tidak nyaman menyertai setiap langkah menuju perbaikan dan kemajuan. Kemudian, ketika langkah kita mulai serempak, kita dihadapkan dengan tantangan yang tak pernah terbayangkan yakni pandemi," kenangnya saat mereview perjalanan "Merdeka Belajar".
Tujuh Masalah Krusial Pendidikan Nasional
Sementara itu, pada Kamis (2/5/2024), Redaksi KBR menerima pernyataan sikap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait peringatan Hardiknas 2024
YLBHI memandang masalah pendidikan tidak menjadi persoalan prioritas dua periode pemerintahan Joko Widodo. Akibatnya berbagai persoalan mendasar di sektor pendidikan belum dapat diatasi. Tanggung Jawab Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih terhambat oleh berbagai persoalan.
YLBHI memberikan beberapa catatan terkait permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pertama, mahalnya biaya pendidikan dan pentingnya mewujudkan pendidikan gratis
Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mewajibkan indonesia untuk mengupayakan pendidikan cuma-cuma/gratis pada masing-masing jenjang pendidikan baik dasar, lanjutan dan tinggi.
Namun, pengamatan YLBHI menunjukkan bahwa negara masih belum sepenuhnya menggratiskan pendidikan dasar dan lanjutan, dalam praktiknya masih banyak Sekolah Negeri membebankan biaya pendidikan atas nama sumbangan pendidikan.
Pada level pendidikan tinggi, kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan gratis masih jauh dari panggang api. Polemik mengenai penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin mahal selalu menjadi akar permasalahan yang menahun oleh banyak Universitas-Universitas Negeri dengan status PTNBH.
Ironisnya, sebagai solusi atas persoalan pembiayaan pendidikan, Kampus justru ‘menjebak’ peserta didik dalam jerat pinjaman online. Bahkan saat ini terdapat 83 institusi Pendidikan Tinggi secara resmi bekerjasama dengan Perusahaan Pinjaman Online yang akan diakses oleh mahasiswa apabila tidak mampu membayar SPP.
Kedua, kesejahteraan guru dan dosen belum terpenuhi
Eksistensi guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang dibebankan untuk mengembangkan potensi peserta didik tidak sebanding dengan kesejahteraan yang seharusnya didapat.
Ini tercermin dalam dalam pengamatan YLBHI yang menunjukkan bahwa upah guru honorer berkisar antara 1,5 juta sampai 2 juta di kota-kota besar, sementara di daerah berkisar 300 ribu sampai 1 juta.
Hal tersebut juga terjadi pada dosen, Riset Kesejahteraan Dosen yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus menunjukkan sebanyak 42,9% dosen menerima upah dibawah 3 juta perbulan dan 58% tenaga kependidikan merasa penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup. Permasalahan ini tidak terjawab oleh anggaran pendidikan yang setiap tahunnya meningkat sebanyak 6%.
Ketiga, korupsi pendidikan
Sektor pendidikan masih menjadi sektor yang berpotensi besar sebagai ladang korupsi bagi penyelenggara pendidikan yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan serta penegakan hukum.
YLBHI mencatat, perilaku koruptif seperti banyaknya kasus pungutan liar, gratifikasi, kolusi ketika melakukan pengadaan barang dan nepotisme di saat penerimaan peserta didik baru masih menjadi tren tindakan koruptif. Pola ini terlihat pada kasus yang didampingi oleh LBH Medan terhadap 107 Guru Honorer di Sumatera Utara yang menjadi korban Gratifikasi disaat proses penerimaan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Ironisnya pada hari pendidikan nasional 2024, Anggie Ratna Fury Putri seorang Guru Honorer Sekolah SD 050666 Lubuk Dalam Kabupaten Langkat dipecat oleh Kepala Sekolah lantaran mengikuti demo mengkritisi proses seleksi yang curang.
Keempat, minimnya partisipasi bermakna (meaningfull participation) dalam perumusan kebijakan pendidikan
Salah satu amar Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008 yang memutus perselisihan antara masyarakat sipil yang menolak pelaksanaan Ujian Nasional memerintahkan pemerintah untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Proses peninjauan kembali bertitik tolak pada upaya sejauh mana sistem pendidikan nasional telah menjawab kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat dan peningkatan kualitas pendidikan di tanah air.
Alih-alih melakukan itu, tahun 2022 menjadi saksi bagaimana Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi melakukan upaya Revisi UU Sisdiknas tanpa adanya proses perencanaan dan penyusunan yang transparan dan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna dari masyarakat maupun para stakeholder pendidikan lainnya.
Kelima, politisasi pendidikan dan ancaman kebebasan akademik
Beberapa waktu belakangan, kritik para guru besar, dosen, beserta sivitas akademika yang gelisah terhadap problematika kenegaraan berujung pada ancaman dan teror baik fisik maupun digital bahkan melibatkan aparat keamanan negara.
Hal tersebut adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan akademik dan bagian dari upaya negara untuk mendisiplinkan kebebasan akademik.
Berbagai upaya represi tersebut sejatinya adalah pelanggaran terhadap Pasal 9 (1) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menyatakan bahwa kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma maupun Prinsip Kebebasan akademik yang telah diadopsi dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM, yakni insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan.
Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.
Keenam, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan
Banyak hal dalam sistem pendidikan kita perlu dikoreksi terutama terkait tentang praktik kekerasan seksual di institusi pendidikan, tahun 2021 sebelum Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan lahir Permendikbud tentang pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, namun belum efektif. Kampus maupun sekolah rentan menjadi tempat seringnya terjadi kekerasan seksual.
Selama periode 2015-2021, Komnas Perempuan menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dari seluruh laporan tersebut, mayoritasnya atau 35% berasal dari kampus atau perguruan tinggi.
Selain kampus, lingkungan pendidikan lain yang banyak melaporkan kasus kekerasan seksual adalah pesantren (16%) dan SMA/SMK (15%). Angka ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan baik Pendidikan Tinggi, Sekolah maupun Pesantren belum optimal menjaga keselamatan peserta didik dari ancaman kekerasan seksual.
Ketujuh, kualitas pendidikan
Kualitas pendidikan Indonesia masih buruk. Hal itu melihat pemeringkatan dari word population review 2021 yang menempatkan negeri ini pada peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan pendidikan dunia.
Indonesia masih tertinggal dari negara serumpun di Asia Tenggara, yaitu Singapura di posisi 21, Malaysia 38, dan Thailand 46
Berdasarkan riset Indeks Pembangunan Manusia UNDP 2022, Indonesia memperoleh skor HDI 0,713, masuk kategori negara dengan indeks pembangunan manusia tinggi. Namun, skor Indonesia masih lebih rendah dibanding rata-rata global yang nilainya 0,739, sehingga Indonesia masuk peringkat ke-112 dari 193 negara yang diriset.
Skor Indonesia juga masih kalah dibanding sejumlah negara ASEAN lainnya, yakni Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Selama ini permasalahan sistem pendidikan yang meliputi kurikulum yang terus berganti, sarana prasarana yang belum memadai dan merata masih menjadi persoalan yang tidak kunjung mendapatkan penyelesaian dan berpengaruh pada kualitas pendidikan.
Belum lagi bicara terkait dengan sistem pendidikan dan sarana prasarana untuk pendidikan inklusi bagi kelompok rentan yang masih sangat membutuhkan dukungan.
Beberapa permasalahan sebagaimana diatas merupakan tujuh di antara banyak permasalahan lain di sektor pendidikan tanah air.
Ilustrasi foto siswa saat pembelajaran. (Foto: ANTARA/HO. Kemendikbudristek)
Menyikapi hal tersebut, YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:
(1). Mendesak pada Pemerintah dan DPR untuk menjalankan pemerintahan demokratis dengan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna kepada publik luas dalam proses peninjauan serta perubahan terhadap peraturan maupun kebijakan yang berkaitan dengan sektor pendidikan;
(2). Mendesak Pemerintah dan DPR untuk memperhatikan dan membuat skema penyelesaian yang serius dan komprehensif atas permasalahan-permasalahan krusial pendidikan seperti pendanaan, sistem dan kurikulum, sarana prasarana, termasuk persoalan pendidikan inklusif serta problem kekerasan seksual di lembaga pendidikan ;
(3). Mendesak Pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara pendidikan menyusun skema dan menerapkan pendidikan gratis baik pada level pendidikan dasar, pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi. Secara khusus menghentikan praktik pendanaan pendidikan dengan menggunakan pinjaman online yang tidak sesuai dengan prinsip pendanaan pendidikan;
(4). Mendesak Pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan kepada tenaga pendidik baik Guru dan Dosen, terutama Guru honorer;
(5). Mendesak Pemerintah untuk menghormati dan melindungi kebebasan akademik Sivitas akademika sebagai bagian dari kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi.
(6). Mendesak Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara holistik.
Hardiknas dan Perilaku Koruptif
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan Indeks Integritas Pendidikan Indonesia 2023 sebesar 73,7 atau berada di level dua.
Kepala Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana mengatakan, nilai tersebut tergolong cukup rendah.
Menurut dia, peserta didik dan pendidik masih menunjukkan perilaku koruptif.
"Dari mulai gratifikasi tadi, kemudian juga pemungutan liar, kolusi yang dilakukan oleh para pimpinan satuan pendidikan dalam pengadaan barang dan jasa, maupun nepotisme dalam penerimaan siswa baru itu masih terlihat, masih nilainya hanya menduduki di level dua, dari lima level yang kita canangkan," ucap Wawan saat konferensi pers di acara Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan 2023 dan Sosialisasi SPI Pendidikan 2024 di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (30/4/2024).
Wawan menjelaskan, temuan survei juga menunjukkan masih banyak peserta didik ataupun pengajar yang memiliki masalah disiplin. Contohnya tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Temuan lainnya yakni ketidakjujuran akademik seperti mencontek yang dilakukan siswa 32 persen dan mahasiswa 48 persen. Kemudian ada plagiat karya ilmiah yang dilakukan guru 67 persen dan dosen 73 persen.
Kemudian gratifikasi di sekolah/kampus untuk memengaruhi nilai pelajaran atau mata kuliah, hingga kecurangan administrasi dan pungli saat pengajuan sertifikasi.
Survei itu juga mengungkap adanya penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Modus terbanyak berupa penggelembungan biaya penggunaan dana sebesar 30,83 persen, kemudian nepotisme dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa sebesar 20,52 persen.
Kasus penyalahgunaan dana BOS terbanyak terjadi di Kalimantan Tengah, Papua, dan Sumatra Utara.
Baca juga:
Survei Indeks Integritas Pendidikan KPK: Perilaku Masih Koruptif
FSGI: Noda Dunia Pendidikan, Seleksi PPPK Diwarnai Praktik Uang
Editor: Fadli
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!